sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pengamat jelaskan penyebab surplus di Maret

Salah satunya disebabkan oleh delay effect perdagangan RI dengan pasar-pasar tradisionalnya, terutama China.

Soraya Novika
Soraya Novika Kamis, 18 Apr 2019 14:26 WIB
Pengamat jelaskan penyebab surplus di Maret

Neraca perdagangan Indonesia yang surplus US$540 juta sepanjang Maret 2019 lalu, diyakini terdampak langsung oleh delay effect perdagangan RI dengan pasar-pasar tradisionalnya, terutama China.

"Selama Februari 2019 lalu, transaksi perdagangan China secara menyeluruh sempat libur dua minggu lebih, hal itulah yang pada akhirnya membuat mereka melakukan kompensasi transaksi di Februari yang tertunda di Maret," ujar Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia Fithra Faisal kepada Alinea.id melalui wawancara via telepon genggam.

Sebagaimana mengutip data Bea Cukai China pada Februari 2019 lalu, tercatat penurunan perdagangan di China terutama untuk ekspor hingga 20,7%. Penurunan ini merupakan yang terparah sejak 2016. Demikian pula dengan impor China, sepanjang Februari 2019, terjadi penurunan sebesar 5,2% dan melebar sebanyak 1,5% dibandingkan Januari 2019.

Hal ini kemudian berdampak linear terhadap transaksi ekspor-impor Indonesia yang tercatat ikut menurun sepanjang Februari 2019. Meski secara keseluruhan juga tercatat surplus US$330 juta.

"Pola ini akhirnya terlihat juga pada transaksi ekspor-impor, selama Februari 2019 juga sama-sama turun," katanya.

Sebagaimana diketahui, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor RI sepanjang Februari 2019 mengalami penurunan sebesar 10,03%. Salah satu negara tujuan yang mengalami penurunan terdalam, terjadi terhadap China hingga US$191,1 juta. Demikian pula dengan nilai impor RI sepanjang Februari 2019 juga mengalami penurunan hingga 18,61%. Di mana pasokan impor yang diterima RI dari China pada bulan itu hanya menerima 30,03% dari keseluruhan barang impor yang masuk bulan itu.

Faktor lainnya yang turut berperan dari surplusnya neraca perdagangan RI sepanjang Maret 2019 lalu ialah faktor musiman. 

"Saya duga ada faktor musiman, karena sebagian besar dari peningkatan ekspor berasal dari produk pertanian, kita sedang musim panen selama awal-awal tahun ini, sehingga wajar saja," ucapnya.

Sponsored

Mengutip data BPS, sepanjang Maret 2019, ekspor sektor pertanian tercatat mengalami peningkatan cukup signifikan, yaitu tumbuh hingga 15,91% atau secara kumulatif berkontribusi sebesar 1,94% terhadap total ekspor RI.

Di samping itu, over impor beras juga dipercayai turut berperan. 

"Sebelumnya pada 2018, terjadi over impor beras dan pada beberapa komoditas lainnya. Akhirnya karena kelebihan kapasitas, pemerintah mengekspor kembali komoditas tersebut pada awal-awal tahun ini, sehingga terjadilah yang namanya surplus, karena nilai ekspornya lebih besar," tuturnya.

Volume impor beras Indonesia sepanjang 2018 memang melonjak hingga seberat 2,2 juta ton atau setara US$1,02 miliar dibandingkan 2017 yang hanya mencapai 305,75 ribu ton atau setara US$143,65 miliar.

Surplus yang lagi-lagi perlu diwaspadai

Neraca perdagangan RI yang kembali surplus juga penting untuk diwaspadai. Menurut Fithra, surplus yang terjadi sejauh ini hanya bersifat temporer saja. Sedangkan bila ditotal secara kumulatif, untuk kuartal awal tahun ini, neraca perdagangan RI masih tercatat defisit.

"Kuartal-I ini kita masih defisit lho, US$190 juta dan saya melihat tren defisit ini akan terus terjadi tahun ini terutama dari sisi ekspor yang memang daya ungkitnya masih terbatas," ujarnya.

Keterbatasan tersebut pun tidak lepas dari faktor musiman dan faktor perekonomian global yang tidak menentu. Ditambah lambannya perkembangan industri manufaktur di Indonesia.

"Industri manufaktur masih terpuruk dengan terjadinya deindustrialisasi atau yang pertumbuhannya selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi," tambahnya.

Sebagai informasi, deindustrialisasi merupakan proses kebalikan dari industrialisasi, yaitu penurunan kontribusi sektor manufaktur (industri pengolahan nonmigas terhadap PDB).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, kontribusi industri pengolahan nonmigas terhadap PDB mengalami tren penurunan dalam dua tahun beruntun pada 2017-2018. Terutama sepanjang 2019 ini terjadi penurunan tercepat mencapai 7%.

Demikian pula pertumbuhan sektor pengolahan nonmigas mengalami perlambatan sejak 2015 dan di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.

Padahal, jika dibandingkan dengan negara tetangga lainnya seperti Malaysia dan Thailand, penurunan keduanya paling tinggi hanya sekitar 3%-4% per tahun.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid