sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

IHSG terus ambrol, BEI belum keluarkan protokol krisis

Bursa Efek Indonesia (BEI) menyatakan koreksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih berada pada batas aman.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Senin, 20 Mei 2019 11:47 WIB
IHSG terus ambrol, BEI belum keluarkan protokol krisis

Bursa Efek Indonesia (BEI) mengatakan koreksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih berada pada batas aman. BEI belum perlu mengeluarkan protokol krisis.

Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa Laksono Widodo mengatakan protokol krisis akan dilakukan apabila dalam sehari IHSG turun lebih dari 2%.

“Jika turun sebanyak 5%, BEI akan mulai mengadakan pertemuan dengan para otoritas. Kalau sampai turun 10% ada auto hold (diberhentikan sementara),” kata Laksono di Gedung BEI, Jakarta, Senin (20/5).

Untuk diketahui, IHSG anjlok sejak pekan lalu. Pada perdagangan hari Jumat (17/05) IHSG ditutup melemah 68 poin atau 1,17% ke level 5.826. Sektor keuangan, infrastruktur, dan barang konsumsi memberikan kontribusi terbesar pada penurunan IHSG. Selanjutnya, pada perdagangan hari ini, IHSG dibuka pada 5.822 poin, atau turun 0,08% dari Jumat lalu.

Laksono mengimbau investor agar tidak panik melihat kondisi pasar modal saat ini. Penurunan IHSG ini, lanjut Laksono, hanyalah bisnis seperti biasa saja.

“Apa kami khawatir? Tentu kami khawatir, tapi apakah ini suatu kejadian yang luar biasa, saya rasa tidak,” kata Laksono.

Tak hanya indeks yang tengah melemah, aliran modal asing yang keluar (capital outflow) juga terus terjadi di pasar modal. BEI juga terus mewaspadai outflow tersebut. Namun, menurut Laksono, capital outflow ini masih bisa ditoleransi.

Lebih lanjut, menurut Laksono, ada beberapa faktor yang membuat pasar modal tertekan baik dalam skala global maupun domestik. Dalam skala global, perang tarif antara Amerika dan China masih menjadi perbincangan di manapun dan berpengaruh pada pasar di seluruh dunia.

Sponsored

Sementara itu, lanjut Laksono, ada beberapa tekanan domestik yang membuat indeks melemah. Pertama, kinerja emiten yang tercatat lebih rendah daripada perkiraan analisis sepanjang kuartal I-2019.

"Para analis ini banyak yang melakukan downgrade, jadi tentunya ini butuh waktu untuk tercermin di harga,” ujar Laksono.

Kedua, tekanan datang dari data makro ekonomi yang tidak sesuai dengan ekspektasi pasar, salah satunya datang dari laporan defisit neraca perdagangan. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data neraca perdagangan Indonesia yang berakhir defisit US$2,5 miliar sepanjang April lalu. Defisit ini merupakan angka tertinggi sejak April 2013.

Terakhir, menurut Laksono, pasar modal juga terkena dampak dari situasi politik menjelang hasil pengumuman penghitungan suara pemilihan presiden oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Mei mendatang.

“Meskipun tidak parah sekali, tapi tetap menimbulkan semacam kekhawatiran,” tutur Laksono.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid