sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

OJK ragukan data LBH Jakarta

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meragukan data laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang menyebut ada 1.330 korban pelanggaran pinjaman online

Cantika Adinda Putri Noveria
Cantika Adinda Putri Noveria Rabu, 12 Des 2018 22:00 WIB
OJK ragukan data LBH Jakarta

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meragukan data laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang menyebut ada 1.330 korban pelanggaran pinjaman online atau peer to peer (P2P) lending

Direktur Perizinan, Pengaturan, dan Pengawasan Fintech OJK, Hendrikus Passagi mengatakan fakta yang ditemukan pihaknya menyebutkan, satu orang bisa meminjam kepada 40 fintech P2P lending berbeda. 

"Faktanya satu orang yang sama meminjam ke 40 fintech. Jadi, hati-hati membedakan antara yang melapor dan jumlah laporan. Jadi kalau LBH sebut ada 1.330 laporan, saya bertanya, dari 1.330 laporan ini berapa yang melapor. Jangan-jangan 1.330 bagi 40. Berapa itu?," ujarnya di kantor OJK, Rabu (12/12).  

Lebih lanjut, kata dia, OJK sudah dua kali mengundang berbagai macam LBH. Mulai dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan LBH lainnya. Namun, LBH Jakarta tidak pernah menghadiri undangan tersebut. LBH Jakarta beralasan sedang menganalisa data, sehingga tidak bisa hadir. 

Kendati begitu, OJK beranggapan media, organisasi masyarakat, dan lembaga lainnya adalah kelompok-kelompok yang sangat penting untuk bersama-sama membangun industri.  Sebagai salah satu pilar mendukung pengawasan. 

Ketua Satgas Waspada Investasi OJK, Tongam Lumban Tobing mengatakan, akan mengkaji lebih lanjut atas temuan LBH Jakarta  terkait soal adanya 25 industri fintech yang terdaftar dan melanggar aturan. 

Jika benar, fintech tersebut bisa dikenakan sanksi mulai dari pembinaan sampai pencabutan izin, sesuai dengan POJK 77 tahun 2016. 

"Kami sangat mengharapkan para korban ini melapor kepada kepolisian. Apakah mendapatkan intimidasi, teror saat penagihan," ujarnya. Tidakan yang dilaporkan itu adalah intimidasi dan merupakan dugaan tindak pidana. 

Sponsored

Sebelumnya LBH Jakarta mengaku telah menerima 1.330 pengaduan korban pinjaman online dari 25 Provinsi di Indonesia. Berdasarkan pengaduan yang diterima, LBH Jakarta mendapati setidaknya 14 pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dialami oleh korban aplikasi pinjaman online.

Pelanggaran-pelanggaran tersebut diantaranya, bunga yang sangat tinggi dan tanpa batasan. Penagihan yang tidak hanya dilakukan pada peminjam atau kontak darurat yang disertakan oleh peminjam. Ancaman, fitnah, penipuan dan pelecehan seksual. Penyebaran data pribadi.

Selain itu adalah, penyebaran foto dan informasi pinjaman ke kontak yang ada pada gawai peminjam. Pengambilan hampir seluruh akses terhadap gawai peminjam. Kontak dan lokasi kantor penyelenggara aplikasi pinjaman online yang tidak jelas. Biaya admin yang tidak jelas. Aplikasi berganti nama tanpa pemberitahuan kepada peminjam, sedangkan bunga pinjaman terus berkembang.

LBH Jakarta juga menemukan peminjam sudah membayar pinjamannya, namun pinjaman tidak hapus dengan alasan tidak masuk pada sistem. Aplikasi tidak bisa di buka bahkan hilang dari Appstore / Playstore pada saat jatuh tempo pengembalian pinjaman. Penagihan dilakukan oleh orang yang berbeda-beda. Data KTP dipakai oleh penyelenggara aplikasi pinjaman online untuk mengajukan pinjaman di aplikasi lain. Serta Virtual Account pengembalian uang salah, sehingga bunga terus berkembang dan penagihan intimidatif terus dilakukan.

Berdasarkan pengaduan yang diterima oleh LBH Jakarta, 48.48% pengadu menggunakan 1-5 aplikasi pinjaman online, namun ada juga pengadu yang menggunakan hingga 36-40 aplikasi pinjaman online. Banyaknya aplikasi pinjaman online yang digunakan oleh pengadu disebabkan karena pengadu harus mengajukan pinjaman pada aplikasi lain untuk menutupi bunga, denda atau bahkan provisi pada pinjaman sebelumnya. Hal ini kemudian menyebabkan pengguna aplikasi pinjaman online terjerat “lingkaran setan” penggunaan aplikasi pinjaman online.

Selain itu, pada pengaduan yang disampaikan oleh korban aplikasi pinjaman online, LBH Jakarta juga masih menemukan berbagai pelanggaran pidana dalam bentuk pengancaman, fitnah, penipuan bahkan pelecehan seksual. Ironisnya, sebagian besar peminjam hanya memiliki pinjaman pokok senilai dibawah Rp2 juta. Tindak pidana yang mereka alami menjadi “harga” sangat mahal yang harus mereka “bayar”.

"Hal yang lebih buruk, 25 dari 89 penyelenggara aplikasi pinjaman oline yang dilaporkan kepada LBH Jakarta merupakan penyelenggara aplikasi yang terdaftar di OJK. Hal ini menunjukan bahwa terdaftarnya penyelenggara aplikasi pinjaman online di OJK, tidak menjamin minimnya pelanggaran," jelas pengacara publik LBH Jakarta Jeanny Silvia Sari Sirait dalam keterangan tertulisnya.

 

.

Berdasarkan pada hal tersebut, LBH Jakarta:

Mendesak OJK untuk menyelesaikan semua permasalahan hukum dan hak asasi manusia yang dialami oleh korban aplikasi pinjaman online;
Mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas semua tindak pidana yang dilaporkan oleh penyelenggara aplikasi pinjaman online;
Mendesak penyelenggara aplikasi pinjaman online untuk menghentikan semua bentuk praktik buruk yang dilakukan hanya untuk menarik keuntungan dan memiskinkan masyarakat
Jakarta, 9 November 2018
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta

 

Narahubung :

Berita Lainnya
×
tekid