sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Neraca perdagangan diprediksi kembali defisit pada akhir Mei

Defisit neraca perdagangan diprediksi kembali terjadi karena sejumlah faktor.

Soraya Novika
Soraya Novika Kamis, 23 Mei 2019 13:40 WIB
Neraca perdagangan diprediksi kembali defisit pada akhir Mei

Pemerintah memprediksi neraca perdagangan sepanjang Mei 2019 ini akan kembali mengalami defisit. Meski demikian, defisit bulan ini tidak akan separah defisit April 2019 yang sebesar US$2,5 miliar. 

Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono menjelaskan kondisi defisit yang bakal terjadi pada akhir Mei disebabkan oleh kondisi ekspor yang masih terhambat akibat perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China yang belakangan makin memanas.

"Kerja ekspor akan tetap berat," ujar Susiwijono di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Kamis (23/5). 

Sementara itu, harga komoditas di pasar global masih lemah. Salah satunya adalah harga gas alam yang rendah sehingga berdampak pada penurunan nilai ekspor minyak dan gas (migas).

"Dari yang biasanya ekspor di atas US$1,1 miliar tiap bulan, kini menjadi hanya US$700 juta per bulan. Sehingga, bulan ini kemungkinan bisa lebih rendah lagi," katanya.

Oleh karena itu, Susiwijono memprediksi defisit migas akan kembali terjadi pada akhir bulan ini.

Kondisi tersebut juga akan semakin parah dengan kebijakan baru dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk membatasi ekspor minyak mentah (crude oil).

Kebijakan baru tersebut bakal mengatur optimalisasi hasil eksplorasi dalam negeri untuk kebutuhan domestik, alih-alih bertujuan ekspor.

Sponsored

Terakhir, tren impor yang meningkat setiap menjelang lebaran juga memengaruhi defisit neraca perdagangan. 

Dalam mengantisipasi defisit yang semakin melebar, Susiwijono mengatakan, pemerintah sudah melakukan berbagai upaya. 

Terbaru, melalui kebijakan ESDM mengenai pemanfaatan minyak mentah untuk diolah di dalam negeri. Selain itu, optimalisasi biodiesel 20% (B20) yang akan diarahkan menjadi B30 pada tahun depan. 

Di samping itu, pemerintah mendorong Pertamina untuk memperbesar investasi di luar negeri.

"Tapi, dampak kebijakan ini baru akan terlihat pada hitungan lima tahun mendatang. Sebab, eksplorasi sendiri kan butuh waktu," ujarnya. 

Dihubungi secara terpisah, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov juga memproyeksi kondisi serupa.

"Neraca perdagangan Mei 2019 akan kembali defisit dengan nilai di atas US$2 miliar," ujar Abra.

Menurut dia, neraca defisit ini terpengaruh oleh peningkatan impor migas menjelang Idul Fitri 2019.

"Di mana kebutuhan akan BBM akan mengalami peningkatan signifikan pada periode tersebut," katanya.

Selain itu, harga minyak mentah dunia yang mengalami tren kenaikan dan pelemahan nilai tukar rupiah pada Mei juga akan memicu kenaikan defisit migas.

Mengutip Reuters, Kamis (23/5), harga minyak mentah Brent berjangka turun US$1,19 atau 1,7% menjadi US$70,99 per barel. Pelemahan lebih dalam terjadi pada harga minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$1,71 atau 2,7% menjadi US$61,42 per barel.

Demikian pula dengan nilai tukar rupiah, per 23 Mei 2019 siang ini, menurut Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia memang tercatat melemah ke level Rp14.513 per dolar AS. 

Berita Lainnya
×
tekid