sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kemenperin: 2% dari GDP dialokasikan untuk riset teknologi

Indonesia mempunyai potensi besar dalam menerapkan revolusi industri generasi keempat.

Eka Setiyaningsih
Eka Setiyaningsih Rabu, 01 Agst 2018 13:03 WIB
Kemenperin: 2% dari GDP dialokasikan untuk riset teknologi

Kementerian Perindustrian telah menyusun peta jalan (roadmap) implementasi Industri 4.0 di Indonesia yang diluncurkan Presiden Joko Widodo, beberapa waktu lalu. Salah satunya, mengatur persentase GDP untuk kebutuhan riset.

Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto, menjelaskan, peta jalan itu tengah disosialisasikan dengan istilah Making Indonesia 4.0. Isinya aspirasi besar Indonesia pada 2030, sektor industri prioritas dan strategi implementasi Industri 4.0 baik per sektor industri prioritas maupun lintas sektor.

"Aspirasi ini setidaknya menuntun kita semua untuk dapat membawa Indonesia menjadi 10 besar ekonomi dunia," kata Airlangga di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) Jakarta, Rabu (1/8).

Airlangga menyebut, 10 besar ekonomi dunia yang dimaksud ialah, mengembalikan angka net ekspor Indonesia sebesar 10% yang saat ini hanya 0,8% saja. Selain itu, pemerintah juga ingin meningkatkan produktivitas tenaga kerja sebesar dua kali lipat dibandingkan peningkatan biaya tenaga kerja.

"Setidaknya 2% dari Gross Domestic Product (GDP) untuk dapat dialokasikan ke dalam aktivitas Research and Development (R&D) teknologi dan inovasi," ungkapnya.

Dalam inisiatif Making Indonesia 4.0 telah ditetapkan lima sektor industri prioritas implementasi sistem Industri 4.0 di Indonesia. Tentunya sektor-sektor itu ialah sektor industri yang telah memiliki kesiapan dan berpotensi memberikan daya ungkit yang paling besar.

Kelima sektor yang dimaksud Airlangga ialah sektor industri makanan dan minuman, otomotif, elektronik, kimia, tekstil dan produk tekstil.

"Pemilihan sektor prioritas tidak berarti sektor lain dikesampingkan dalam penerapan Industri 4. 0. Kami berkomitmen untuk memajukan seluruh sektor industri di Indonesia sehingga pada tahap berikutnya akan dirumuskan juga langkah-langkah strategis pengembangan sektor industri lainnya melalui penerapan sistem Industri 4.0 di Indonesia," pungkasnya.

Sponsored

Indonesia mempunyai potensi besar dalam menerapkan revolusi industri generasi keempat. Apalagi, Indonesia telah menjadi basis produksi sektor manufaktur dari perusahaan-perusahaan global untuk memenuhi pasar domestik dan ekspor.  

Airlangga menceritakan, implementasi industri 4.0 pertama kali didorong Jerman pada 2011. Alasannya, mereka ingin mengembalikan sektor manufaktur menjadi kekuatan perekonomiannya.

“Jadi, apabila kita ingin masuk ke negara maju, tidak hanya berbasis jasa. Selama ini, sektor manufaktur kita memberikan kontribusi yang besar terhadap PDB. Di Eropa, tidak punya SDM melimpah, sehingga lari ke otomatisasi, robotik, dan seterusnya. Kita lihat juga negara lain di Asia, seperti India dan Thailand yang fokus pada pengembangan sektor manufaktur,” paparnya dalam kesempatan berbeda.

Merujuk data The United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), posisi Indonesia berada di peringkat ke-4 di dunia, setelah Korea, Jerman dan China sebagai negara yang kontribusi sektor manufakturnya di atas 17%. 

Selanjutnya, dilihat dari pertumbuhan industri manufaktur nasional, rata-rata masih di atas 5%. Sektor pengolahan ini menjadi pendorong utama dalam pertumbuhan ekonomi. Efek berantainya bisa meliputi pada peningkatan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, dan penerimaan devisa.

“Contohnya di sektor industri mesin dan perlengkapan itu hampir tiga kali pertumbuhan ekonomi, yakni sebesar 14,98%, kemudian industri makanan dan minuman mencapai 12,7%,” sebutnya. Selain itu, terjadi kenaikan nilai ekspor di sektor industri hingga 13,14% pada 2017 dibanding tahun sebelumnya dan mampu berkontribusi sebesar 74% untuk seluruh nilai ekspor Indonesia.

Menperin menyampaikan, guna menjaga kinerja sektor manufaktur, perlu keberlanjutan produki melalui arus pasokan bahan baku yang baik termasuk dari potensi bahan baku baru. Untuk material baru ini bisa dari hasil hutan, seperti untuk kebutuhan industri farmasi, kertas, dan tekstil.

Ke depan, lanjut Airlangga, negara Norwegia dan Finlandia sudah menggunakan fiber dari kayu. “Kita punya competitive advantage di bidang kayu karena di negara subtropis perlu 20 tahun untuk panen kayu, Indonesia bisa 8-10 tahun. Makanya, harus cari solusi teknologi dan lingkungan,” imbuhnya.

Di sisi lain, pemerintah tengah mendorong penumbuhan dan pemerataan industri terutama di luar Jawa. Salah satunya melakukan replikasi kawasan industri seperti di klaster Bekasi Selatan, dengan satu juta orang lapangan pekerjaan yang berhasil diciptakan di kawasan industri tersebut, GDP-nya dari seluruh pabrik lebih dari US$ 35 miliar per tahun atau GDP-nya per kapita sebesar US$ 35.000.

Beberapa pembangunan kawasan industri di luar Jawa, seperti di Morowali, Sei Mangkei, Lhokseumawe, dan Lampung terus menunjukkan progres yang baik. Kemenperin juga semakin aktif menarik investor untuk mengisi kawasan industri tersebut. “Saat ini, Kemenperin mampu produksi stainless steel dari nickel ore jadi hot rolled coil (HRC), dari yang awalnya harga US$ 40-80 bisa mencapai di atas US$ 2.000 untuk HRC. Jadi ada peningkatan nilai tambah. Juga, ekspor stainless steel terbesar ke AS,” tuturnya.

Guna memasuki industri 4.0, Kemenperin pun mendorong pembangunan infrastruktur digital melalui peningkatan jaringan internet hingga 5G untuk di kawasan industri. Bahkan, mulai masuk ke lingkungan pesantren untuk pengenalan ekonomi digital ini, sehingga disebut ekonomi gotong royong di era digital untuk menumbuhkan sektor industri kecil dan menengah.

Berita Lainnya
×
tekid