sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mengemis dollar AS kepada eksportir demi rupiah

Cadangan devisa yang terus terkuras hingga Rp198,3 triliun dalam enam bulan, membuat kebutuhan dollar Amerika Serikat meningkat demi rupiah.

Cantika Adinda Putri Noveria
Cantika Adinda Putri Noveria Kamis, 09 Agst 2018 04:09 WIB
Mengemis dollar AS kepada eksportir demi rupiah

Cadangan devisa yang terus terkuras hingga Rp198,3 triliun dalam enam bulan, membuat kebutuhan dollar Amerika Serikat meningkat demi menyelamatkan kurs rupiah

Bank Indonesia mengatakan kepada pengusaha ekspor, saat ini Indonesia tengah membutuhkan pasokan dollar AS yang sangat tinggi. Sebab, nilai tukar rupiah yang terus merosot membuat Cadev terkuras.

Direktur Statistik BI Tutuk Cahyono mejelaskan, pasokan dollar AS tersebut dibutuhkan untuk membayar dividen, pembayaran Utang Luar Negeri (ULN), hingga intervensi pasar keuangan. Selain itu, pasokan dollar AS juga untuk memenuhi ketersediaan devisa di dalam negeri sehingga dapat menstabilkan nilai tukar rupiah. 

"Kebutuhan-kebutuhan ini harus dipenuhi, ujung paling akhir (menggunakan) cadangan devisa di BI," ujarnya dalam diskusi publik mengenai Devisa Hasil Ekspor (DHE), di Jakarta, Rabu (8/8). 

Menurutnya, devisa di Tanah Air sangat memungkinkan didapat dari penyimpanan DHE oleh para pengusaha. Karena itu, penting bagi para pengusaha untuk membawa DHE ke Indonesia dan mengkonversikannya ke dalam rupiah. 

Dengan demikian, suplai devisa bisa meningkat dan tidak kelebihan permintaan. Jangan sampai, kata dia, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terlalu terdepresiasi, terlalu kuat atau terlalu lemah. 

Untuk diketahui, saat ini posisi Cadev Indonesia sebesar US$118,3 miliar pada akhir Juli 2018, Turun dari sebelumnya, sebesar US$119,8 miliar pada Juni 2018. 

Cadangan devisa tersebut dapat digunakan untuk pembiayaan 6,9 bulan impor atau 6,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. 

Sponsored

"Kondisi ini memang cukup aman untuk menjaga kestabilan ekonomi Indonesia. Namun, tidak bisa hanya sekedar memanfaatkan Cadev saja," jelas Tutuk.  

Saat ini, sambungnya, BI tengah mengkaji kebijakan untuk mendorong ketersediaan devisa. Melalui kebijakan itu, nantinya BI memastikan kebutuhan perusahaan-perusahaan akan diperhatikan. 

 

Eksportir minta insentif

Sementara itu, Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI), memastikan penyimpanan devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri dapat dilakukan. Namun, pemerintah diminta untuk memberikan insentif kepada para pelaku usaha.

Ketua Umum GPEI Benny Soetrisno menuturkan jika pertukaran mata uang asing (forex) memang dibutuhkan, maka sebaiknya pemerintah memberikan insentif kepada pengusaha.

"Kalau pembiayaan di dalam negeri, ekspornya lewat dalam negeri. Tentu ada komponen rupiah yang ditukar dari dollar AS ke rupiah. Kalau kami impor bahan baku forex ditanggung pemerintah, itu enggak ada masalah. Kalau terjadi fluktuasi kurs, kalau enggak dijamin rugi juga," kata dia.
 
Eksportir yang tergabung dalam GPEI, sambungnya, telah mengonversikan sekitar 40% DHE ke dalam mata uang rupiah. Jumlah tersebut biasanya digunakan untuk biaya operasional, seperti membayar listrik dan gaji pegawai. Sedangkan, DHE digunakan untuk membayar kebutuhan pembelian bahan baku yang tidak tersedia di dalam negeri.

"Sepanjang forex itu mau dipinjam silakan, asal dikembalikan utuh pada saat kami membeli bahan baku. Nah, enggak masalah, jangan membebani biaya lagi. Jadi, kami pinjamkan ke BI tanpa bunga, tapi manakala kami butuh bisa digunakan," imbuhnya.

Untuk itu, Benny meminta pemerintah agar 'merayu' pengusaha. Misalnya dengan cara mempermudah persyaratan hingga menurunkan tarif. Sebab, jika pengusaha merugi, pendapatan pajak pemerintah juga menipis.

Hal senada juga disampaikan oleh Wakil Direktur PT Pan Brothers Tbk. (PBRX) Anne Patricia Sutanto. Dia menilai, selama ini bank mengenakan swap rate yang tinggi ditambah volatilitas kurs rupiah yang terus melambung, membuat cost of fund juga melonjak.

Dia berharap, pemerintah memberikan insentif kepada perbankan agar tidak mematok bunga tinggi. Sehingga, eksportir dan importir dapat menyimpan DHE yang dikonversi ke dalam rupiah merasa aman dan tidak dirugikan.

"Itu yang menyebabkan kami kurang minat (konversi ke rupiah), karena dirugikan. Ini memang tergantung seberapa gigih masing-masing eksportir kepada treasury banknya, kalau enggak gigih bisa lebih dari 5%, bahkan sampai 7%-8%," ujar Anne.

Kondisi berbeda disebutkan oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki). Sekjen Gapki Togar Sitanggang menyebut devisa yang diperoleh dari ekspor nyaris seluruhnya telah dikonversi ke dalam rupiah.

Pengusaha membutuhakan rupiah untuk membeli bahan mentah seperti minyak sawit dan Tandan Buah Segar (TBS). Selain itu, valas hasil ekspor yang segera dikonversikan ke rupiah juga karena kebutuhan membayar pekerja.

"Jadi, kalaupun ada yang tertahan, menurut saya murni untuk membayar utang dollar AS," ujar dia.

DHE industri sawit diperoleh dari ekspor produk kelapa sawit sebesar 75% dan sisanya dalam bentuk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).

"Produk sawit dan CPO perlu bahan mentah sehingga kami membeli banyak minyak sawit dan TBS yang harus dibayar dengan rupiah," ujarnya.

Seperti diketahui, pemerintah dan BI tengah berupaya menarik DHE dan mengonversinya ke rupiah dari valas untuk memperkuat cadangan devisa serta mempersempit defisit transaksi berjalan. Cadangan devisa terus anjlok sejak Januari 2018, di antaranya, untuk kebutuhan intervensi pasar guna menstabilisasi nilai tukar rupiah.

Sepanjang 2017 nilai ekspor Indonesia mencapai US$168,73 miliar. Data BI menunjukkan, DHE yang dibawa pulang dan disimpan di perbankan domestik sebesar 90%, namun baru 15,1% yang dikonversi ke rupiah.

 
Berita Lainnya
×
tekid