sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Menanti produk lokal berjaya di e-commerce

Saat ini, e-commerce masih dibanjiri produk impor.

Laila Ramdhini Soraya Novika
Laila Ramdhini | Soraya Novika Rabu, 13 Mar 2019 19:10 WIB
Menanti produk lokal berjaya di e-commerce

Kehadiran platform perdagangan elektronik (e-commerce) disebut bisa meningkatkan daya saing produk di dalam negeri. Lebih jauh, e-commerce diharapkan bisa mengenalkan produk Indonesia ke kancah global. Sayangnya, e-commerce masih dibanjiri produk impor.

Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia Bambang Brodjonegoro, pengembangan e-commerce di Indonesia tidak sebanding dengan pertumbuhan produk lokal. 

"Indonesia belum memiliki daya saing yang tinggi terutama pada produk-produk yang paling banyak diincar konsumen lewat belanja online. Sehingga sebagian besar barang yang tersedia di e-commerce kita itu kebanyakan dari impor," ujar Bambang di Jakarta, Selasa (12/3).

Bambang menyebut kelima macam produk konsumsi dan jasa yang paling banyak diincar konsumen melalui pasar daring tersebut yakni pakaian, kosmetik atau obat, elektronika, perjalanan, dan peralatan rumah tangga.

Berdasarkan data ekspor-impor dan 'Revealed Comparative Advantage' (RCA), pengadaan produk Indonesia untuk kelima barang dan jasa tersebut berada pada level kurang dari 1%. Seperti pada barang pakaian jadi, Indonesia hanya mampu mencapai level 0,07%, kosmetik atau parfum pada level 0,32%, dan alat rumah tangga pada 0,10%.

Lebih lanjut, Bambang mengungkapkan barang dan jasa yang mendominasi e-commerce di Indonesia merupakan produk dari China. Bahkan, Bambang mengungkapkan, dominasi produk China ini bahkan mencapai 70% dari keseluruhan barang yang dijual di marketplace. 

Untuk itu, ia mengimbau kepada pemerintah dan pelaku e-commerce agar dapat menyeimbangkan pengadaan barang lokal dengan impor.

"Paling tidak produk luar yang masuk ke e-commerce kita maksimal berada pada level 50% saja, selebihnya produk lokal. Lebih bagus juga kalau produk kita bisa masuk ke marketplace asing, jadi imbang ekspor impornya," ucapnya.

Presiden Joko Widodo menghadiri ulang tahun ke-9 Bukalapak. / Antara Foto

Tidak merata

Di sisi lain, Bambang menyebut aktivitas e-commerce masih terkonsentrasi di Pulau Jawa saja. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengunjung dari satu IP didominasi 70,8% dari Jawa. Demikian pula dengan jumlah akun penjual yang terdaftar pada periode yang sama, hingga 81,8% berasal dari Jawa.

"Harusnya perkembangan sektor e-commerce mampu mendorong penyebaran pusat-pusat pertumbuhan di luar kota-kota utama di Indonesia," tuturnya.

Untuk itu, Bambang mengimbau kepada pemerintah dan para pelaku e-commerce agar dapat lebih berperan aktif dalam mendorong hal tersebut.

Tak hanya menyoroti kinerja pasar, Bambang juga mengingatkan tentang pentingnya peningkatan perlindungan terhadap konsumen. Sampai saat ini, kata Bambang, belum ada perlindungan data pribadi yang benar-benar menjamin data konsumen.

“Selain menjaga daya beli masyarakat, perlu juga memberi rasa aman kepada konsumen,” katanya.

Regulasi mandeg

Sementara itu, pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (RPP e-Commerce) masih jalan di tempat. 

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan hal ini dikarenakan pemerintah masih menunggu perkembangan aturan mengenai e-commerce dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang juga belum rampung.

"Kita tidak bisa mengeluarkan PP e-commerce ini lebih dulu dari aturan WTO, karena kalau duluan bisa saja aturan yang kita buat bersinggungan dengan regulasi dunia, kan repot jadinya," ujar dia.

Sejauh ini, menurut Enggar, rancangan beleid itu telah dibahas antar kementerian dan lembaga. Rencanya, PP e-commerce bisa terbit tahun ini. “Saat ini masih dalam koordinasi, harusnya tahun ini bisa terbit," ucapnya.

Meski demikian, Indonesia akan tetap mengatur mengenai barang yang dijual dalam e-commerce. Namun, aturan tersebut belum tentu akan masuk dalam PP yang masih disusun tersebut. 

Enggar membocorkan, pokok penting dalam aturan tersebut yakni imbauan kepada penyedia platform e-commerce untuk fokus pada penjualan produk dalam negeri.

"Kita sudah bicara bagaimana kita pakai 'marketplace' itu untuk menjual produk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) kita," katanya.

RPP e-commerce diketahui telah dibahas sejak 2017 lalu. Sebelumnya pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) 74/017 tentang Peta Jalan E-commerce tahun 2017-2019.

Peta jalan tersebut mencakup sejumlah program terkait pendanaan, perpajakan, perlindungan konsumen, pendidikan dan sumber daya manusia, infrastruktur komunikasi, logistik, dan kemanan siber.

Program-program tersebut nantinya akan diatur dalam PP yang masih dibahas dan akan menjadi payung hukum bagi Peraturan Menteri (Permen) di bawahnya.

Sedangkan, kerangka aturan baru e-commerce dunia baru disetujui negosiasinya oleh 76 anggota WTO per 25 Februari 2019 lalu. Hingga saat ini target penyelesaian beleid di tingkat dunia itu sendiri belum diketahui dengan pasti.

Start up report

Potensi perkembangan

Dari data Google dan Temasek yang dilansir Daily Social, pasar ekonomi digital Indonesia mencapai US$27 miliar pada 2018, atau hampir 40% dari total ekonomi digital di Asia Tenggara. "Pasar ini juga diperkirakan mencapai US$100 miliar pada tahun 2025," tulis laporan itu.

Empat subsektor yang paling berkembang dalam ekonomi digital Indonesia yakni e-commerce, media online (termasuk musik, video, game, iklan), perjalanan online, dan on-demand. 

E-commerce menempati posisi teratas dengan nilai pasar mencapai US$12,2 juta. Kemudian disusul jasa perjalanan online US$8,6 juta, transportasi online US$3,7 juta, dan media daring US$2,7 juta. Semua angka ini tumbuh sekitar empat kali dari tahun 2015

Sementara, dari hasil survei Daily Social, empat e-commerce Indonesia menempati posisi teratas, yaitu Tokopedia, Bukalapak, Lazada, dan Shopee. Dari segi popularitas, Shopee tumbuh sebagai pemain e-commerce terbaik, diikuti oleh Tokopedia, Bukalapak, dan Lazada. Sementara pengguna dan trafik terbanyak dimiliki Tokopedia.

Ketua Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung mengatakan industri e-commerce masih didominasi pedagang dari dalam negeri. Sementara, perusahaan e-commerce tidak bisa membatasi produk yang dijual.

“Dari seluruh marketplace yang ada, platform yang cross border (menjual barang lintas negara) hanya Lazada, JD.ID, dan Shopee. Jadi tidak mungkin sampai 70% didominasi produk impor apalagi dari China,” kata dia.

Untung juga mengatakan pemerintah seharusnya lebih memperhatikan produk yang dijual secara offline. Sebab, masih banyak barang impor beredar di pasar dalam negeri. 

Untung juga menyebut pasar e-commerce belum bisa menyaingi perdagangan di pasar offline. Dengan demikian, dibutuhkan kerja sama seluruh pemangku kepentingan untuk mendorong industri ini lebih berkembang. Sehingga, e-commerce bisa menjadi wadah bagi pengusaha lokal untuk bersaing sehat.

Berita Lainnya
×
tekid