sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Melanjutkan pembangunan dan emiten infrastruktur yang bertumbuh

Menurut ekonom, siapapun presidennya, pembangunan infrastruktur perlu dilanjutkan lima tahun ke depan.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Kamis, 25 Apr 2019 20:44 WIB
Melanjutkan pembangunan dan emiten infrastruktur yang bertumbuh

Hingga kini, quick count atau hitung sejumlah lembaga survei yang mencatatkan keunggulan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin atas pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.

Meski demikian, terlepas siapa pun yang akan menjadi presiden, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah memandang, bidang infrastruktur harus tetap dilanjutkan lima tahun ke depan.

“Kalau dari hasil hitung cepat yang unggul Jokowi, jelas ada jaminan keberlanjutan di sektor infrastruktur ini,” kata Piter saat dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (25/4).

Menurut Piter, pembangunan infrastruktur bisa menarik investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) ke Indonesia. Namun masalahnya, kata Piter, terletak pada realisasinya.

Pengendara melintas di bawah jembatan Tol Kunciran - Bandara di kawasan Rawa Bokor, Tangerang, Banten, Kamis (21/3). /Antara Foto.

“Masalah-masalah seperti pembebasan lahan, koordinasi pusat dan daerah, serta konsistensi kebijakan turut menghambat pembangunan infrastruktur dan realisasi FDI,” ujar Piter.

Laporan dari Oxford Bussiness Group berjudul “The report: Indonesia 2018” menyebutkan, pembebasan lahan menjadi hambatan siginifikan bagi pembangunan infrastruktur. Seringkali, petani dan pemilik lahan menolak menjual lahan mereka pada pengembang.

Kemudian, kenaikan harga lahan selama proses pengerjaan turut membuat ongkos proyek naik dan mengakibatkan tertundanya pengerjaan infrastruktur.

“Pengerjaan PLTU Batang misalnya, harus ditunda beberapa kali karena masalah lahan. Selain itu, proyek kereta cepat yang menghubungkan Jakarta-Bandung juga harus tertunda sejak 2016,” tulis laporan tersebut.

Presiden Joko Widodo (kedua kanan) berbincang dengan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono (kanan), Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (tengah), Menteri BUMN Rini Soemarno (kedua kiri) dan Gubernur Lampung Muhammad Ridho Ficardo seusai meresmikan tol Trans Sumatera ruas Bakauheni-Terbanggi Besar di Gerbang Tol Natar, Lampung Selatan, Lampung, Jumat (8/3). /Antara Foto.

Masalah utang

Pembangunan infrastruktur di era Jokowi kerap mendapat cibiran, karena sebagian besar menggunakan utang. Bahkan, lawan Jokowi di pilpres, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno pernah menyebut jika setiap anak Indonesia yang lahir sudah menanggung beban utang jutaan rupiah.

Namun, dari pandangan Piter, masyarakat tak perlu khawatir karena utang masih berada dalam kondisi terkendali. “Ketentuan utang kita sangat konservatif, dibatasi hanya 3% dari pendapatan domestik bruto (PDB),” kata Piter.

Piter pun melihat, pembatasan utang itu sebagai sesuatu yang aneh karena Indonesia sebenarnya masih membutuhkan banyak hal.

“Utang kan ada teorinya, kalau sudah melebihi 60% dari PDB, itu sudah merah, berbahaya. Tapi selama ini utang kita masih 30% dari PDB,” katanya. Meski begitu, Piter menyarankan agar Indonesia tak banyak berutang ke luar negeri.

Emiten infrastruktur

Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat naik ke level 6.507 pasca-pemilihan umum pada 17 April 2019. Sentimen positif ini dianggap Direktur Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus wajar. Sejak 2004, kata Nico, pemilu kerap memberikan pengaruh positif terhadap pasar IHSG.

Akan tetapi, menurut Nico, karena Pemilu 2019 banyak “drama”, hal ini membuat efek positif IHSG pudar, diganti dengan kekhawatiran terhadap pemilu.

Bila terpilih lagi menjadi presiden, Joko Widodo memang memprioritaskan pembangunan sumber daya manusia. Namun, Nico meyakini, sektor infrastruktur masih menjadi bagian yang tak terpisahkan dari program pemerintahannya.

Pekerja melintasi layar monitor bursa saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (16/4). /Antara Foto.

“Saham-saham BUMN (Badan Usaha Milik Negara) karya, seperti Waskita Karya, Adhi Karya, dan Wijaya Karya, masih cukup oke untuk dilirik investor,” kata Nico saat dihubungi, Kamis (25/4).

Sebenarnya, saham-saham BUMN karya sudah naik, sebelum Joko Widodo menjadi presiden pada 2014. Emiten-emiten pelat merah ini pun mencatatkan rapor biru dalam laporan-laporan keuangan mereka.

Misalnya, pada 2012 saham dari WSKT (Waskita Karya) berada di bawah Rp500, naik hingga mencapai level tertinggi Rp1.050 pada 31 Mei 2013. Saham WSKT berada di puncaknya, yakni Rp2.950 pada 2 Maret 2018.

Sementara itu, dalam laporan keuangan pada 2018, PT Waskita Karya (Persero) Tbk melaporkan pendapatan sebesar Rp48,78 triliun, naik 7,91% dari catatan pada 2017 sebesar Rp45,21 triliun. Torehan tersebut membuat Waskita mendapat laba bersih sebesar Rp3,96 triliun atau tumbuh 2,09% dari realisasi Rp3,88 trilun pada 2017.

PT Wijaya Karya (Persero) Tbk juga turut melaporkan pendapatan sebesar Rp31,15 triliun pada 2018. Jumlah tersebut naik 19,03% dari Rp26,17 triliun pada 2017. Emiten berkode saham WIKA itu pun turut mencatatkan laba bersih Rp1,73 triliun pada akhir 2018, atau tumbuh 43,94% dari Rp1,20 triliun pada 2017.

 Kendaraan melintas di proyek jalan tol Desari seksi 2 Brigif-Sawangan yang belum beroperasi di kawasan Krukut, Depok, Jawa Barat, Selasa (23/4). /Antara Foto.

PT Adhi Karya (Persero) Tbk pun mencatatkan laba bersih sebesar Rp644,5 miliar, meningkat 24,98% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp515,4 miliar. Emiten berkode saham ADHI itu mengantongi pendapatan sebesar Rp15,65 triliun pada 2018, atau naik 3,29% dari Rp15,15 triliun pada tahun sebelumnya.

Sedangkan PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk mencatatkan kenaikan laba bersih sebesar Rp1,5 triliun, naik 3,4% dari tahun 2017 sebesar Rp1,45 triliun. Pendapatan usaha emiten ini juga naik cukup signifikan sebesar 16,79% dari Rp 21,5 triliun pada 2017, menjadi Rp 25,12 triliun pada 2018.

Nico memandang, bila pasangan Jokowi-Ma’ruf memenangi Pemilu 2019, bisa dipastikan saham infrastruktur akan menggeliat, karena fokus pemerintahannya sudah terlihat jelas.

Jika melihat alokasi belanja kementerian pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mendapatkan porsi anggaran tertinggi. Besarnya Rp104,080 triliun.

Ia memberi saran, bila hendak berinvestasi di sektor ini, faktor fase pembayaran juga harus diperhatikan. Sebab, biasanya sektor infrastruktur akan telat di fase pembayaran.

“Ini yang harus diperhatikan, cash flow dari masing-masing perusahaan,” ujarnya. Nico pun melihat tahun ini kinerja emiten-emiten sektor infrastruktur akan bergerak cukup positif.

“Pertanyaannya nanti setelah 5 tahun berikutnya, mereka harus mempersiapkan ekspansi. Karena kalau hanya bergantung terhadap proyek dalam negeri, akan menjadi berbahaya nantinya,” kata Nico.

Berita Lainnya
×
tekid