sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Laporan keuangan ditolak, saham Garuda Indonesia ambrol

Dua komisaris Garuda Indonesia yakni Chairal Tanjung dan Dony Oskaria tidak mau menandatangani laporan keuangan pada RUPST.

Eka Setiyaningsih
Eka Setiyaningsih Kamis, 25 Apr 2019 16:46 WIB
Laporan keuangan ditolak, saham Garuda Indonesia ambrol

Saham PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) ambrol pada perdagangan sesi I hari ini, Kamis (25/4) menyusul adanya penolakan laporan keuangan tahun berjalan 2018 oleh dua komisaris perseroan. 

Harga saham GIAA anjlok 4,4% atau 22 poin menuju level Rp478. Sepanjang sesi I harga saham GIAA berada pada level terendah Rp474 dan level tertinggi Rp500.

Adapun saham GIAA ditransaksikan senilai Rp13,8 miliar dengan volume 28,64 juta dan frekuensi 2.841 kali. 

Secara year to date (ytd) saham maskapai pelat merah ini berada pada zona hijau yakni menguat 60,40%. Namun secara sepekan saham ini merosot 8,95%.

Analis Panin Sekuritas William Hartanto mengatakan, secara teknikal sejak pertengahan Maret 2019 saham GIAA sudah memasuki masa jenuh atau overbought

"Jadi memang penguatannya sudah mendekati berakhir. Untuk support selanjutnya, ada pada Rp450, investor bisa lajunya averaging di harga itu," kata William saat dihubungi Alinea.id, Kamis (25/4).

Di sisi lain, Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gustama menilai anjloknya saham Garuda merupakan hal yang wajar.

Sebab semua pergerakan harga saham relatif melemah pada perdagangan sesi I hari ini sehingga pergerakan IHSG pun juga ikut melemah.

Sponsored

Sementara itu, Direktur Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan, salah satu faktor anjloknya saham GIAA  adanya laporan keuangan yang ditolak oleh komisarisnya.

"Hal ini tentu menjadi sesuatu yang akan memberatkan karena ada hal yang tidak disetujui dalam laporan keuangan," kata Nico.

Berdasarkan laporan keuangan Garuda Indonesia, perseroan mampu membukukan laba bersih senilai US$809.846 pada 2018. Perolehan ini berbanding terbalik dengan tahun sebelumnya yang masih merugi sebesar US$216,58 juta.

Namun, laba bersih ini dibukukan ketika perusahaan justru mencatatkan perlambatan pendapatan. Total pendapatan sepanjang 2018 naik 4,69% year on year (yoy) menjadi US$4,37 miliar dibandingkan pencapaian 2017 senilai US$4,18 miliar. Padahal, penjualan tahun 2017 mencapai 8,11% dari tahun sebelumnya.

Melambatnya pertumbuhan penjualan tahun 2018 karena pendapatan dari lini bisnis penerbangan tidak berjadwal (haji dan charter) anjlok 11,5%. Padahal tahun sebelumnya pos pendapatan ini tumbuh 56,2%.

Di sisi lain, pendapatan dari lini bisnis penerbangan berjadwal hanya naik 4,01% ke US$3,54 miliar tahun lalu. Dengan demikian, secara operasional, perusahaan penerbangan pelat merah ini mestinya merugi karena total beban usaha yang dibukukan perusahaan tahun lalu mencapai US$4,58 miliar atau US$206,08 juta lebih besar dibandingkan pendapatan yang dibukukan pada 2017 senilai US$4,24 miliar.

Berdasarkan laporan keuangan, kinerja tahun lalu diselamatkan oleh pendapatan kompensasi atas hak pemasangan peralatan layanan konektivitas dan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten pada 2018 senilai US$239,94 juta, yang sebelumnya belum dibukukan sepanjang 2017.

Pendapatan ini diperoleh dari PT Mahata Aero Teknologi. Pada 31 Oktober 2018, Grup Garuda, termasuk Sriwijaya Air, mengadakan perjanjian kerja sama dengan Mahata untuk penyediaan layanan hiburan dan konektivitas dalam penerbangan (wi-fi on board) yang disetujui pada 26 Desember 2018.

Menurut catatan tersebut, nantinya perusahaan tersebut akan melakukan dan menanggung seluruh biaya penyediaan, pelaksanaan, pemasangan, pengoperasian, perawatan /pembongkaran dan pemeliharaan, penggantian peralatan layanan konektivitas dan hiburan dalam pesawat, serta manajemen konten.

Mahata juga membayar biaya kompensasi atas hak pemasangan layanan konektivitas dalam penerbangan di 153 pesawat milik Garuda sebesar US$131,94 juta ditambah dengan biaya kompensasi sebesar US$80 juta atas hak pengelolaan layanan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten untuk 99 pesawat Garuda setelah ditandatanganinya perjanjian.

Hal itulah penyebab dua komisaris Garuda Indonesia menolak laporan keuangan 2018. Menurut mereka, terdapat beberapa pos keuangan yang pencatatannya tak sesuai standar akuntansi yang membuat kinerja Garuda Indonesia untung pada 2018, padahal seharusnya merugi.

Keberatan mereka sampaikan terkait kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan. Dalam dokumen yang didapat oleh awak media, tertulis bahwa dua komisaris Garuda yakni Chairal Tanjung dan Dony Oskaria menolak menandatangani laporan keuangan Garuda 2018.

Keduanya merupakan perwakilan dari PT Trans Airways, pemegang saham Garuda Indonesia dengan kepemilikan sebesar 25,61%.

Menurut catatan tersebut, hingga akhir 2018, belum ada pembayaran yang masuk dari Mahata Aero Teknologi. Walau begitu, Garuda Indonesia dalam laporan keuangan sudah mengakuinya sebagai pendapatan tahun lalu.

Dari pihak Trans Airways berpendapat angka itu terlalu signifikan hingga mempengaruhi neraca keuangan Garuda Indonesia. Jika nominal dari kerja sama tersebut belum masuk sebagai pendapatan, perusahaan sebenarnya masih merugi US$244.958.308.

"Adapun dengan mengakui pendapatan dari perjanjian Mahata maka perusahaan membukukan laba sebesar US$5.018.308," tulis Chairal dan Dony dalam surat tersebut.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid