sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kebijakan cukai plastik, solusi atau masalah?

Cukai plastik dianggap efektif jika dilihat dari dua sudut pandang, baik lingkungan dan penerimaan.

Cantika Adinda Putri Noveria
Cantika Adinda Putri Noveria Rabu, 19 Des 2018 13:41 WIB
Kebijakan cukai plastik, solusi atau masalah?

Cukai plastik solusi?

Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menjelaskan, pengenaan cukai plastik merupakan upaya preventif yang penting untuk dilakukan sebagai upaya pengendalian eksternalitas negatif. Menurutnya, cukai plastik dianggap efektif jika dilihat dari dua sudut pandang, baik lingkungan dan penerimaan.

Dari sisi lingkungan, kata Yustinus, pengenaan cukai dapat mengendalikan tingkat konsumsi masyarakat, sehingga meminimalisir eksternalitas negatif dari penggunaan plastik. Sedangkan dari sisi penerimaan, tentu akan memberikan pengaruh terhadap penerimaan negara secara signifikan. Selain itu, berguna dalam penganggulangan dampak dari eskternalitas negatif tersebut.

"Pengenaan cukai pada plastik kresek adalah penyempurnaan program plastik berbayar," ujar Yustinus.

Lebih lanjut, kata dia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 tentang Cukai, pemerintah dapat menggunakan dana cukai plastik untuk memperbaiki penanganan limbah, baik melalui mekanisme earmarking atau tidak.

Relawan Konsorsium Peduli Bogor (KPB) membagikan tas guna ulang saat sosialisasi Bogor Anti Kantong Plastik (Antik) di Taman Ekspresi, Kota Bogor, Jawa Barat, Minggu (25/11). (Antara Foto).

Penerapan cukai kantong plastik kresek, kata dia, bisa dikenakan melalui taxing point yang ada di pabrikan, baik di ritel modern maupun tradisional. "Plastik kresek (akan) dikenakan cukai," ujar dia.

Sponsored

Dengan begitu, pungutan bagi plastik kresek akan menjadi lebih efektif, baik untuk mengurangi konsumsi maupun bagi penerimaan. Sejalan dengan itu, peneliti madya dari Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Joko Tri Haryanto mengatakan, pekerjaan besarnya saat ini adalah bagaimana mengonsepkan earmarking.

Earmarking merupakan kebijakan pemerintah dalam menggunakan anggaran, yang sumber penerimaan maupun program pengeluarannya sudah secara spesifik ditentukan peruntukannya.

"Jangan sampai pengenaan cukai ini menganggu circle ekonomi yang sudah muncul. Tapi bagaimana bisa memperkuat dengan earmarking itu," katanya.

Bicara mengenai dampak saat ini, lanjut dia, ada dua aspek. Pertama, sampah yang sudah ada saat ini. Kedua, potensi sampah baru, karena banyak masyarakat belum mengubah pola produksi yang ramah lingkungan.

"Earmarking secara garis beras bisa difokuskan kepada dua hal itu," kata dia.

Dengan demikian, dalam hal ini, pemerintah juga harus mengelola dan menangani problem eksisting sampah saat ini. Pemerintah punya kewenangan untuk menciptakan dana pengelolaan sampah. Skemanya bisa melalui APBN.

"Ada pajak dan cukai. Kalau pajak dia general, sehingga kalau dipungut earmarking-nya agak susah. Yang pas itu cukai. Karena itu pungutan yang tujuannya untuk menekan laju konsumsi atas barang-barang yang harus diawasi peredarannya," kata dia.

Kendati demikian, sampai saat ini regulasi untuk cukai plastik pun masih akan terus dibahas pemerintah, dan entah kapan benar-benar diterapkan. Fajar mengingatkan, cukai jangan dianggap sebagai sebuah ancaman.

“Kami selalu percaya, cukai itu instrumen untuk mengubah perilaku. Karena kalau tidak diawasi, dikhawatirkan dampak negatif externality-nya lebih banyak," kata Fajar.

Berita Lainnya
×
tekid