sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Konflik masyarakat dengan perusahaan multifinance

Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) menilai masyarakat masih kurang memahami tentang hukum jaminan fidusia.

Eka Setiyaningsih
Eka Setiyaningsih Kamis, 06 Sep 2018 03:19 WIB
Konflik masyarakat dengan perusahaan multifinance

Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) menilai masyarakat masih kurang memahami tentang hukum jaminan fidusia. Tak heran masih kerap terjadi konflik antara perusahaan pembiayaan dan konsumen.

Menurut Ketua APPI Suwandi Wiratno, masalah yang cukup banyak terjadi terkait jaminan fidusia adalah pemindahtanganan barang jaminan seperti kendaraan. Permasalahannya, bisa saja barang dijual sampai digadaikan. Pun juga kerap terjadi saat proses eksekusi.

Padahal, lanjut Suwandi, asal eksekutor telah melakukan langkah-langkah sesuai standar operasi, maka eksekusi bisa dilakukan tanpa proses pengadilan.

"Bila debitur ingkar janji atau wanprestasi, perusahaan pembiayaan berhak menjual benda yang menjadi jaminan fidusia," kata Suwandi di Jakarta, Rabu (5/9).

Adapun hal tersebut diatur dalam undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia. Sementara proses pengadilan hanya diperlukan pada proses ekskusi bagi kontrak pembiayaan yang tidak menggunakan jaminan fidusia.

Kemudian, karena masih terjadi masalah terkait fidusia, pelaku industri pembiayaan akan makin meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat. Dalam sosialisasi ini pun APPI tak melakukannya sendiri, melainkan dengan menggandeng sejumlah pihak terkait.

"Kami bekerjasama dengan Otoritas Jasa Keuangan, kepolisian, hingga Kementerian Hukum dan HAM," pungkasnya.

Jaminan fidusia

Sponsored

Sementara itu, penggunaan jaminan fidusia dalam mitigasi risiko pembiayaan masih diandalkan multifinance. Secara umum pendaftaran jaminan fidusia makin banyak dalam beberapa tahun terakhir.

Kasubdit Jaminan Fidusia Kementerian Hukum dan HAM Iwan Supriadi mengatakan, penambahan pembelian kendaraan secara kredit menjadi salah satu faktor yang mendorongnya. 

Pada 2016 misalnya, ada 7,5 juta pendaftaran jaminan fidusia. Angka tersebut meningkat menjadi 8,06 juta pada 2017. Sementara sampai bulan Agustus 2018, pendaftaran jaminan fidusia sudah menyentuh angka 5,4 juta.

"Sepertinya sampai akhir tahun ini angkanya akan melebihi realisasi tahun lalu," ujar Iwan pada kesempatan yang sama.

Mitigasi risiko dalam pembiayaan sebenarnya ada dalam UU Nomor 29 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan, mitigasi risiko bisa dilakukan dengan tiga cara. Yaitu dengan menggunakan jasa asuransi kredit dan penjaminan kredit. Satu lagi dengan mekanisme jaminan fidusia.

Meski begitu, Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menyebut pemanfaatan skema asuransi dan penjaminan kredit masih minim dilakukan. Hal ini karena tidak banyak perusahaan asuransi dan penjaminan kredit yang berani menjamin.

Menurut dia, risiko dalam pembiayaan kendaraan memang cukup besar. Makanya perusahaan asuransi dan penjaminan kredit pun sangat selektif dalam memberikan proteksi dan penjaminannya.

"Sehingga memang mitigasi risiko lewat asuransi dan penjaminan itu tidak banyak," kata Suwandi.

Selain itu, konflik antara perusahaan pembiayaan dengan debitur masih sering terdengar. 

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Departemen Pengawas IKNB 2B OJK Bambang W. Budiawan menyebut permasalahan terkait jaminan fidusia biasanya dimulai dari kredit debitur yang macet. 

Sementara penarikan jaminan fidusia merupakan jalan terakhir yang dipilih multifinance atas debitur yang sudah lama menunggak.

Perlu diketahui, multifinance juga sebenarnya cenderung rugi saat harus terpaksa menarik kendaraan.

Dengan demikian, OJK mendorong agar perusahaan pembiayaan lebih selektif dalam menyalurkan kreditnya. Sehingga risiko kredit macet bisa lebih ditekan.

"Kami lebih mendorong pengelolaan risiko lebih awal. Tentunya potensi penarikan kendaraan pun bisa dihindari," jelas Bambang.

Caranya, lanjut Bambang, dengan pemetaan terhadap daerah-daerah tertentu yang memiliki historis debitur yang kurang sehat. Sehingga perusahaan pembiayaan bisa lebih hati-hati saat menyalurkan kredit di wilayah tersebut.

Berita Lainnya
×
tekid