sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

INDEF: Pada 2022, 40% dari GDP berasal dari digitalisasi

Perkembangan Fintech di Indonesia mampu meningkatkan Produk Domestik Bruto sebesar Rp25,97 triliun

Eka Setiyaningsih
Eka Setiyaningsih Kamis, 04 Okt 2018 18:24 WIB
INDEF: Pada 2022, 40% dari GDP berasal dari digitalisasi

Perkembangan teknologi dapat berdampak pada pertumbuhan industri di masa depan. Kini, banyak perusahaan di negara memperluas lini bisnisnya ke sektor digital.

International Data Corporation (IDC) pun memprediksi Indonesia akan menjadi pemimpin dalam ekonomi digital di Asia Tenggara. Nilai pasarnya akan menembus angka US$130 miliar di tahun 2020 mendatang.

Bahkan pada 2022 nanti, setidaknya sekitar 40% dari Gross Domestic Product (GDP) Indonesia akan berasal dari hasil digitalisasi, di mana pertumbuhan di setiap industrinya didorong oleh kemajuan digital, sisi operasional, serta relasi.

Dalam skala yang lebih besar, yaitu di Asia Pasifik, transformasi digital itu akan mendongkrak GDP Asia Pasifik dengan nilai sekitar US$1,16 triliun pada tahun 2021. Tidak hanya itu, digitalisasi ini juga diperkirakan mampu meningkatkan pertumbuhan sebesar 0,8% per tahun.

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) bersama dengan Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) membuat sebuah kajian tentang Peran FinTech terhadap Ekonomi Indonesia dengan menggunakan analisis Input-Output (I-O). 

Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara, menerangkan, dari hasil kajian tersebut, perkembangan Fintech di Indonesia mampu meningkatkan Produk Domestik Bruto sebesar Rp25,97 triliun, baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu, konsumsi rumah tangga mampu meningkat hingga Rp8,94 triliun. 

"Kedua hal tersebut menunjukkan keberadaan Fintech telah mampu meningkatkan perekonomian Indonesia secara makro," ujar Bhima dalam risetnya yang diterima Alinea.id, Kamis (4/10).

Sementara itu, Ekonom INDEF lainnya, Nailul Huda mengatakan, di sisi dunia usaha, kompensasi tenaga kerja baik berbentuk gaji dan upah mampu meningkat sebesar Rp4,56 triliun. Sektor yang mengalami kenaikan adalah perdagangan, keuangan, dan asuransi.

Sponsored

“Ketiga sektor ini mempunyai peran langsung dalam pengembangan Fintech. Selain itu, kehadiran Fintech juga mampu menyumbang penyerapan tenaga kerja sebesar 215.433 orang yang tidak hanya dari sektor-sektor tersier namun sektor primer (pertanian) juga mengalami penyerapan tenaga kerja yang cukup besar, yaitu 9.000 orang," ungkap Huda.

Direktur Asosiasi FinTech Indonesia Ajisatria Suleiman, menambahkan rekomendasi untuk memperkuat peran Fintech, diperlukan kebijakan yang mampu menekan biaya akusisi nasabah, meminimalisasi risiko fraud, dan juga dapat melindungi konsumen beritikad baik. 

“Ke depannya kami berharap risiko fraud dari nasabah palsu dan risiko gagal bayar dapat diminimalisasi dengan penguatan akses identitas berbasis biometrik, dan juga akses ke layanan biro kredit," ujar Aji.

Saat ini sudah ada pengaturan di OJK terkait e-KYC dan informasi kredit, sehingga yang dibutuhkan adalah implementasi di level teknisnya, terutama yang bersifat lintas kementerian seperti contohnya dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kominfo.

"Perluasan akses digital juga menjadi hal yang penting untuk perluasan pasar dari bisnis itu sendiri," jelasnya.

Tidak hanya dari kacamata ekonom, Siam Cement Group (SCG) yang merupakan konglomerat terkemuka di kawasan ASEAN juga mengakui teknologi dan perluasan bisnis ke sektor digital adalah hal penting untuk pertumbuhan bisnisnya.

“Teknologi merupakan kunci yang dapat mendorong bisnis untuk tumbuh dan berkembang. Kami berfokus untuk mengadopsi teknologi pada seluruh proses perusahaan, serta mengembangkan investasi ke dalam bisnis teknologi digital,” kata Country Director SCG Indonesia Nantapong Chantrakul di Jakarta, Rabu (3/10).

Chantrakul menjelaskan, SCG mengimplementasikan aspek digital dengan memperluas cakupan investasi dengan menggaet start up sebagai perpanjangan sayap bisnisnya. Sebelumnya, perusahaan yang dikenal sebagai pemain semen/material bangunan, alat kimia, dan pengepakan itu, telah meluncurkan AddVentures, anak perusahaan yang akan khusus menangani bisnis baru SCG itu.

Tepatnya pada Juni 2017, Addventures hadir dengan menawarkan tiga model kerja sama bagi start up, yaitu, lewat venture capital fund, kemitraan ekosistem, dan investasi langsung. Hingga saat ini, tercatat ada 11 start up yang tersebar di Asia Tenggara yang telah bekerja sama dan menjadi bagian dari Addventures-SCG.

Di Indonesia sendiri, sudah ada dua start up yang telah dirangkul oleh Addventures, yakni dekoruma yang merupakan platform penjualan furnitur, perlengkapan rumah dan desain, serta market place business-to-business Ralali.

Managing Director and Investment Commitee Addventures - SCG Joshua Pas menuturkan, addventures dari SCG dirancang secara strategis untuk memungkinkan dan mendukung start up dan wirausaha di wilayah ini untuk tumbuh.

“Sesuai dengan tujuan pemerintah Indonesia untuk menjadi ‘the digital energy of Asia’, kami membuka kesempatan kerja sama dengan start up digital Indonesia, dimana kami bisa bersama-sama berkembang dengan memanfaatkan jaringan, keahlian, dan sumber daya SCG,” tuturnya.

Terkait dengan kriteria yang harus dipenuhi bagi start up yang ingin bekerja sama, Joshua mengklaim jika Addventures-SCG tidak memiliki batasan atau daftar kriteria apapun. “Just come to talk to us, kami ada website, kami ada email, atau bisa langsung datang ke Bangkok,” ajaknya.

Dari penuturan Joshua, nantinya Addventures-SCG akan membantu rekan start up itu sesuai dengan kebutuhannya. “Kita bisa perluas lini bisnis mereka, mengkoneksikan mereka ke pebisnis yang lain, pelatihan, dan lain-lain,” katanya.

Sekadar informasi, SCG menyiapkan dana sebesar US$ 85 juta untuk jangka waktu 5 tahun untuk 10-12 start up per tahun. Dana tersebut diperuntukkan bagi startup di seluruh dunia, dengan nominal US$ 1-5 juta per tiket untuk pendanaan Seri A+.

Sejauh ini, start up dalam negeri memang masih perlu sentuhan bantuan. Huda pun memandang, SDM dari pelaku bisnis lokal itu belum mendapatkan informasi soal ekonomi digital secara menyeluruh.
 

Berita Lainnya
×
tekid