sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pandemi mencekik perekonomian, saatnya kelola ulang dana pendidikan

Perencanaan biaya pendidikan anak sebaiknya dilakukan sejak dini.

Syah Deva Ammurabi
Syah Deva Ammurabi Sabtu, 13 Jun 2020 06:08 WIB
Pandemi mencekik perekonomian, saatnya kelola ulang dana pendidikan

Pandemi Covid-19 telah memukul semua aspek kehidupan, sektor ekonomi salah satunya. Saat ini, banyak pekerja yang mengalami pemotongan gaji. Namun, tak sedikit pekerja yang dirumahkan atau diberhentikan lantaran sulitnya kondisi keuangan pemberi kerja.

Hal ini dipastikan mempengaruhi perekonomian rumah tangga. Salah satu dampaknya dirasakan para orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta. Termasuk sekolah swasta berstandar internasional yang memungut uang pangkal dan bulanan dengan nominal selangit.

Di sisi lain, dana pendidikan cenderung mengalami inflasi tiap tahunnya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi subsektor pendidikan mencapai 4,24% sepanjang tahun 2019. Inflasi pendidikan kerap terjadi pada bulan Juli-September yang bertepatan dengan tahun ajaran baru.

Salah satu kisah sulitnya membayar biaya pendidikan sekolah anak di era pandemi ini dituturkan Selly (38). Karyawan swasta ini menceritakan kondisi temannya yang ingin meminjam uang demi membayar uang SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) anaknya. Jumlahnya cukup fantastis, uang bulanan sang buah hati di sekolah swasta elit itu mencapai Rp5 juta per bulan.

“Dia enggak ada perencanaan sama sekali. Katanya dia ada tabungan, tapi enggak cukup di sekolah itu,” ungkapnya kepada Alinea.id akhir pekan lalu.

Selly sendiri menyekolahkan kedua anaknya di sebuah sekolah Islam terpadu di Pamulang, Tangerang Selatan. Anak sulungnya duduk di kelas dua Sekolah Menengah Pertama (SMP), sedangkan anak bungsunya merupakan murid kelas satu Sekolah Dasar (SD). 

Dia sengaja memilih sekolah yang hanya berjarak 1,5 kilometer dari rumahnya, sehingga biaya transportasinya lebih murah. Sesekali, anak sulungnya pulang ke rumah berjalan kaki bersama teman-temannya.

“Kebetulan anak-anakku dapat sekolah yang harganya cukup banget. Manusiawi banget, tapi harganya juga bagus. Meskipun gedungnya enggak mewah, tapi disubsidi sekolah internasional jadi pengajarannya mengikuti. Harganya ekonomis tapi rasa internasional,” ungkapnya. 

Sponsored

Alasannya memilih sekolah swasta dibanding sekolah negeri adalah jumlah murid per kelasnya lebih sedikit. Sekolah yang ditempati oleh kedua anaknya hanya memuat sekitar 20 orang tiap kelasnya.

“Sistem pembelajarannya menurutku cukup menarik karena anak-anak dididik karakter. Pertama kali datang ke sekolah ini, mereka promosi anak SMP sistem belajarnya kayak workshop dan tiap minggu bikin presentasi. Jadi anak dididik percaya diri dan public speaking,” terangnya.

Dia juga beralasan murid sekolah negeri yang datang dari beragam latar belakang dan tingkat ekonomi berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial yang lebih tinggi. Menurutnya, jumlah murid per kelas yang lebih sedikit memberi lingkungan pembelajaran kondusif bagi anak-anaknya.

“Itu pertimbangannya kenapa aku lebih memilih sekolah swasta dengan sekolah negeri di Pamulang, Tangerang Selatan. Kalau di Jakarta, aku yakin kondisinya enggak begini,” tuturnya.

Selly merogoh kocek sebesar Rp300 ribu per bulan untuk biaya SPP anak sulungnya dan Rp400 ribu per bulan untuk anak bungsunya. Anak-anaknya juga mendapat tagihan SPP hanya separuh tarif normal lantaran mendaftar pada gelombang pertama. Iuran anak bungsunya lebih mahal karena adanya guru pendamping selain guru utama yang mengajar di kelas. 

Namun, biaya tersebut belum termasuk uang kegiatan, buku, dan seragam yang harus dibayar oleh orang tua murid. Pada kondisi pandemi pun, sekolah tetap memungut nominal bayaran sekolah secara normal. “Enggak ada (penyesuaian SPP selama pandemi). Sama saja. Cuma uang kegiatannya enggak full,” ujarnya.

Untuk tahun ajaran baru, sekolah tersebut mematok uang formulir sebesar Rp250 ribu, uang pangkal sebesar Rp7-8 juta, uang seragam sebesar Rp950 ribu, dan uang buku Rp1,2 juta.

Saat ini, Selly juga termasuk dalam bagian masyarakat yang terdampak Covid-19. Ia mesti merelakan gajinya dipotong hingga 50% gara-gara situasi pandemi. Namun, Selly mengaku masih mampu membiayai sekolah anaknya. Ia rutin menganggarkan 20% penghasilannya untuk pendidikan kedua anaknya.
 
“Aku memang dari awal kalau enggak sanggup sekolah walaupun orang bilang sekolahnya bagus, ya enggak usah maksain. Sekolah bagus itu penting, tapi kalau enggak mampu buat apa,” tegasnya.

Selly mengaku tak menyiapkan alokasi dana khusus untuk pendidikan anaknya di masa depan. Namun, ia sudah menyasar sekolah tertentu yang sesuai minat si anak. Misalnya, untuk si anak sulung, ia berencana mendaftarkannya ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan tata boga atau kecantikan sesuai minat sang anak. 

“Nanti kalau (waktunya) kuliah ke arah-arah situ sih, lebih ke kursus-kursus. Kuliah aku enggak sanggup, mahal banget. Kecuali anaknya dapet beasiswa, go ahead (lanjutkan),” ujarnya.

Ilustrasi kelulusan perguruan tinggi. Foto Pexels.comSesuaikan dengan kemampuan finansial

Kesulitan beberapa orang tua membiayai pendidikan anaknya juga disuarakan oleh seorang pewarta, Irawati di akun Instagramnya @irrasistible. Dia menceritakan beberapa teman dan kerabatnya yang ‘terpaksa’ belajar di sekolah lebih murah lantaran orang tua mereka sudah kehabisan biaya menyekolahkan anak mereka gara-gara pandemi. Menurutnya, orang tua tak perlu memaksakan diri menyekolahkan anaknya di sekolah mahal, terutama di masa sulit seperti sekarang.

“Enggak perlu gengsi atau malu lah mindahin sekolah anak. Kalau menurutku sih, lebih ribet ngotot sekolah di sekolah mahal tapi bayaran nunggak dan bahkan enggak boleh ikut ujian,” ungkapnya kepada Alinea.id, Sabtu (6/6).

Perempuan berusia 40 tahun ini mengaku hanya menyisihkan 5% penghasilannya beserta suami untuk biaya SPP anak sematawayangnya yang duduk di bangku kelas V sebuah sekolah swasta di bilangan Jakarta Timur. Bila ditambah biaya les piano, tari, dan gambar sang anak, totalnya hanya 10-15% dari penghasilan. 

Irawati juga sudah mempunyai edukasi yang mencukupi dalam menyiapkan dana pendidikan. Ia sudah menyisihkan uangnya untuk pendidikan anak gadisnya sejak masih hamil. Waktu itu, dia menyimpannya dalam tabungan pendidikan.

Adapun uang pangkal sekolah diambilnya dari imbal hasil investasi reksadana yang telah ditekuninya sejak lama. Menurutnya, imbal hasil reksadana dapat ‘mengejar’ inflasi biaya pendidikan sebesar 10-20% per tahunnya.

“Sementara untuk uang daftar ulang tiap tahun, saya sengaja menabung dengan ikut arisan di kantor. Lumayan membantu banget sih metode-metode ini, enggak bikin pusing,” ungkap wanita yang memiliki lebih dari 24 ribu follower di akun instagramnya.

Selain faktor ekonomi, alasan dia menyekolahkan anaknya di sekolah swasta yang relatif terjangkau adalah lokasinya dekat rumah, pola pengajarannya yang sesuai dengan kondisi anak, keamanannya terjaga, serta jumlah murid per kelasnya yang lebih sedikit. 

“Kalau anak saya masuk SDN (SD Negeri), berarti dia mengambil satu kursi untuk anak lain yang bisa jadi enggak punya dana lebih untuk masuk sekolah swasta. Jadi supaya adil dan semua anak bisa sekolah, saya masukkan anak saya ke SD swasta aja,” tuturnya.

Uang pangkal/pembangunan beberapa SD swasta di Jabodetabek sebelum diskon (Sumber : Situs web sekolah dan harga.web.id)
Sekolah
Uang pangkal atau uang pembangunan
Global Islamic School (GIS)  
Rp27,5 juta
Tazkia Islamic Global School Rp19 juta
SD Islam Al Falaah Ciputat Rp12,14 juta
SD Bhakti Mulya 400 (Kelas Bilingual) Rp35,25 juta
SD Kharisma Bangsa Rp58 juta
Sekolah Alam Depok Rp14,5 juta
SD Ipeka International Christian School (Kelas 1) Rp19,9 juta
SD Muhammadiyah Setiabudi Pamulang Rp15,2 juta
SD Tara Salvia Rp43,8 juta

Sesuaikan kemampuan finansial

Pendiri dan Perencana Kepala ZAP Finance Prita Hapsari Ghozie berpendapat dana pendidikan harus disesuaikan dengan kemampuan finansial orang tua, terutama di kondisi pandemi seperti sekarang. Dia menekankan porsi biaya pendidikan seluruh anak maksimal hanya 10% dari penghasilan keluarga.

“Sesuaikan kebutuhan anak dengan pilihan sekolah, bukan semata-mata keinginan orangtua,” kata pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia tersebut melalui pesan singkat, Selasa (9/6). 

Prita menyarankan agar orang tua merencanakan dana pendidikan sejak anak tersebut baru lahir, bahkan kalau perlu sejak masih di dalam kandungan seperti yang dilakukan oleh Irawati.

Tak hanya biaya sekolah, menurutnya hal lainnya seperti biaya transportasi dan kegiatan sekolah juga perlu menjadi pertimbangan orang tua dalam memilih sekolah bagi buah hatinya. “Cari sekolahnya, tentukan kapan masuk daftarnya, hitung kebutuhan biayanya, tabung dan investasi sesuai kebutuhan biaya,” jelasnya.

Prita menyarankan penggunaan instrumen investasi untuk mempersiapkan dana pendidikan anak. Menurutnya, instrumen yang tepat dapat melindungi nilai riil biaya pendidikan yang tergerus oleh investasi tiap tahunnya.

Ibu dua anak ini melihat kesadaran orang tua untuk merencanakan pendidikan anaknya semakin meningkat. Ini terutama dilakukan bagi para orang tua di kota-kota besar yang memiliki penghasilan di atas upah minimum provinsi (UMP).

Uang SPP beberapa SD swasta di Jabodetabek sebelum diskon (Sumber : Situs web sekolah dan harga.web.id)
Sekolah SPP Per Bulan
Global Islamic School (GIS) Rp1,7 juta
Taskia Global Islamic School Rp700.000
SD Islam Al Falaah Ciputat Rp875.000
SD Bhakti Mulya 400 (Kelas Bilingual) Rp2,05 juta
SD Kharisma Bangsa Rp3,75 juta
Sekolah Alam Depok Rp800.000
SD Ipeka International Christian School (Kelas 1) Rp1,82 juta
SD Tara Salvia Rp2,13 juta
SD Muhammadiyah Setiabudi Pamulang Rp750 ribu

Sejalan dengan jalur pendidikan anak

Sementara itu, Pendiri OneShieldt Financial Planning Rizsa Bambang mengatakan perencanaan dana pendidikan harus disesuaikan dengan jalur pendidikan anak yang telah direncanakan. Dia mencontohkan biaya menyekolahkan anak di luar negeri yang lebih besar dibandingkan di dalam negeri. 

Menurutnya, persiapan khusus perlu dilakukan untuk melanjutkan studi di luar negeri lantaran kurikulumnya yang berbeda dengan kurikulum Indonesia. Di dalam negeri pun, sekolah swasta juga memiliki kurikulum yang berbeda dengan sekolah negeri. 

Konsekuensinya, sekolah yang dipilih seyogyanya linear mulai dari pendidikan dasar hingga tinggi bila ingin sesuai dengan cita-cita anak maupun orang tua.

“Bukannya enggak bisa pakai kurikulum nasional, tapi akan lebih sulit. Kemungkinan diterimanya lebih kecil dibandingkan kurikulum yang sesuai dengan negara yang dituju,” katanya melalui sambungan telepon, Senin (8/6). 

Bambang mengungkapkan beberapa tips untuk merencanakan dana pendidikan anak. Pertama, bicarakan dengan pasangan sejak awal menikah. Kedua, tentukan jalur pendidikan anak yang akan dituju. Ketiga, sesuaikan pilihan sekolah dengan tujuan atau rencana awal. Keempat, pertimbangkan biaya kuliah serta biaya hidup bila bersekolah di luar kota atau luar negeri. Kelima, persiapkan dengan matang. Terakhir, eksekusi. 

“Sadarilah pendidikan anak untuk masa depan agar mereka bisa survive (bertahan hidup) untuk kehidupan yang lebih baik dari kita,” kata pengusaha properti tersebut.

Dia menambahkan inflasi mestinya masuk dalam komponen perhitungan biaya pendidikan karena nilainya bisa mencapai 10% tiap tahunnya. Bagi orang tua yang tidak memiliki cicilan utang, porsi alokasi dana pendidikan dapat ditingkatkan dari yang awalnya 10% penghasilan menjadi 20% penghasilan, asalkan biaya rumah tangga dan ‘jajan’ masih terkontrol.

Dia menyarankan instrumen investasi yang memiliki risiko dan imbal hasil tinggi untuk perencanaan pendidikan jangka panjang. Sebaliknya, instrumen investasi dengan risiko rendah dan imbal hasil sedang berlaku untuk perencanaan jangka pendek.

Ayah tiga anak ini mengingatkan adanya risiko lain yang dapat mengganggu kemampuan finansial orang tua. Sebut saja pemotongan gaji, pemutusan hubungan kerja (PHK), kecelakaan, penyakit, hingga kematian. Begitu juga kondisi pandemi seperti saat ini yang menyebabkan kondisi perekonomian penuh ketidakpastian.

“Tapi kan risiko ini itu bisa kita antisipasi dengan beli perlindungan jiwa. Asuransi deh, sehingga cita-cita yang sudah kita atur untuk anak kita dapat tersantuni dengan asuransi,” kata Chief Executive Officer (CEO) Padma Radya Aktuaria tersebut.

Di tengah kondisi pandemi, dia menyarankan adanya realokasi pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu atau aset yang dimiliki untuk membiayai pendidikan anak bila dana pendidikan yang disiapkan sudah tidak mencukupi. Selain itu, evaluasi terhadap sekolah pilihan juga perlu dilakukan.

“Jadi kita harus pintar-pintar. Kita turunkan goalnya yang sudah ditetapkan. Misalnya tadinya mau ke universitas yang mahal, kemudian turun ke fakultas yang sama tapi ke universitas yang tidak terlalu mahal atau ke kota lain yang tak perlu jauh-jauh, sehingga tak perlu biaya tambahan untuk kos, akomodasi, dan sebagainya,” pungkasnya.

Inflasi di sektor pendidikan harus disiasati dengan perencanaan yang matang. Alinea.id/Dwi Setiawan.


 

Berita Lainnya
×
tekid