sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Indonesia belum maksimal ekspor kopi ke Uni Eropa

Potensi ekspor kopi ke Uni Eropa sangat besar, namun Indonesia belum bisa memenuhi permintaan.

Ardiansyah Fadli
Ardiansyah Fadli Selasa, 17 Sep 2019 19:17 WIB
Indonesia belum maksimal ekspor kopi ke Uni Eropa

Permintaan komoditas kopi dari Uni Eropa ke Indonesia cukup tinggi. Sayangnya, Indonesia belum mamp memenuhi permintaan (demand) tersebut.

"Uni Eropa menjadi market besar, hanya saja Indonesia belum mampu mengekspor kopi lebih banyak ke Eropa," kata Peneliti Center For Indonesia Policy Studies (CIPS) Felippa Amanta di Jakarta, Selasa (17/9).

Berdasarkan data European Comission tahun 2017, Indonesia menjadi pengekspor komoditas kopi keenam untuk Uni Eropa dengan total ekspor mencapai 4% dari permintaan. 

Angka tersebut masih jauh dibandingkan Brazil yang berada di urutan pertama dengan persentase eskpor kopi sebesar 31% dari total permintaan kopi Uni Eropa. 

"Kita masih kalah dengan negara pengekspor kopi ke Uni Eropa seperti India sebesar 5%, Honduras 6%, Colombia 7%, Vietnam 25%, dan Brazil paling besar sebanyak 31%," katanya. 

Fellipa menyebut ekspor kopi dari Indonesia ke Uni Eropa tahun 2017 mencapai 668.000 ton. Menurutnya, tren ekspor kopi ke Uni Eropa juga mengalami penurunan sejak tahun 2012. 

Fellipa menjelaskan ekpor kopi tahun 2017 memang masih terbilang meningkat jika dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 639.000 ton. Namun, angka tersebut masih menurun jika dibandingkan tahun 2012 yang mencapai 691.000 ton kopi. 

"Trennya memang menurun, dari 2012 sampai 2016 saja selalu menurun," katanya. 

Sponsored

Menurut Fellipa, tingkat produktivitas kopi di Indonesia masih terbilang rendah. Hal tersebut disebabkan karena beberapa faktor di antaranya banyaknya tanaman kopi yang sudah tua sehingga produktivitas kopi terganggu, dan kurangnya nilai tambah. 

Fellipa juga menyebut petani Indonesia tidak mau melakukan peremajaan pohon kopi. Padahal banyak pohon kopi yang sudah tua, ditambah banyaknya hama dan penyakit. Bahkan, petani tidak mendapatkan nilai tambah karena mereka menjual kopinya dalam bentuk biji kopi hijau (green bean) atau tidak diproses.

"Alhasil banyak petani yang beralih ke karet dan kelapa sawit, sementara kopi kurang di prioritaskan," ujarnya.

Fellipa mengakui bahwa pemerintah sudah banyak mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan produktivitas kopi di Indonesia, namun kebijakan tersebut dinilai kurang tepat dikarenakan pemerintah umumnya hanya menggelontorkan dana tanpa melihat kondisi riil yang terjadi di lapangan. 

"Seperti melatih petani agar bisa tanam dan memotong lebih bagus, tapi sayang jumlah penyuluh dan pendamping lapangan itu masih kurang. Kebanyakan satu orang pendamping masih memegang 3-7 komoditas di lapangan, jadi hasilnya ya petani tidak mampu memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI)," jelasnya. 

Lebih lanjut, Fellipa mengatakan dengan wacana kerja sama komprehensif antara Indonesia-Uni Eropa (I-UE Cepa), diharapkan produktivitas komoditas pertanian yang diminati terutama oleh pasar yang ada di negara Uni Eropa bisa meningkat.

"kita harapkan I-UE Cepa ini dapat meningkatkan investasi masuk. karena kalau investasi masuk tentunya aspek produksi kita bisa terdorong dan bisa berkontribusi terhadap neraca dagang kita," ujarnya.


 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid