sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Jelang review GSP, Indonesia galang dukungan importir di AS

Langkah ini dilakukan menghadapi kenaikan tarif impor besi baja dan aluminium, serta peninjauan ulang (review) sebagai penerima program GSP

Hermansah
Hermansah Rabu, 25 Jul 2018 11:22 WIB
Jelang review GSP, Indonesia galang dukungan importir di AS

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menggalang dukungan importir produk Indonesia di Amerika Serikat (AS) untuk melakukan pendekatan kepada Pemerintah AS. Hal itu sebagai upaya mengamankan akses pasar produk Indonesia di negara tersebut.

Langkah ini dilakukan untuk menghadapi kenaikan tarif impor besi baja dan aluminium, serta peninjauan ulang (review) Indonesia sebagai penerima program Generalized System of Preferences (GSP) Pemerintah AS.

Selain mengagendakan pertemuan bilateral dengan Pemerintah AS, Mendag Enggar mengajak para importir komoditas Indonesia di AS untuk turut mencari solusi atas kebijakan review GSP serta kenaikan tarif baja dan alumunium karena berpotensi menganggu neraca perdagangan Indonesia–AS.

“Kenaikan bea masuk produk besi baja dan aluminium tidak hanya akan merugikan Indonesia sebagai eksportir, tetapi juga pelaku usaha AS. Karena, biaya produksi mereka akan meningkat, bahkan pasokan untuk proses produksi dapat terganggu. Akhirnya dapat merugikan daya saing perusahaan AS juga,” jelas Mendag Enggar dalam keterangan tertulisnya, Selasa (24/7).

Para importir baja AS yang hadir dalam pertemuan mengatakan kenaikan bea masuk dapat membuat produk baja impor tidak kompetitif serta menahan laju pertumbuhan industri. Mereka mengakui produk Indonesia berkualitas baik dan produk tersebut memang tidak diproduksi oleh AS. Sehingga, hal tersebut semestinya tidak menjadi ancaman bagi industri baja AS.

Untuk diketahui, keputusan pengenaan tarif impor sebesar 25% untuk produk baja dan 10% untuk produk aluminium telah ditandatangani Presiden AS Donald Trump pada 18 Maret 2018 lalu.

Produk baja dan aluminium dari Indonesia tidak sertamerta menjadi kompetitor yang secara langsung mengancam industri dalam negeri AS. “Produk AS dan produk Indonesia dapat berperan secara komplementer di pasar AS. Hal ini sudah terlihat dari peran baja dan aluminium Indonesia yang telah menjadi bagian dalam sistem manajemen
pasokan di AS,” imbuh Mendag Enggar.

Ekspor produk besi baja Indonesia ke AS pada  2017 tercatat sebesar US$ 112,7 juta atau hanya 0,3% pangsa pasar AS. Nilai ini disebabkan oleh penerapan bea masuk antidumping dan countervailing duty yang telah berlangsung cukup lama. Sementara ekspor aluminium pada 2017 ke AS tercatat sebesar US$ 212 juta dan pangsa pasar 1,2%. Bagi Indonesia, nilai ekspor tersebut berkontribusi terhadap 50% ekspor aluminium Indonesia ke dunia. 

Sponsored

GSP memberikan manfaat besar baik bagi ekspor Indonesia maupun industri dalam negeri AS. “Indonesia memahami adanya review atas penerima GSP. Namun, Indonesia berharap hasil review tidak menganggu ekspor Indonesia ke AS dan tidak memberi dampak pada industri domestik AS yang selama ini memanfaatkan skema GSP. Tanpa skema GSP, maka harga produk akan naik dan daya saing akan terganggu,” ungkap Mendag Enggar.

GSP merupakan kebijakan AS berupa pembebasan tarif bea masuk (nol persen) terhadap impor barang-barang tertentu dari negara-negara berkembang. Indonesia merupakan salah satu negara penerima fasilitas tersebut.

Pada April 2017, Pemerintah AS meninjau ulang beberapa negara yang selama ini menjadi penerima skema GSP AS, termasuk Indonesia. Di 2017, produk Indonesia yang menggunakan skema GSP bernilai US$ 1,9 miliar. Angka ini masih jauh di bawah negara-negara penerima GSP lainnya seperti India sebesar US$ 5,6 miliar; Thailand US$ 4,2 miliar; dan Brasil US$ 2,5 miliar.

Produk-produk Indonesia yang diekspor ke AS dan masuk ke dalam komoditas penerima GSP antara lain ban karet, perlengkapan perkabelan kendaraan, emas, asam lemak, perhiasan logam, aluminium, sarung tangan, alat-alat musik, pengeras suara, keyboard, dan baterai.

Berita Lainnya
×
tekid