sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

IDEAS: Omnibus Law tak cocok diterapkan di Indonesia

Askar Muhammad menyebut tujuan UU adalah untuk menurunkan biaya perekrutan dan memudahkan PHK.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Kamis, 08 Okt 2020 18:58 WIB
IDEAS: Omnibus Law tak cocok diterapkan di Indonesia

DPR mengesahkan UU Cipta Kerja atau yang dikenal sebagai Omnibus Law dalam rapat paripurna, Senin (5/10) lalu. Pengesahan UU yang lebih cepat dari rencana awal di Kamis (8/10) itu menuai pro dan kontra, salah satunya terkait klaster ketenagakerjaan.

Peneliti Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Askar Muhammad menilai kerangka besar yang terkandung di dalam UU itu adalah untuk pasar tenaga kerja yang fleksibel. Di mana hal tersebut akan mempermudah perusahaan untuk merekrut dan melepas tenaga kerja.

“Deregulasi dan liberalisasi peraturan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan alih daya (outsourcing) memberi konfirmasi bahwa tujuan UU ini adalah untuk menurunkan biaya perekrutan dan memudahkan pemutusan hubungan kerja (PHK) tenaga kerja," katanya dalam keterangan resmi, Kamis (8/10).

Dia mengatakan, secara bersamaan UU ini juga mendesain biaya tenaga kerja yang lebih murah bagi pemberi kerja. Rendahnya biaya PHK, sambungnya, akan menghindarkan perusahaan dari risiko bangkrut. 

Pada jangka panjang, turunnya angka perusahaan yang tutup karena bangkrut akan berujung pada penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. Namun, menurutnya alasan ini hanya indah dalam konsep semata.

“Sekilas konsep yang ditawarkan ini adalah konsep yang indah. Akan tetapi, negara-negara yang memiliki fleksibilitas pasar tenaga kerja tinggi adalah negara-negara yang memiliki SDM (sumber daya alam) yang sudah baik, seperti Singapura, Denmark, Jepang, Jerman, dan negara Skandinavia,” ucapnya.

Dia berpendapat pasar tenaga kerja yang fleksibel tidak cocok diterapkan di Indonesia yang masih memiliki tenaga kerja tidak terampil (low skilled workers) yang cukup banyak. 

Pasar tenaga kerja yang fleksibel jika diterapkan pada lingkungan yang belum siap, justru akan meningkatkan ketimpangan antara tenaga kerja terampil (high skilled workers) dan tenaga kerja tidak terampil (low skilled workers). 

Sponsored

“Pasar tenaga kerja yang fleksibel akan lebih menguntungkan high skilled workers, sebab dengan keterampilannya, ia akan lebih mudah untuk memperoleh pekerjaan lagi. Hal ini berbeda dengan low skilled workers yang bisa dipastikan sulit mendapatkan pekerjaan kembali bila ada PHK,” tuturnya.

Berita Lainnya
×
tekid