sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kala membakar rokok lebih penting dari kebutuhan pokok

Cukai rokok efektif tekan kenaikan jumlah perokok termasuk anak-anak.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Senin, 01 Nov 2021 08:30 WIB
Kala membakar rokok lebih penting dari kebutuhan pokok

Produksi dan konsumsi melonjak

Bahkan, menurutnya, konsumsi rokok selama pandemi semakin bertambah. Ini sejalan dengan jumlah produksi dan pabrik rokok yang kian bertambah di tahun ini. Hingga Juli 2021, produksi rokok meningkat 2,8% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi 177,66 miliar batang. Jauh lebih tinggi bila dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya yang sebanyak 172,92 miliar batang.

Jika dirinci, produksi sigaret kretek tangan (SKT) naik 10,6% dari 40,4 miliar batang menjadi 44,7 miliar batang. Produksi sigaret kretek mesin (SKM) tumbuh tipis 0,6% dari 125,8 miliar batang menjadi 126,6 miliar batang. Sedangkan rokok jenis sigaret putih mesin (SPM) turun -5,1% dengan produksi dari 6,7 miliar batang menjadi 6,3 miliar barang.

Selain itu, pada awal tahun 2021, Kantor Bea dan Cukai Kudus mencatat adanya penambahan jumlah pabrik rokok segmen SKT di Kabupaten Pati, Jawa Tengah dari sebelumnya yang hanya 80 pabrik menjadi 111 pabrik, atau terjadi penambahan sebanyak 31 pabrik.

“Ini bukti kalau memang demand untuk rokok murah lebih banyak selama pandemi. Dan industri tahu itu, makanya lebih banyak produksi rokok murah,” imbuh Aryana.

Dengan intensitas merokok yang ajeg atau bahkan lebih tinggi, tak heran jika 63% responden setuju bahwa mereka merasa pengeluaran suaminya untuk membeli rokok sangat besar. Selain itu, hampir 50% responden juga merasa bahwa pengeluaran suami untuk membeli rokok telah menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran rumah tangga untuk keperluan yang lain. Secara umum, 47% responden setuju kebiasaan merokok suami turut berkontribusi dalam menurunkan standar kualitas hidup rumah tangga mereka. 

Sebab, pengeluaran yang seharusnya dapat digunakan untuk membeli beras, susu, daging, atau bahkan biaya sekolah anak justru dibelanjakan rokok oleh sang ayah. “Mereka ini lebih memilih untuk menggunakan sumber daya finansialnya untuk beli rokok dari pada beli barang-barang yang dibutuhkan anak dan keluarganya. Di sini letak permasalahannya,” ujar Pegiat Anti Rokok Fuad Baradja, dalam diskusi Polemik Peningkatan Tarif Cukai Rokok, Rabu (27/10).

Bahkan, mengutip data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2019,  pengeluaran untuk rokok dan tembakau pada tahun 2018 menjadi yang terbesar kedua setelah makanan dan minuman jadi. Proporsi pengeluaran rokok dan tembakau mencapai 11,75% dari total pengeluaran rata-rata masyarakat. Sedangkan pengeluaran masyarakat untuk makanan dan minuman jadi adalah sebesar 33,98%.

Sponsored

Ilustrasi Pixabay.com.

Sejak 2017, pengeluaran rokok dan tembakau tercatat naik sebesar 2,9% menjadi Rp64.384 per kapita, dari sebelumnya hanya sekitar Rp62.585 per kapita sebulan. Pada 2018, pengeluaran rokok kembali menanjak hingga 5,6% menjadi Rp67.996 per kapita sebulan dan naik lagi 2,1% menjadi Rp69.413 per kapita sebulan.

“Enggak heran kalau anak-anak dari golongan masyarakat yang kurang beruntung ini jarang makan daging. Enggak jarang juga bayi malah dikasih tajin, bukan susu,” ujar Fuad.

Kondisi ini, lanjut aktivis yang juga menjabat sebagai Anggota Komnas Pengendalian Tembakau Bidang Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat itu tak hanya terjadi di kota-kota kecil saja, melainkan juga di kota besar dan metropolitan.

Sementara itu, kecanduan zat adiktif adalah sebab terbesar para kepala rumah tangga tersebut lebih memilih membeli rokok ketimbang kebutuhan pokok. Padahal, saat suami atau ayah merokok, tak hanya berdampak negatif saja pada pengeluaran rumah tangga mereka, namun juga kesehatan serta kondisi psikologis anggota keluarga lainnya.

Dari sisi kesehatan, anggaran rumah tangga untuk kebutuhan pokok yang berkurang demi rokok, praktis membuat gizi anak-anak dari masyarakat kelas menengah ke bawah tersebut tidak terpenuhi. Sebab, anak-anak tidak mendapatkan gizi yang semestinya bisa didapatkan saat masa emas atau golden age-nya. Padahal, masa-masa penting pertumbuhan manusia adalah saat masa emas atau di 1.000 hari pertama mereka.

Sebaliknya, untuk anak yang kekurangan gizi pada masa emasnya, jelas pertumbuhan sel otaknya akan kalah dengan anak-anak yang diberikan gizi penuh oleh si orang tua. Bahkan, tak jarang Fuad menemukan terdapat anak yang memiliki otak kecil dengan tempurung kepala jauh lebih besar. 

"Karena pertumbuhan otaknya enggak maksimal, sedangkan tempurung kepalanya terus tumbuh. Jadilah otaknya koplak," tambahnya.

Belum lagi, orang yang merokok memiliki risiko kematian lebih besar dibandingkan orang yang tidak merokok. Hal ini karena para perokok mempunyai faktor-faktor yang mempermudah mereka  menderita penyakit lebih berat, seperti gangguan saluran pernapasan hingga paru-paru yang sudah kekurangan aliran darah dan tak lagi bisa membunuh kuman. Sehingga organ dalam, khususnya paru-paru perokok lebih rentan rusak oleh virus SARS-CoV-2.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Center for Economic and Development Studies Universitas Padjajaran, tingkat kematian lebih tinggi terjadi pada perokok, yakni mencapai  0,62% hingga 3,86%. "Ini fakta yang memang tidak bisa dipungkiri. Di banyak negara juga terjadi yang demikian," ujar Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (20/10).

Namun demikian, segala macam potensi risiko tersebut tak membuat kepala keluarga yang merokok merasa gentar. Sebaliknya, dengan dalih menghilangkan stres hingga agar lebih konsentrasi dalam bekerja, asap rokok terus mengepul dari mulut si ayah, alih-alih dapur rumah tangganya.

Padahal, masih menurut hasil survei PKJS SKSG - UI, ayah yang merokok akan lebih berpeluang menurunkan minat merokok mereka kepada anak-anaknya. Bahkan, dari data survei itu, 6,4% responden mengaku bahwa anak mereka juga merupakan perokok aktif. Ironisnya, 72% berpendapat, anak-anaknya merokok karena mengikuti kebiasaan anggota keluarganya yang merokok, dalam hal ini adalah orang tua dan juga dikarenakan alasan pergaulan.

"Nanti anaknya kalau sudah bekerja dan berumah tangga akan menggunakan sumber daya fiskalnya untuk rokok juga dan mereka akan tetap di dalam ambang kemiskinan. Jadi memang benar kalau merokok itu menurun. Bukan menurun jumlahnya, tapi turun dari ayah ke anak," kata Fuad Baradja, Rabu (27/10).

Dengan begitu, tidak heran jika Indonesia mendapat predikat sebagai negara dengan perokok terbanyak di dunia. Berdasarkan temuan terbaru dari analisis tren merokok 1990-2019 di 204 negara dan wilayah yang dirilis Global Disease Burden Study (GBD), pada 2019 ada sekitar 58 juta perokok laki-laki dan 3,46 juta perokok perempuan di Nusantara.

Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.

Ini sejalan dengan peningkatan prevalensi merokok penduduk umur 10 Tahun dari 28,8% pada tahun 2013 menjadi 29,3% pada tahun 2018. Pun demikian dengan prevalensi merokok pada populasi usia 10 hingga 18 Tahun yakni sebesar 1,9% dari tahun 2013 yang pada saat itu mencapai 7,2% ke tahun 2018 yang sebesar 9,1%.

Selain karena melihat kebiasaan orang tua merokok, tingginya tingkat prevalensi rokok di Tanah Air disebabkan juga oleh harga rokok yang tergolong sangat murah. Bahkan, di dunia Indonesia menjadi negara dengan harga rokok termurah ke sepuluh, yakni dengan harga rokok US$1,97 (asumsi rokok Marlboro per 20 batang). Selisih tipis dibandingkan Brazil yang memiliki harga rokok sebesar US$1,98.

"Ini karena cukai rokok yang belum maksimal. Apalagi, kita untuk iklan-iklan rokok dan sponsor dari rokok juga masih gencar," imbuhnya.
 

Negara dan harga rokok dunia (Sumber: Numbeo untuk rokok jenis Marlboro 20 batang).
Peringkat Negara Harga rokok
1 Australia US$27,85
2 New Zealand US$25,09
3 Irlandia US$16,15
4 Norwegia US$16,15
5 Inggris US$15,7
6 Kanada US$12,11
7 Prancis US$11,60
8 Islandia US$11,52
9 Israel US$10,94
10 Singapura US$10,46
99 Brazil US$1,98
100 Indonesia US$1,97
110 Nigeria US$0,97

 

Berita Lainnya
×
tekid