Kebijakan PSBB berpotensi ciptakan kemiskinan struktural
Pandemi Covid-19, jauh lebih berdampak bagi warga miskin perkotaan daripada yang berada di pedesaan.
Kebijakan Pembatasan Skala Berskala Besar (PSBB) dinilai menciptakan kemiskinan struktural karena kebijakan PSBB menghentikan sumber penghasilan.
“Jadi, kemiskinan (baru) itu muncul karena kebijakan (PSBB),” ujar Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Derajad Sulistyo Widhyharto saat dihubungi, Sabtu (25/4).
Pandemi Covid-19, jauh lebih berdampak bagi warga miskin perkotaan daripada yang berada di pedesaan. Pekerjaan warga miskin perkotaan biasanya lekat dengan kerumunan. Misalnya, pedagang di pasar. Mungkin itu sebabnya konsep physical distancing tidak berjalan di perkampungan warga miskin perkotaan yang padat.
Itulah sebabnya ekspos media terhadap ojek online (ojol) sebagai kalangan paling terdampak coronavirus baru (Covid-19) dinilainya keliru.
Derajad mengungkapkan, kebijakan PSBB paling berdampak terhadap warga miskin perkotaan yang bekerja di sektor nonojol. Pasalnya, pekerjaannya berada di sektor informal dan berupah harian. Sementara ojol masih bisa bertahan hidup dengan mengantarkan makanan. Bahkan, solidaritas komunal ojol terbilang bagus.
“Cara berpikir yang keliru. Keliatannya yang diekspos media paling miskin ojol,” ucapnya,
“Mereka pekerja harian. Seperti bagi pekerja toko, pekerja salon, itu benar-benar berhenti. Kalau ojol masih bisa saling membantu dengan temannya,” terang dia.
Di sisi lain, kata dia, pandemi Covid-19 ini juga momentum bagi pemerintah mengembalikan warga miskin kota ke daerah asalnya. Di daerah pemerintah bisa menyalurkan ke sektor-sektor yang masih diizinkan untuk beroperasi selama PSBB.
“(Mereka) bisa dipadat karyakan. Kalau di desa, mereka bisa ke sektor pertanian. Lahan pertanian luas. Bisa physical distancing dan tetap produktif. Jadi, mereka yang sudah mudik ke desa. Bisa kembali ke sektor pertanian,” tutur Derajad.