sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Persaingan global, Indonesia harus punya cetak biru hilirisasi minerba

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengkritik kebijakan hilirisasi energi mineral dan batu bara (minerba).

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Senin, 08 Jul 2019 19:10 WIB
Persaingan global, Indonesia harus punya cetak biru hilirisasi minerba

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengkritik kebijakan hilirisasi energi mineral dan batu bara (minerba) dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Dirjen Minerba, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), dan Indonesia Mining Asosiation (AMI).

Dalam rapat itu, Anggota DPR RI Komisi VII dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Mercy Chriesty Barends mengatakan seharusnya Indonesia memiliki cetak biru (blue print) perencanaan dan pemanfaatan bahan dasar energi dalam proses hilirisasi minerba di tengah pasar bebas.

“Perlu ada satu skema yang besar untuk masalah hilirisasi, agar kekhawatiran mengenai setelah 10 tahun kita (akan) membutuhkan impor bahan material dasar kembali, tidak akan terjadi,” kata Mercy di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (8/7).

Mercy berpesan, jangan sampai setelah pasar bebas dibuka investor berbondong-bondong masuk, dan ketidaksiapan Indonesia di segala lini kemudian menjadikannya kalah saing dari negara lain.

“Saya takutkan jangan sampai ketika kita buka hilirisasi sebesar-besarnya konsorsium besar dari luar masuk. Tenaga kerja murah masuk dan posisi pekerja kita menjadi lemah. Kemudian posisi kita sebagai pemain ekonomi global kemudian dipertanyakan,” ucapnya.

Ia melanjutkan, cetak biru hilirisasi perlu dibikin untuk mendorong kontribusi sektor minerba terhadap peningkatan produk domestik bruto (PDB) dalam negeri.

“Kita sebetulnya mau juga hilirisasi diperkuat agar negara kita bisa bertumbuh dari sisi ekonominya. Serapan tenaga kerja juga ada. Nilai yang keluar tidak hanya raw material tetapi juga bahan-bahan yang sudah diolah menjadi nilai tambah yang bisa kita dapatkan,” ucapnya.

Di sisi lain, Mercy mempertanyakan soal kebijakan hilirisasi yang diambil Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) lewat Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara.

Sponsored

“Yang kita takutkan komisi VII ingin memperkuat kebijakan hilirisasi ini, tapi pada tingkat kebijakan makro berhadap-hadapan antara kebijakan nasional dengan kebijakan daerah,” katanya.

Mercy mengatakan hal ini adalah masalah yang harus dibicarakan bersama, mulai dari proteksinya hingga arah kebijakan makronya. Termasuk juga menentukan badan usaha milik negara (BUMN) yang akan ditugaskan mendorong percepatan sektor hilirisasi minerba.

“Kebijakan nasional sudah ada beberapa perangkat hukum yang kita punya, tapi seberapa besar dampaknya terhadap percepatan untuk tingkat kemajuan hilirisasi kita?” tanyanya.

Ketidakjelasan regulasi yang berjalan selama ini, katanya, sedikit banyak telah menghambat proses hilirisasi. Sementara, semua pihak menginginkan percepatan hilirisasi.

Ia pun memberi penekanan kepada Inalum sebagai garda depan rantai hilirisasi minerba. Ia mengatakan, Inalum harus masuk dalam cetak biru yang akan disusun nanti.

“Kita butuh kerangka besar tadi supaya Inalum biar nyantol dalam kerangka besar ini. Kalau posisinya hanya sekedar holding saja buat saya kita mendegradasi nilai dari semangat kita melakukan hilirisasi,” tandasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin mengatakan, ke depan industri di bidang energi akan membutuhkan bahan mentah yang sangat besar. 

Ia pun mengatakan, agar semua cadangan bahan mentah yang dimiliki oleh Indonesia untuk tidak dijual secara keseluruhan untuk mengantisipasi kebutuhan bahan dasar di masa depan.

“Jadi kami internal lagi menghitung, cadangan kita jangan semua dijual. Kalau dihabiskan sekarang, memang uang dapat sekarang tapi anak cucu kesulitan cari batubara untuk pembangkit listrik (ke depannya),” ucap Budi.
 

Berita Lainnya
×
tekid