sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Industri properti lesu, KPR tetap tumbuh positif

Kredit pemilikan rumah (KPR) hingga Juli 2019 mengalami kenaikan 11,4%.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Kamis, 17 Okt 2019 18:05 WIB
Industri properti lesu, KPR tetap tumbuh positif

Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) menyatakan kredit pemilikan rumah (KPR) hingga Juli 2019 mengalami kenaikan 11,4% dibandingkan periode yang lama tahun lalu (year on year/yoy). Angka kredit macet atau non performing loan (NPL) untuk mortgage ini pun berada dalam batas normal 2,8%.

Wakil Ketua Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas) Farid Rahman mengatakan pertumbuhan KPR akan terus positif meskipun perkembangan makro ekonomi membuat pertumbuhan di sektor properti stagnan. Menurut riset Perbanas, mortgage akan menjadi kebutuhan primer bagi milenial yang merupakan populasi terbesar menurut kelompok usia.

"Industri properti harus mengubah cara pemasaran atau komunikasi dengan mengoptimalkan sektor yang belum digarap. Karena saat ini terjadi peralihan, milenial sudah puas hanya dengan menyewa apartemen," ujar Farid di Jakarta, Kamis (17/10).

Di sisi lain, perbankan menghadapi permasalahan yakni likuiditas yang semakin ketat. Hal ini membuat perbankan harus mengeluarkan biaya mahal untuk penyaluran KPR.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan ada dua kunci yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan bisnis mortgage. Pertama, sinergi dan kolaborasi antara stake holder seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Perbankan. 

“Semua stake holder tersebut harus terus mengkomunikasikan berbagai kebijakan agar dapat dinikmati masyarakat,” kata dia.

Kedua, inovasi untuk menumbuhkan sektor perumahan. Menurut Mardiasmo, lembaga pembiayaan seperti perbankan harus dapat berinovasi untuk mengembangkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang menyasar milenial.

"Karena dari sisi tools, aturannya sudah ada dan ruang peningkatan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) masih lebar," tutur Mardiasmo.

Sponsored

Perlambatan industri properti

Di sisi lain, ekonom dan pengurus Perbanas Aviliani mengatakan melambatnya penjualan komoditas ekspor Indonesia seperti batu bara, turut memengaruhi daya beli masyarakat, khususnya pada pembelian properti.

Aviliani memperkirakan pelambatan di sektor properti tersebut akan berlangsung setidaknya hingga tahun 2021.

"Kalau harga komoditas turun, biasanya berdampak pada pertumbuhan kredit, termasuk kredit perumahan. Kita masih akan mengalami penurunan harga komoditas hingga tahun 2021, kita recovery 2022," kata Aviliani.

Aviliani melanjutkan, dua tahun ke depan, bukanlah waktu yang mudah bagi sektor perbankan untuk melakukan ekspansi besar-besaran. Sebab, harga komoditas diperkirakan masih akan turun akibat dari perlambatan ekonomi global.

Aviliani pun menyarankan pengembang maupun perbankan menggarap pasar yang bagus yakni rumah murah atau subsidi. Adapun konsumennya yakni masyarakat berpenghasilan rendah, maupun pekerja sektor informal.

Aviliani mengatakan dari 130 juta tenaga kerja di Indonesia, sebanyak 37 juta tenaga kerjanya bekerja di sektor pertanian yang merupakan sektor informal.

"Jadi sebenarnya kalau kita mau menawarkan rumah bersubsidi, mestinya lebih banyak ke sektor tersebut karena di situlah banyak sektor informal dan butuh rumah," ujar Aviliani.

Masalahnya, lanjut Aviliani, sektor informal memiliki kemampuan membeli rumah, tetapi tak memiliki penghasilan tetap sehingga pengajuan kredit properti mereka seringkali ditolak bank.

Aviliani pun menyebut, apabila pemerintah ingin mengembangkan sektor informal tersebut, perlu ada perubahan dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) soal kredit pembiayaan properti.

"Harus ada peraturan yang berbeda dengan karakteristik yang berbeda. Kalau untuk sektor informal seperti pertanian, cicilannya tak bisa tiap bulan, tapi tiap panen," tutur Aviliani.

Berita Lainnya
×
tekid