sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pemerintah pusat dinilai tak gandeng pemda saat naikkan harga BBM

Tidak ada peran serta dari pemerintah daerah untuk gotong royong menyelesaikan masalah kenaikan BBM.

Erlinda Puspita Wardani
Erlinda Puspita Wardani Minggu, 04 Sep 2022 22:20 WIB
Pemerintah pusat dinilai tak gandeng pemda saat naikkan harga BBM

Menanggapi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang berlaku sejak Sabtu (4/9), salah satu aktivis kebijakan, Jilal Mardhani, mengungkap kembali pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada masa awal menjabat. Kala dilantik sebagai kepala negara pada 2014, Jokowi menegaskan tak ada lagi subsidi BBM.

“Presiden waktu itu menegaskan tidak ada lagi subsidi BBM dan kebetulan harga minyak dunia sedang jatuh. Jadi saat itu PT Pertamina betul-betul sedang dapat rezeki,” ujar Jilal Mardhani dalam Zoominari Kebijakan Publik Urung Rembug Tokoh Bangsa, Minggu (4/9).

Menurutnya, saat itu penghasilan PT Pertamina sebesar dua per tiga atau 70% bersumber dari penjualan BBM. Saat itu harga minyak dunia sedang jatuh, namun Pertamina tetap menjual dengan harga normal.

Saat itu Jokowi justru mengalokasikan anggaran subsidi BBM dialihkan menjadi modal awal pembangunan infrastruktur dengan tujuan utama membangun pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan. Namun, Jilal menyebutkan, pemerintah perlu memperhatikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dianggap sebagai otonomi fiskal daerah dan Dana Bagi Hasil (DBH) dan diperoleh berkat efek pembangunan infrastruktur. Proporsi keduanya justru cenderung menurun sejak 2010.

“Untuk tingkat I atau Provinsi, di tahun 2010 rerata memperoleh 70 persen dari total pendapatan mereka. Tapi makin menurun di tahun 2014 menjadi 66 persen, dan tahun 2020 turun menjadi 58 persen,” ujarnya.

Jilal menyampaikan, tak hanya di Provinsi, untuk tingkat II atau Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, rata-rata di seluruh Kabupaten/Kota hanya memperoleh PAD dan DBH kisaran 27% hingga 30% pada 2020. Dari data ini, Jilal menginginkan agar pemerintah pusat belajar untuk mengatasi permasalahan bangsa perlu kerja sama pemerintah daerah dan masyarakat.

“Jadi kalau ada wacana subsidi dicabut, itu saya anggap kebijakan yang benar. Tapi begitu minyaknya gak karu-karuan harganya, pemerintah gak berani tuh untuk tidak mensubsidi. Hal ini tidak bisa dilakukan, karena semuanya dikerjakan oleh pemerintah pusat. Tidak ada peran serta dari pemerintah daerah untuk gotong royong menyelesaikan masalah kenaikan BBM ini. Bagaimana daerah bisa melakukan? Duit mereka sendiri saja terbatas yaitu sekitar 30 persen dari pendapatan daerah mereka. Artinya, 70 persen sisanya kan butuh dari pusat,” tuturnya

Menurut Jilal, kurangnya kerja sama pemerintah pusat dengan daerah seharusnya sudah mulai bisa dihindari. Terlebih, Indonesia telah berkali-kali melewati masalah yang kondisinya memaksa agar pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama. 

Sponsored

Jilal mencontohkan, kerja sama itu pernah terealisasi saat penanaganan pandemi Covid-19, di mana masing-masing daerah memiliki kondisi dan keadaan darurat yang berbeda, namun harus menunggu kebijakan dari pemerintah.

“Otoritas daerah sangat terbatas untuk melakukan suatu aksi karena tidak punya dana. Sampai-sampai hak mereka sendiri terlambat untuk ditransfer sehingga mereka terpaksa harus meminjam kesana kemari,” ujarnya.

Jilal pun mempertanyakan prioritas pembiayaan yang diinginkan pemerintah.

“Jika ada yang menyebut keuangan negara tidak kuat, tapi ada proyek-proyek seperti IKN yang jalan terus pantang mundur. Walaupun dari fakta yang saya sebutkan yaitu pembangunan infrastruktur sejak tahun 2010 hingga 2020 tidak berimplikasi signifikan terhadap seluruh Indonesia, kecuali Jakarta,” kata Jilal.

Ia juga menilai, kebijakan pemerintah yang berencana mensubsidi transportasi yang salah satunya untuk ojek online (ojol) dinilai aneh. Sebab, jika dibandingkan dengan krisis tahun 1998, perekonomian saat itu masih bergerak dan tumbuh karena ada sektor informal, namun sektor tersebut saat ini sudah diformalisasi seperti ojol.

“Kita tau, ojol itu sudah murni bisnis. Banyak hal lain yang bisa diselesaikan, dan itu betul sistem jaring pengaman sosial kita masih acakadul atau berantakan hingga saat ini,” tuturnya.

Berantakannya jaring pengaman sosial juga bisa dilihat dari persoalan-persoalan bantuan sosial di masa pandemi. Hal ini, menurut Jilal, adalah wajar jika menimbulkan banyak pertanyaan di masyarakat luas, yang mempertanyakan dana APBN hasil dari masyarakat digunakan untuk apa saja dan alasan apa. 

Berita Lainnya
×
tekid