sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kenormalan baru di mal: Pemulihan ekonomi atau bunuh diri bisnis?

Adagium ‘semakin cepat semakin baik’ tidak berlaku dalam penetapan masa kenormalan baru.

Fajar Yusuf Rasdianto
Fajar Yusuf Rasdianto Rabu, 03 Jun 2020 10:05 WIB
Kenormalan baru di mal: Pemulihan ekonomi atau bunuh diri bisnis?

Sekali lagi publik disajikan pada satu ketidaksinkronan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam penanganan Covid-19. Seminggu lalu (26/5), Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkunjung ke Summarecon Mal Bekasi untuk meninjau persiapan pemerintah kota dalam menyongsong skenario kenormalan baru (New normal).

Kasubbag Publikasi Eksternal Humas Setda Kota Bekasi, Indah Indri Hapsari sempat menyampaikan bahwa kunjungan presiden ke Summarecon Mal Bekasi dalam rangka mendorong roda ekonomi dan membuka kembali pusat perbelanjaan.

“Dalam rangka opening roda perekonomian. Dalam rangka pembukaan mal-mal. Cuma tetap menggunakan standar protokol Covid,” kata Indah seperti dinukil dari Detik.com, (26/5).

Kabar itu sempat memberi angin segar bagi Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI). Melalui sebuah surat resmi yang diterima Alinea.id, Ketua APPBI DKI Jakarta Ellen Hidayat bahkan telah mengeluarkan daftar 73 mal yang akan dibuka pada 5 dan 8 Juni 2020.

Tapi tak lama setelah itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan langsung membantah dengan tegas. Anies mengatakan bahwa rencana pembukaan mal hanyalah mimpi. Belum ada aturan mana pun, imbuhnya, yang mengatakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta akan berakhir.

“Jadi kalau saat ini ada yang mengatakan mal akan buka tanggal 5 Juni itu imajinasi, itu fiksi. Karena belum ada aturan mana pun yang mengatakan PSBB akan diakhiri,” tutur Anies di Tol Jakarta-Cikampek, (26/5).

Kesimpangsiuran kabar pembukaan mal ini terus berkembang sampai-sampai reporter Detik.com yang melaporkan berita itu pertama kali pun mendapat ancaman pembunuhan melalui pesan singkat Whatsapp (WA).

Dari sisi ekonomi, ketidakjelasan pemerintah dalam persiapan kenormalan baru ini juga menimbulkan gejolak di lantai bursa. Pada perdagangan (27/5), saham sejumlah emiten properti—yang sebagian besar bisnisnya bergantung pada pergerakan mal—mengalami tren yang kurang menggembirakan.

Sponsored

Saham PT Summarecon Agung Tbk (SMRA), pemilik Summarecon Bekasi terdepresiasi 0,46% ke level Rp434 per unit. PT Lippo Karawaci Tbk. (LPKR) pengelola mal Lippo Group turun 1,33% ke level Rp148 per unit. Sementara, saham PT Agung Podomoro Land (APLN) pengelola mal Central Park juga lengser tipis 1% ke angka Rp99 per unit.

Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di ruangan salah satu mall Kota Tegal, Jawa Tengah, Kamis (14/5/2020). Penyemprotan oleh Dinas Kesehatan Kota Tegal di sejumlah mall dan tempat keramaian tersebut dilakukan jelang relaksasi PSBB Kota Tegal. Foto Antara/Oky Lukmansyah/nz

Peninjauan ulang

Wacana pembukaan mal sejatinya sudah direncanakan jauh-jauh hari oleh Kementerian Koordinator Perekonomian (Kemenko Perekonomian). Pada 7 Mei lalu, sempat beredar luas materi presentasi Kemenko Perekonomian terkait kajian awal pemulihan ekonomi pasca-pandemi Covid-19.

Materi berjudul ‘Road Map Ekonomi Kesehatan Keluar Covid-19’ itu menyatakan bahwa rencana pemulihan ekonomi akan terdiri dari 5 fase. Fase pertama dimulai pada 1 Juni 2020 dan fase terakhir akan dimulai pada 20 Juli 2020.

Rencana pembukaan mal sendiri masuk pada fase 2. Dalam kajian itu tertulis bahwa pada 8 Juni 2020, beberapa pusat perbelanjaan, termasuk pasar, mal dan toko boleh kembali dibuka asal dengan protokol kesehatan yang ketat.

Namun jika melihat rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rencana pembukaan mal ini agaknya masih jauh panggang dari api. Pasalnya, sejauh ini Indonesia belum sama sekali menunjukkan indikasi kriteria kenormalan baru yang direkomendasikan WHO.

Ada setidaknya 6 kriteria yang disyaratkan WHO untuk suatu negara dapat memasuki era kenormalan baru. Pertama, negara mampu membuktikan bahwa transmisi Covid-19 dapat dikendalikan. Kedua, negara harus memastikan bahwa kapasitas sistem kesehatan dan kesehatan masyarakat termasuk rumah sakit tersedia untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak dan mengkarantina.

Ketiga, risiko penularan diminimalkan dalam pengaturan kerentanan tinggi, terutama di panti jompo, fasilitas kesehatan mental, dan tempat-tempat keramaian. Selanjutnya, menerapkan pembatasan fisik di tempat kerja. Kelima, pemerintah harus mengendalikan risiko kasus impor. Terakhir, masyarakat perlu dilibatkan dalam kenormalan baru.

Sementara di Indonesia, kurva penularan Covid-19 masih terbilang cukup tinggi. Setiap harinya, rerata 600-an orang tertular virus Corona baru ini. Data Selasa 2 Juni 2020 menunjukkan, jumlah pasien yang dinyatakan positif Corona atau Covid-19 bertambah 609 orang sehingga total menjadi 27.549 kasus positif. 

Selain itu, ada penambahan pasien sembuh sebanyak 298 orang sehingga total pasien sembuh mencapai 7.935 orang. Sementara jumlah pasien meninggal dunia bertambah 22 orang, sehingga total kasus kematian sebanyak 1.663 orang.

Angka ini jelas menunjukkan betapa Indonesia sejatinya belum cukup siap untuk menuju era kenormalan baru. Lebih-lebih lagi jika kenormalan baru itu diawali dengan dibukanya mal-mal yang kerap menjadi pusat keramaian.

Bunuh diri bisnis

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, wacana kenormalan baru yang digembar-gemborkan pemerintah saat ini masih terlalu terburu-buru. Ia menganggap wacana ini bukan sebagai pemulihan ekonomi, melainkan bunuh diri bisnis.

Menurutnya, jika pemerintah tetap memaksakan membuka mal tanpa memerhatikan kurva penularan Covid-19, maka dampaknya justru akan buruk bagi pelaku usaha. Biaya operasional mal akan membengkak dan ujungnya malah terjadi kebangkrutan besar-besaran di sektor retail.

“Dengan kurva penularan yang masih 600-an, konsumen masih takut ke mal. Dia khawatir mereka pergi ke mal tapi keselamatan dirinya gimana? Sehingga efeknya gimana? Biaya operasional untuk pusat perbelanjaan semakin membengkak,” tutur Bhima saat berbincang dengan Alinea.id, (29/5).

Pernyataan Bhima ini jelas bukanlah isapan jempol belaka. Jika merujuk pada negara China yang telah lebih dulu melakukan konsep kenormalan baru, pembukaan mal memang sama sekali tidak memberikan dampak positif bagi pemulihan ekonomi.

Sebaliknya, pembukaan mal di China justru berdampak pada kebangkrutan sekitar 20% toko retail di Negeri Tirai Bambu. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) China, penutupan toko itu sekitar 30% nya didominasi oleh restoran, fesyen, dan perhiasan.

Disadur dari Bloomberg Businessweek, salah satu penyebab kebangkrutan sejumlah toko retail di China adalah berubahnya pola belanja konsumen ke platform daring (dalam jaringan) selama masa pandemi Covid-19. Kebiasaan itu berlanjut hingga masa setelah pandemi.

Terbukti, ketika sebagian besar toko retail ‘megap-megap’ mendorong penjualan, toko-toko e-commerce di China justru mendapatkan pertumbuhan yang cukup menggembirakan. Setidaknya selama tiga bulan kenormalan baru berlangsung, penjualan daring di China meningkat sebesar 5,9%.

Disrupsi e-commerce

Di Indonesia sendiri, e-commerce memang telah menjadi sedikit disrupsi bagi para pelaku retail. Pertumbuhan e-commerce yang kian pesat selama tiga tahun terakhir telah mengancam keberadaan toko-toko retail dengan konsep department store.

Pengunjung department store terus berkurang drastis semenjak adanya e-commerce. Hal ini secara tidak langsung berdampak pada jumlah okupansi mal yang mulai turun tipis sejak 2017 lalu.

Berdasarkan data Colliers International pada kuartal I 2020, jumlah okupansi mal di Jakarta saat ini hanya sekitar 80%, sementara untuk wilayah Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek) sebesar 79,6%.

Senior Associate Director Research Colliers International, Ferry Salanto memprediksi, angka itu akan kembali turun pada akhir tahun sekitar 4,5-4,7%. Artinya, tingkat okupansi mal di Jakarta akan tersisa sekitar 78%, sementara wilayah Bodetabek menjadi 75%.

“Tapi ini ‘kan di Q2 (kuartal 2) akan kita hitung ulang lagi. Dan itu bisa berubah lagi. Nanti kalau ada datanya berubah, ternyata yang sekarang sudah turunnya drastis, bisa jadi tambah turun sih,” terang Ferry melalui sambungan telepon pekan lalu.

Namun, Ferry meyakini bahwa penurunan okupansi mal bukan semata-mata disebabkan oleh bertumbuhnya e-commerce saja. Lebih dari itu, ia mengatakan bahwa penurunan okupansi di pusat perbelanjaan juga disebabkan oleh bertambahnya jumlah mal baru di Indonesia.

Kebanyakan mal baru ini, kata ia, memiliki kualitas yang kurang begitu bagus jika dibandingkan mal-mal yang sudah ada sebelumnya. Sehingga dengan begitu, para pengusaha retail pun terkesan ogah untuk menempatkan tokonya di mal-mal baru tersebut.

“Memang ada unsur dari e-commerce, tapi tidak terlalu signifikan (berdampak pada penurunan okupansi mal). Kedua ada mal baru juga yang belum menyesuaikan dengan perkembangan saat ini,” tutur Ferry.

Menurut catatan Colliers Indonesia, ada 11 proyek mal yang akan beroperasi tahun 2020. Sebanyak 7 di antaranya berada di luar Jakarta.

Sepanggung sepenarian, Head of Research and Consultancy Savills Indonesia, Anton Sitorus mengatakan, penambahan mal yang tidak sebagus dulu berpengaruh terhadap minat retailer untuk berekspansi. Tetapi, kata ia, itu hanya salah satu faktor kecil.

Terlepas dari itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terbilang standar selama lima tahun terakhir adalah faktor terbesarnya. Pertumbuhan ekonomi di kisaran 5%, menurutnya, kurang mampu mendongkrak daya beli masyarakat.

“Pertumbuhan ekonomi kita memang bagus di atas 5%. Tapi kurang kuat untuk membuat daya beli atau spending power itu meningkat. Karena secara global ekonomi juga dibayang-bayangi oleh uncertainty (ketidakpastian),” ungkap Anton kepada Alinea.id.

Kini, dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi 2,5% atau paling buruk -0,4%, Anton memprediksi bahwa okupansi mal akan kembali terpuruk di akhir tahun. Penurunannya, sambung ia, bisa mencapai 10%. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa sebagian dari pengusaha retail di Indonesia akan bangkrut setelah masa kenormalan baru berlangsung.

“Perkiraan kita sih ya paling tidak berkurangnya dari posisi sekarang bisa 10% berkurangnya. Kalau misalnya tingkat huniannya satu mal itu 90%. Bisa jadi setelah ini mereka bisa kehilangan 5-10%,” terang Anton.

Kesiapan pelaku usaha

Namun terlepas dari bayang-bayang negatif itu, para pelaku usaha mal dan retail sejatinya sudah cukup siap untuk menyambut masa kenormalan baru. Meski sebagian besar dari mereka juga tidak menampik bahwa kemungkinan pergerakan mal di masa kenormalan baru masih akan berjalan landai atau bahkan lambat.

Wakil Ketua Umum DPP APPBI Alphonsuz Widjaja menyebut, lambatnya pergerakan mal pada masa kenormalan baru ini kemungkinan disebabkan oleh dua hal. Pertama, pandemi Covid-19 belum berakhir. Kedua, faktor ekonomi nasional yang belum pulih sepenuhnya.

“Diharapkan nantinya hal ini tidak menjadikan banyak penyewa berguguran. Kalaupun sampai tidak bisa dihindari, maka diharapkan tidak lebih dari 20%,” tulis Alphonsuz melalui pesan singkat.

Sekretaris Jenderal Himpunan Penyewa Pusat Belanja Indonesia (Hippindo) Haryanto Pratantara mengakui bahwa masa kenormalan baru akan menjadi situasi yang cukup menantang bagi para pelaku retail. Nilai sewa ruang mal yang relatif sama, dan berkurangnya pengunjung akan membuat sebagian besar pelaku retail menjalani masa-masa terberat dalam bisnisnya.

Membengkaknya biaya operasional, katanya, mungkin akan membuat sebagian dari pengusaha retail gulung tikar. Walau ia tetap mengharapkan bahwa situasinya tidak sampai demikian.

“Kita berharap tidak seperti itu ya. Walaupun kemungkinan untuk kembali normal mungkin tidak bisa. Tapi seberapa tinggi kembalinya itu, agak sulit untuk diperkirakan. Kalau kita lihat situasi mirip di China (20% peretail bangkrut) itu akan jadi masalah. Karena seluruh biaya yang kita keluarkan relatif tetap,” terang Haryanto.

Padahal, semua pelaku bisnis ritel relatif siap menghadapi kenormalan baru yang memungkinkan mal kembali buka. Meskipun, beberapa tempat rekreatif seperti tempat bermain anak dan bioskop masih belum dipersiapkan beroperasi kembali.

"Di mal butuh interaksi sosial dan lain sebagainya. Mereka ke mal bukan hanya belanja tapi juga berekreasi. Kalau untuk switching memang harus kita lakukan saat ini. Tapi juga tidak bisa tutup kelamaan karena efek dominonya bahaya sekali. Itu bisa bikin banyak pengangguran," tandasnya.

Peritel, menurutnya, juga terbuka untuk menguatkan bisnisnya secara online untuk mengadaptasi perubahan perilaku konsumen kala pandemi. Ada pula yang berinovasi dengan personal selling atau menghubungi pelanggan secara langsung.

"Bahkan ada yang menarik juga yang melakukan virtual shopping tour. Mereka bisa janjian dengan petugas toko, dan petugasnya keliling toko. Tapi mereka melakukannya dari rumah," ungkapnya.

Sementara itu, Penasihat Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sudrajat bicara lebih gamblang terkait masa kenormalan baru yang mungkin tidak akan langsung sepenuhnya mengembalikan bisnis restoran pada tren positif. Ia sangat meyakini proses pemulihan bisnis restoran di masa kenormalan baru akan berjalan sangat lambat.

Setidak-tidaknya, kata ia, pergerakan yang lambat ini akan berlangsung hingga akhir tahun. Nantinya diperkirakan, setiap restoran akan mempekerjakan hanya sebagian karyawannya demi bisa menekan biaya operasional.

“Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa ini tidak akan recovery dengan cepat, setidaknya sampai Desember. Mereka kan juga banyak yang takut terhadap kesehatan. Kita pun belum tentu mempekerjakan karyawannya, bisa masuk satu hari, satu hari libur,” terang Sudrajat yang juga merupakan CEO & Founder De Solo Boutique Hotel dan Breso Resto & Coffee ini.

Tetapi ketika ditanya siap atau tidak menyambut kenormalan baru, mayoritas para pelaku usaha itu mengaku sudah siap. Mereka kini hanya menunggu instruksi dari pemerintah, kapan masa kenormalan baru itu akan diberlakukan.

Strategi protokol kesehatan menjelang kenormalan baru pun sudah disiapkan. Sedikit-dikitnya para pelaku usaha ini akan menerapkan protokol kesehatan yang telah ditentukan pemerintah, termasuk menggunakan masker, menjaga jarak, penyemprotan disinfektan, dan juga penyanitasi tangan.

Sekarang, segala keputusan pun ada di tangan pemerintah. Namun yang perlu diingat, adagium ‘semakin cepat semakin baik’ adalah tidak berlaku untuk perkara ini.

Semua dari asosiasi dan himpunan pelaku usaha yang Alinea.id wawancarai menyatakan, bahwa pemerintah tetap perlu memerhatikan kurva penularan Covid-19 terlebih dahulu sebelum akhirnya memutuskan masa kenormalan baru. Namun mereka juga berharap bahwa penanganan Covid-19 ini tidak terlalu berlarut-larut sehingga aktivitas ekonomi bisa segera kembali bergerak.


 

Berita Lainnya
×
tekid