sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pariwisata bukan semata pendulang devisa negara

Apa benar pengembangan pariwisata yang berhasil hanya dinilai dari jumlah kunjungan turis dan dollar yang dihasilkan?

Laila Ramdhini
Laila Ramdhini Sabtu, 28 Jul 2018 07:12 WIB
Pariwisata bukan semata pendulang devisa negara

Bukan rahasia, Indonesia selalu menyuguhkan ironi dramatik bagi pendatang baru termasuk wisatawan.

Naoyasu setidaknya sudah mengunjungi empat kota di Indonesia, seperti Jakarta, Serang, Bandung, dan Surabaya dalam beberapa tahun terakhir. Warga negara Jepang ini terakhir berlibur ke Indonesia pada Juli 2018. Sebagai ibukota negara, Jakarta menjadi potret yang cukup menggambarkan wajah pariwisata Indonesia. 

“Saya terkesan saat melihat mall sebesar Grand Indonesia berdiri megah di antara rumah-rumah yang berhimpitan,” kata Naoyasu kepada Alinea.id, lewat pesan singkat.

Terlepas dari itu, Indonesia memiliki alam yang menarik. Ekosistem alami terawat dengan baik dan hutan hujan seluas 57% dari luas daerah Indonesia. Indonesia juga memiliki garis pantai terpanjang di dunia berkisar 54.716 kilometer. Begitulah fakta yang tertulis di laman Visit Indonesia, kampanye yang digagas pemerintah untuk menggaet wisatawan mancanegara.

Sejak dua tahun terakhir, pariwisata memang dijadikan sektor unggulan yang bisa mendongkrak devisa negara. Pemerintah bahkan menargetkan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) sebanyak 17 juta sepanjang 2018 atau naik 22% dari tahun lalu.

Target ini bukan tanpa tujuan. Kunjungan wisman disebut akan mendatangkan dollar yang banyak ke dalam negeri. Sektor ini ditargetkan menjadi penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia di 2018, yakni sebesar US$20 miliar atau naik sekitar 20% dari 2017 yang mencapai US$16,8 miliar. Namun apa benar pengembangan pariwisata yang berhasil hanya dinilai dari jumlah kunjungan turis dan dolar yang dihasilkan?

Untuk mencapai target tersebut, pemerintah tak segan jor-joran promosi wisata. Anggaran promosi itu ditaksir total mencapai Rp2,5 triliun, dengan alokasi Rp1,5 triliun untuk promosi ke luar negeri, sedangkan sisanya di dalam negeri. Negara yang menjadi tujuan promosi terutama Tiongkok karena jumlah turis yang besar. Selanjutnya negara yang disasar seperti Singapura dan Malaysia, juga beberapa negara Eropa dan Australia.

Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan pemerintah telah menyusun program terobosan dengan melibatkan seluruh stakeholder sebagai kekuatan pentahelix pariwisata (akademisi, pelaku bisnis, komunitas, pemerintah, dan media). Salah satunya yakni program Hot Deals dan competing destination model (CDM) dengan menggaet airlines dan wholesaler

Sponsored

Menurut Arief, 75% wisman yang datang ke Indonesia melalui konektivitas udara (airlines), baik reguler maupun chartered flight. Selain itu pola pembelian paket wisata ke Indonesia dilakukan melalui wholesaler dan retailers. Bahkan pada pasar tertentu pembelian paket wisata melalui wholesaler sangat dominan.  

“Untuk mencapai target kunjungan 17 juta wisman tahun 2018 diperlukan cara-cara yang tidak biasa,” kata Arief saat membuka Rakornas Pariwisata di Jakarta, Kamis (26/7).

Sementara, Hot Deals tersebut merupakan program untuk mengoptimalkan kapasitas yang tidak terpakai atau idle capacity, diutamakan pada tiga pintu masuk utama yaitu Great Bali (40%), Great Jakarta (30%) dan Great Kepri (20%).  Ketika idle capacity pada faktor 3A (Atraksi, Aksesibilitas, dan Amenitas) digabungkan dan dimanfaatkan dalam sebuah platform akan tersedia layanan turisme yang mudah dan murah, atau disebut more for less tourism. Karena itu, program Hot Deals menjadi hal yang attractive dan competitive dalam meningkatkan kunjungan wisman. 

“Dari Paket Hot Deals akan diperoleh tambahan 2,5 juta wisman pada 2018,” katanya.

Sementara, dari sisi regulasi, Arief mengungkapkan Indonesia telah menerapkan deregulasi bebas visa. Hal ini membuat daya saing pariwisata Indonesia meningkat tajam secara global dari rangking 50 pada 2015 menjadi 42 pada 2017.

Arief menyebut deregulasi bebas visa secara langsung memperbaiki pilar yang menjadi unsur penilaian dalam Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI) World Economic Forum (WEF) pada ‘international openness’ yang semula di ranking 55 melompat menjadi ranking 17 dunia, dan hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap peningkatan TTCI.

“Untuk mencapai target di ranking 30 dunia tahun 2019, kita harus memperbaiki pilar environmental sustainability yang saat ini masih rendah di peringkat 131 dari 134 negara. Cara yang paling tepat adalah melakukan deregulasi di bidang yang terkait dengan environmental sustainability tersebut,” katanya.

Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan realisasi kunjungan wisman sepanjang 2017 mencapai 14,04 juta, atau meleset dari target yang ditetapkan sebesar 15 juta. Namun angka itu tercatat tumbuh 21,88% dibandingkan 2016 sebanyak 11,52 wisman. Arief mengungkapkan realisasi tersebut sudah sesuai dengan perkiraan sebelumnya yakni Indonesia akan kehilangan setidaknya 1 juta-1,3 juta pada tahun lalu dari target 15 juta.

Secara kumulatif (Januari-Mei 2018), jumlah kunjungan wisman ke Indonesia mencapai 6,17 juta kunjungan atau naik 11,89% dibandingkan jumlah kunjungan diperiode yang sama 2017 yang berjumlah 5,51 juta kunjungan. Pada periode tersebut, menurut asal negaranya, wisman ke Indonesia dari ASEAN mencapai 2,1 juta orang, dari Asia 2,3 juta orang, Timur Tengah 82.899 orang, Eropa 730.157 orang, Amerika 235.286 orang, Oseania 600.110 orang, dan Afrika 29.773 orang.

Salah satu promosi Visit Indonesia (Istimewa).

Kurangnya promosi

Ketua Penyelenggara Visit Wonderful Indonesia Hariyadi B. Sukamdani mengatakan promosi yang dilakukan pemerintah untuk mengenalkan pariwisata Indonesia masih kurang. Menurut dia, biasanya faktor penyebabnya adalah anggaran yang minim. Padahal, semua para pelaku industri di sektor pariwisata sudah siap menjual produknya baik ke dalam maupun luar negeri.

“Kami sudah siap 100% dan sangat solid. Bahkan dalam program Hot Deals kami tawarkan harga tiket pesawat dan hotel yang sangat murah. Tapi ketika mau campaign ke negara lain, pemerintah eksekusinya jelek, tidak ada anggaran untuk promosi di media cetak maupun online,” kata Hariyadi di Jakarta, belum lama ini.

Di sisi lain, kata Hariyadi, selain promosi dan pengelolaan destinasi wisata, pemerintah juga memiliki “pekerjaan rumah” untuk menjamin keamanan dan kenyamanan para wisatawan. Dua faktor utama yang bisa menarik masuk turis asing yakni yakni keamanan negara dan kesehatan lingkungan. Bukan hal yang asing lagi jika negara lain menerbitkan larangan untuk warganya terbang ke Indonesia, misalnya, karena tragedi peledakan bom.

“Jangan sampai ada lagi isu politik atau keamanan yang membahayakan bagi warga asing, karena itu sangat berdampak bagi sektor pariwisata,” ujar dia.

Hariyadi, yang juga Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restauran Indonesia (PHRI), juga  mengatakan selama periode peak season libur lebaran dan tengah tahun, tingkat keterisian hotel (okupansi) bisa naik sekitar 15% dari hari biasanya. Hal itu akan diikuti pula oleh kenaikan pendapatan per jumlah kamar tersedia (revenue per available room/RevPAR).

Meski hampir mencapai target di atas kertas, pengelolaan industri pariwisata dianggap kehilangan ruhnya. Pemerintah disebut hanya mementingkan kuantitas alias jumlah turis yang melancong ke nusantara, alih-alih mengembangkan destinasi pariwisata Indonesia dengan baik.

Promosi visit Indonesia (Istimewa).

Lemahnya pengelolaan destinasi

Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Azril Azahari mengatakan dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi pergeseran kebiasaan wisatawan. Mereka yang tadinya berlibur untuk menikmati keindahan alam dengan 3S (sea, sand, and sun), sekarang beralih ke 3S lainnya yakni serenity, spirituality, dan sustainability. Pelancong menjadikan wisata sebagai pengalaman batiniah.

“Maka mereka ingin wisata yang melibatkan keikutsertaan diri atau participatory tourism. Seperti di Bali, mereka tidak lagi hanya menonton tari kecak, tapi juga belajar tarian dan musiknya. Ini yang tidak bisa direspon dengan baik oleh pemerintah,” kata Azril saat dihubungi Alinea.id dari Jakarta, Kamis (26/7).

Di samping itu, Azril mengatakan banyak potensi wisata yang tidak tergarap dengan baik. Sementara, saat ini pemerintah hanya fokus pada destinasi yang sudah berkembang dan mendatangkan keuntungan saja. 

“Pariwisata Indonesia ini hebat secara branding saja, tapi produknya tidak digarap dengan baik seperti destinasi wisata,” kata dia.

Azril mencontohkan kawasan wisata Desa Cibuntu, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat yang diabaikan pemerintah. Pengembangannya justru oleh para pegiat lingkungan yang terdiri dari aktivis dan warga setempat. Kini, destinasi wisata dengan pemandangan Gunung Ciremai itu telah menjadi jawara tingkat Asean.

Gunung Bromo di Jawa Timur menjadi salah satu destinasi favorit turis mancanegara (Istimewa).

Hanya fokus wisman

Di sisi lain, Azril mengatakan saat ini pemerintah hanya fokus menarik wisman saja. Padahal, potensi pendapatan dari wisnus sangat besar. Menurut catatan ICPI, sepanjang 2016 jumlah wisman ke Indonesia mencapai 11,5 juta kunjungan dengan sumbangan devisa senilai US$12,57 mliar. Sementara itu, jumlah wisnus mencapai 264,3 kunjungan dengan pengeluaran belanja senilai US$18,59 miliar.

Azril mengatakan mahalnya ongkos berlibur di dalam negeri menjadi kendala bagi wisnus. Dia mencontohkan harga tiket pesawat untuk Jakarta-Manado lebih mahal daripada Jakarta-Singapura atau Jakarta-Kualalumpur. Belum lagi, jika ada harga promo dari maskapai. 

“Akhirnya wisnus lari ke luar negeri, belanja di Kualalumpur atau Singapura, wisata di Jepang, dan lainnya. Padahal ini bisa dicegah,” kata dia.

Cara mencegahnya, kata Azril, dengan mempromosikan pariwisata Indonesia di negeri sendiri. Azril mengatakan ke depannya pemerintah harus memberikan insentif kepada para pelaku bisnis di sektor pariwisata. Sehingga, mereka bisa menurunkan harga untuk wisatawan dalam negeri. Dengan demikian, diharapkan jumlah kunjungan wisatawan antar pulau bisa meningkat tajam.

“Pemerintah saat ini fokus ke wisman saja. Padahal orang Indonesia sendiri juga banyak yang pengen menjelajah negerinya. Tapi belum pernah ada program menarik yang cakupannya besar dan ditujukan bagi wisatawan nusantara,” kata dia.

Lebih lanjut, Azril mengatakan kunci untuk mengembangkan destinasi wisata adalah memperhatikan autentisitas dan keunikannya. Menurut dia, Indonesia kaya karena keberagaman dan kekhasan daerahnya. Sehingga, satu kawasan wisata tidak bisa digarap atau diperlakukan seperti kawasan lainnya.

“Selain itu, pariwisata harus ditopang oleh banyak sektor lain seperti infrastruktur, transportasi, dan sebagainya. Butuh sinergi yang baik untuk mewujudkan Indonesia sebagai destinasi pariwisata yang unggul,” pungkasnya.

 
Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid