sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Industri hiburan: Terpukul saat Ramadan, terjepit pandemi Covid-19

Ramadan dan wabah coronavirus membuat industri hiburan dan pariwisata terancam merumahkan karyawannya.

Fajar Yusuf Rasdianto
Fajar Yusuf Rasdianto Senin, 23 Mar 2020 16:50 WIB
Industri hiburan: Terpukul saat Ramadan, terjepit pandemi Covid-19

Hampir sebulan lagi umat Islam di seluruh dunia akan memasuki bulan Ramadan. Di Bulan Suci ini beberapa industri bisa mendulang keuntungan berlipat karena tingginya permintaan. Daya beli masyarakat meningkat karena kucuran Tunjangan Hari Raya (THR) maupun gaji ke-13 di pertengahan tahun. Inilah yang membuat kecenderungan orang untuk berbelanja saat Ramadan hingga Idul Fitri semakin tinggi. 

Para pelaku bisnis ritel, manufaktur dan fesyen pun saling berlomba memanfaatkan momentum setahun sekali tersebut untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Tidak aneh jika pertumbuhan pendapatan pada industri-industri tersebut selalu mengalami peningkatan pesat saban Ramadan. 

Pesatnya bisnis sektor-sektor tersebut tak lepas dari banyaknya konsumen muslim. Berdasarkan rilis World Population Review bertajuk “Muslim Population by Country 2020” pada medio Februari lalu, Islam menjadi agama dengan jumlah pemeluk terbanyak kedua di dunia setelah Kristen. Angkanya mencapai 1,9 miliar orang.

Indonesia menempati posisi teratas dengan jumlah muslim terbanyak, yakni 229 juta jiwa atau 87% dari total penduduk Indonesia saat ini sebesar 273 juta jiwa. Data ini membuktikan bahwa Islam telah menjadi kekuatan terbesar Indonesia, baik dari sisi ekonomi ataupun politik.

Sayangnya, berkah Bulan Suci ini tidak bisa dirasakan semua industri. Ibarat sebuah katrol, tiap ada yang terkerek naik pasti ada yang terseret turun. Penurunan itu terjadi pada industri hiburan, khususnya pariwisata, perhotelan, MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) dan bisnis-bisnis turunannya, serta industri properti.

Di bulan puasa, Pemerintah Provinsi (Pemprov) menerapkan kebijakan untuk menutup tempat-tempat hiburan yang dianggap menyimpang dari norma agama. Alhasil, beberapa bisnis hiburan seperti klub malam, spa, dan karaoke harus kehilangan penghasilan selama periode Ramadan.

Kepala Bidang Industri Pariwisata Pemprov DKI Jakarta Bambang Ismadi mengatakan khusus untuk wilayah Jakarta, penutupan tempat hiburan di bulan puasa itu sudah sesuai Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 18 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pariwisata.

Pasal 40 beleid itu menyebutkan jenis usaha/subjenis usaha pariwisata tertentu wajib tutup pada bulan Ramadan. Jenis-jenis usaha yang wajib ditutup antara lain, diskotek, klub malam, spa, bar, dan griya pijat. Sementara beberapa usaha lainnya, seperti karaoke, golf, biliar, sanggar seni, dan lainnya harus dipersingkat jam operasinya jadi rerata hanya 10 jam per hari.

Sponsored

“Pengusaha hiburan yang usahanya wajib tutup sudah paham hal tersebut terjadi setiap bulan Ramadan, setiap tahun. Jadi, seharusnya sudah dapat mengantisipasi kondisi tersebut,” kata Bambang kepada Alinea.id melalui pesan singkat, Rabu (18/3).

Tak heran jika akhirnya omzet industri hiburan pada bulan Ramadan bakal turun drastis atau bahkan nyaris nol rupiah. Kini kondisi tersebut diperparah adanya penyebaran Covid-19  atau dikenal sebagai coronavirus yang terdeteksi ada di Indonesia sejak 2 Maret.

Pukulan lebih berat setelah terbit surat edaran Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi DKI Jakarta Nomor 155/SE/2020 tentang imbauan agar sejumlah usaha hiburan, termasuk bioskop dan diskotek ditutup terhitung sejak 23 Maret 2020 sampai 5 April 2020. 

Kondisi ini membuat industri hiburan lesu, bahkan jauh hari sebelum Ramadan datang. Surat edaran ini diterbitkan menyusul semakin parahnya dampak pandemi corona. Sampai Minggu (22/3), jumlah pasien positif corona sudah mencapai 514 orang, dengan total kematian 48 orang (9,34%), dan 29 orang sembuh (5,64%).

Tidak ada insentif

Upaya pemerintah mencegah meluasnya wabah corona juga tidak disertai adanya kejelasan insentif bagi industri. Surat edaran tersebut tidak memerinci insentif apapun bagi bisnis yang terpaksa ditutup atau terdampak lainnya. Termasuk bagi industri MICE yang harus menunda penyelenggaraan acara setidaknya sampai pandemi Covid-19 dapat teratasi.

Sebelumnya, Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi DKI Jakarta Cucu Ahmad Kurnia mengatakan tengah memikirkan insentif bagi para pengusaha yang bisnisnya terdampak Covid-19. Saat itu, penutupan tempat hiburan masih dalam tahap rencana.

“Insentif, baik untuk para pengusaha dan industri pariwista itu nanti sedang kami pikirkan. Misalnya penghapusan Pajak Pembangunan, untuk tidak memberatkan para pengusaha,” tutur Cucu kepada Alinea.id melalui pesan suara, Rabu (18/3).

Tetapi, dua hari setelah pernyataan itu, Pemprov DKI Jakarta tetiba menyebarkan surat edaran soal penutupan sejumlah tempat hiburan dan penundaan acara yang mengundang keramaian. Langkah ini tidak disertai adanya pemberian insentif kepada pengusaha.

Cucu menyatakan penutupan tempat hiburan dan lokasi keramaian semata-mata demi aspek keselamatan warga. Dia menegaskan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan lebih mengutamakan keselamatan warga dibandingkan aktivitas ekonomi dan politik di tengah pandemi corona.

"Ditutupnya tempat-tempat hiburan ini kan untuk mengurangi interaksi sosial dari masyarakat yang menyebabkan penularan virus itu makin cepat," tambahnya.

Kebijakan ini memberatkan pengusaha tempat hiburan, termasuk MICE, untuk memenuhi tanggung jawab membayar gaji karyawan. Pasalnya, industri ini harus kehilangan penghasilannya selama dua minggu ke depan. Ditambah lagi saat Ramadan, pengusaha diwajibkan untuk membayar THR kepada karyawannya.

Data Indonesia Event Indutry Council (IVENDO) dan Indonesia Profesional Organizer Society (IPOS) menunjukkan hingga saat ini, sebanyak 96,43% acara di 17 provinsi harus ditunda dan 84,20% lainnya dibatalkan. Dengan data tersebut, IVENDO dan IPOS memproyeksikan, industri MICE mengalami potensi kerugian hingga Rp6,94 triliun selama dua pekan terakhir.

Selain itu, IVENDO dan IPOS juga menggarap survei yang mereka lakukan sejak Presiden Jokowi mengumumkan dua warga Depok positif corona 2 Maret lalu hingga 18 Maret. Hasilnya tercatat setidaknya jumlah minimal pekerja industri kreatif yang terdampak sebanyak 54.871 dan maksimal 90.463 orang. 

Melalui surat resmi yang diterima Alinea.id, IVENDO berharap pemerintah segera memberikan insentif bagi industri MICE. Tujuannya, agar upaya pencegahan penularan penyakit Covid-19 bisa sejalan dengan upaya pemerintah dalam menjaga kestabilan ekonomi nasional.

Pesan dalam surat resmi itu di antaranya berisi permintaan agar BUMN yang memiliki perjanjian kerjasa sama dengan event organizer (EO) bisa segera mempercepat pembayaran. Mereka juga meminta pemerintah memberikan relaksasi pajak terkait penyelenggaraan acara agar likuditas perusahaan bisa tetap terjaga sampai masalah ini selesai.

“Demikian dokumen pernyataan sikap ini diterbitkan untuk dapat dimaklumi dan segera dapat dicarikan solusinya secara komprehensif,” tulis Ketua Umum IVENDO, Mulkan Kamaludin dalam rilis resminya.

Terancam PHK

Permintaan insentif serupa juga disampaikan oleh pelaku industri pariwisata dan perhotelan yang turut terkena imbas pandemi Covid-19. Melalui surat sepanjang 18 halaman, Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia (PHRI) meminta agar pemerintah memberikan relaksasi pajak. PHRI juga memohon penangguhan atau cuti pembayaran kewajiban perbankan bagi hotel dan restoran untuk sementara waktu.

Insentif ini diajukan mengingat tingkat okupansi hotel secara nasional yang sudah di bawah 50% dan akan turun 10-20% lagi pada bulan Ramadan. Wakil Ketua Umum PHRI Maulana Yusran mengatakan, fakta tersebut menunjukkan saat ini keuangan sebagian pengusaha hotel sudah tidak sehat, bahkan mengalami kerugian.

“Sudah parahlah kalau hotel, sudah di bawah 40%. Enggak semua orang (pengusaha hotel) bisa bertahan di (okupansi) 40% lebih dari dua bulan. Itu berat,” terang Maulana kepada Alinea.id pekan lalu.

Dia menambahkan kondisi tersebut membuat sejumlah pekerja harian hotel mulai dirumahkan. Mereka antara lain pelayan, room boy, dan jasa pembersih (cleaning service). Bahkan, menurut dia, tidak menutup kemungkinan akan ada gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) jika tren penurunan okupansi ini terus berlanjut atau bahkan semakin parah.

“Karena ini bukan sesuatu yang bisa kami prediksi. Kalau bulan puasa biasanya kan sudah diprediksi pengusaha. Misalnya penurunan 40%, itu bisa diganti nanti pas high season. Tapi kalau sekarang trennya seperti ini terus, sampai 20% misalnya, ya sudah kami berhenti terpaksa, karena enggak mungkin perusahaan menafkahi lagi,” ujarnya.

Artinya, saat ini sekitar 408.000 pekerja di bidang perhotelan bakal terancam kehilangan pekerjaan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 menunjukkan, 53% atau 220.000 pekerja di bidang perhotelan tersebut diserap oleh hotel-hotel dengan klasifikasi berbintang. Sementara sisanya, 188.000 bekerja di sektor akomodasi lainnya.

Direktur Utama Sahid Hotel and Resorts Hariyadi Sukamdani mengakui PHK mungkin bisa jadi skema terburuk jika tren penurunan okupansi ini terus berlanjut. Namun demikian, Hariyadi tetap berharap agar situasi sulit ini bisa cepat berlalu sehingga industri perhotelan bisa kembali tancap gas pascasemua paceklik ini berlalu.

Saat ini, sambung Hariyadi, pihaknya sudah menyiapkan strategi untuk menghindari adanya PHK massal di perusahaan. Salah satu caranya adalah dengan menggilir waktu masuk karyawan untuk mengurangi beban gaji.

“Pokoknya, diatur giliran kerja, dan disesuaikan dengan hari kerja masuk untuk mengurangi gaji. Jadi ada kesadaran bersama. Karena ini kan sesuatu yang harus kami atasi bersama ya. Siapa yang sangka bisa seperti gini,” tutur Hariyadi kepada Alinea.id.

Berita Lainnya
×
tekid