sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Enam hal perlu diperhatikan sebelum Indonesia gencar transisi kendaraan listrik

Pemerintah harus memikirkan beberapa dampak jika penggunaan kendaraan listrik dimasifkan.

Erlinda Puspita Wardani
Erlinda Puspita Wardani Jumat, 02 Des 2022 12:47 WIB
Enam hal perlu diperhatikan sebelum Indonesia gencar transisi kendaraan listrik

Pemerintah beberapa waktu lalu menyampaikan akan memberikan subsidi pembelian motor listrik bagi masyarakat yang besarannya sekitar Rp6 juta hingga Rp6,5 juta. Rencana tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.

Pemberian subsidi bertujuan bahwa penggunaan kendaraan listrik bisa menghemat dana untuk pembelian bahan bakar minyak (BBM) sehingga secara otomatis dapa t memangkas subsidi BBM dari pemerintah.

Menanggapi pernyataan Luhut tersebut, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN) Deddy Herlambang menilai, rencana itu sudah tepat sebagai upaya mengurangi subsidi dan pembelian BBM. Namun ia menilai, pemerintah belum seutuhnya siap dalam melakukan proyek transisi kendaran listrik ini.

“Ini dapat blunder di masa depan apabila kebijakan tersbeut tanpa kajian ‘domino’ yang matang dari negara sebagai multiplier effect yang malah merugikan,” ujar Deddy pada keterangan resminya,  Jumat (2/12).

Deddy berpandangan masih banyak hal yang perlu dikaji lebih serius oleh pemerintah sebelum benar-benar mendorong masyarakat beralih ke kendaraan listrik. Pertama yang perlu digarisbawahi adalah kesiapan infrastruktur kendaraan listrik yang masih minim. Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU), menurutnya, harus disediakan pemerintah sesuai dengan jumlah kendaraan listrik yang akan beredar.

“Pengisian baterai (charging) memerlukan waktu yang sangat lama, ditambah belum adanya standar kualitas baterai. Selain itu juga manajemne pengolahan limbah baterai kendaraan listrik juga belum ada. Sehingga jangan sampai euforia membeli kendaraan listrik telah terjadi secara massal, namun regulasi dan mitigasi belum ada,” ujarnya.

Poin kedua adalah pemerintah masih berorientasi transport by vehicle oriented bukan pada transport by transit oriented. Ini artinya, jika pemberian subsidi dan insentif kepada pembelian kendaraan listrik tidak diimbangi oleh subsidi bagi pengelolaan angkutan umum massal, maka akan menimbulkan bencana bagi modal share angkutan umum.

Jika hal tersebut terjadi, masyarakat akan lebih memilih menggunakan kendaraan pibadi karena lebih murah. Imbasnya, angkutan umum pun akan ditinggalkan. Alhasil jalanan akan semakin macet karena jumlah kendaraan bertambah namun luas jalanan tidak bertambah.

Sponsored

“Bila pemberian subsidi kendaraan listrik tidak diimbangi dengan subsidi yang lebih berpihak ke angkutan umum, transport demand management (TDM) dapat dipastikan gagal,” kata Deddy.

Ketiga, Deddy menilai, jika pembeli kendaraan listrik dan angkutan umum massal mendapatkan subsidi dari negara, tentunya pengguna angkutan umum harus mendapatkan insentif, sehingga terdapat keseimbangan sosial. Insentif ini, menurut Deddy, sebagai apresiasi atau bentuk terima kasih dari negara kepada pengguna angkutan umum karena telah memilih angkutan umum daripada kendaraan pribadi. 

Padahal menggunakan transportasi umum memiliki risiko yang lebih tinggi, seperti tindak kejahatan, penyebaran penyakit seperti virus, tindakan pelecehan sosial, dan lainnya. Adapun insentif yang dimaksud Deddy dapat berupa parkir di stasiun murah atau gratis, sembako murah, BPJS gratis atau murah, pajak/Pph murah, Pajak Bumi Bangunan (PBB) murah, dan lain sebagainya.

"Keempat adalah industri otomotif akan diuntungkan oleh adanya subsidi kendaraan listrik, namun sektor transportasi terancam menjadi korban karena TDM gagal total. Bila kendaaran listrik telah berganti secara masif, udara akan bertambah baik karena emisi gas kendaraan BBM berkurang tapi tetap saja macet di jalan sebab jumlah kendaraan tidak berkurang bahkan bertambah," ujarnya.

Kelima, Deddy juga menyebut, triliunan rupiah akan berpotensi menjadi subsidi pembelian kendaraan listrik. Padahal menurutnya, anggaran tersebut akan lebih baik jika dioptimalkan untuk mrmbangun infrastruktur angkutan umum massal di masa depan.

Terakhir, Deddy berharap jika subsidi kendaraan listrik tetap berlanjut, maka sebaiknya diberikan dengan subsidi skema konversi dari kendaraan BBM fosil yang dimiliki masyarakat untuk ganti menjadi kendaraan listrik baru.

"Kendaraan BBM fosil yang telah dikonversikan akan menjadi milik Pemerintah yang kemudian akan dimusnahkan, sehingga volume kendaraan atau STNK tetap sama jumlahnya di negara kita. Adalah salah kalau mendapatkan subsidi kendaraan listrik berbasis baterai tanpa ada konversi dari kendaraan BBM fosil yang sudah dipunyai oleh masyarakat itu sendiri," tuturnya.

Berita Lainnya
×
tekid