sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Problematika ketahanan pangan kita

Stabilitas dan ketahanan pangan di Indonesia masih terganjal oleh sejumlah problematika.

Cantika Adinda Putri Noveria
Cantika Adinda Putri Noveria Jumat, 15 Feb 2019 03:08 WIB
Problematika ketahanan pangan kita

Stabilitas dan ketahanan pangan di Indonesia masih terganjal oleh sejumlah problematika. Namun, sebenarnya produktivitas dan kualitas pangan bisa ditingkatkan dengan teknologi yang sudah tersedia di Indonesia.

Deputi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Bidang Koordinasi Pangan, dan Pertanian, Musdhalifah Machmud mengatakan, penguatan pangan bisa dilakukan dengan meningkatkan kapasitas penyimpanan hasil panen. Meskipun memang, ketehanan pangan juga bergantung pada cuaca.

"Sejak dulu ketahanan pangan sudah terwujud. Masalahnya sekarang adalah pendukungnya, yaitu logistik yang menjadi kendala utama," ujarnya dalam acara Rountable Stabilitas Harga Pangan di Menara Kadin, Jakarta Selatan, Kamis (14/2). 

Saat ini, sambungnya, panen di Indonesia masih tergantung pada musim. Jika musim panen, maka pasokan melimpah. Sebaliknya, jika musim paceklik, maka pasokan menipis sehingga harga melonjak. 

Untuk itu, kata dia, yang perlu diperbaiki sekarang adalah pendukung infrastruktur untuk menyimpan hasil panen. 

"Kita komunikasi dengan industri juga susah, (karena) mereka sudah ada partnership dengan petani. Penyimpanan mereka juga terbatas," imbuhnya.

Dia pun megimbau Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai BUMN pendistribusian pangan dapat meningkatkan kapasitas gudang penyimpanan. Dia berusaha membujuk investor dalam dan luar negeri untuk menanamkan modal dalam pembangunan gudang dan teknologi penyimpanan. 

Menurut dia, saat ini pemerintah terus melakukan usaha melalui peningkatan teknologi pergudagangan. Sehingga, harga dan stok bisa terus terjaga dan tidak terpengaruh oleh musim lagi. 

Sponsored

Mantan Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengakui usaha pemerintah dalam meningkatkan stabilisasi harga pangan sudah berhasil dalam hitungan bulan ke bulan. Buktinya, tampak dari keberhasilan pemerintah dalam menjaga inflasi pada kisaran 3%. 

Kendati demikian, apabila ditarik dalam jangka panjang, sebenarnya harga pangan cenderung naik dan belum bisa mengubah harga secara musiman. 

"Musim paceklik itu harganya naik, pada musim panen harganya jatuh. Jadi saya pikir itu adalah hal yang memang harus kita usahakan dan kita selesaikan. Hal itu bisa dikendalikan dengan regulasi," kata Bayu pada kesempatan yang sama. 

Dia mencontohkan pemerintah dapat membuat mekanisme tertentu untuk pembelian hasil panen, sehingga kelak dapat dijual lebih murah. Pemerintah bisa juga mengolah hasil panen yang gagal menjadi memiliki nilai tambah.

Bayu menyarankan agar stabilisasi harga dapat dilakukan lebih canggih. Misalnya, dengan menggunakan skema targeted price stabilization terhadap harga beli di petani.

"Kita betul-betul harus melihat secara khusus, mana yang memang menjadi pusat perhatian, dan mana yang perlu distabilkan. Itu membuka peluang untuk petani bisa mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi," papar Bayu. 

Lebih lanjut Bayu menuturkan stabilitas harga pangan dapat dilakukan dengan memberikan jaminan kepada Bulog. Sebab, Bulog memiliki pasokan beras hingga 1,9 juta ton.

Menurut dia, Bulog tidak disediakan ruang penyimpanan yang memadai saat mendapatkan perintah untuk mengumpulkan stok pangan. "(Bulog) disuruh mengumpulkan 2 juta ton beras setahun, tapi penyalurannya hanya 300.000-an ton. Itu sagat serius dan harus ada solusinya," kata dia.

Pemerintah dinilai dapat menugaskan Bulog untuk mendistribusikan serapan beras ke warung-warung eceran di seluruh pelosok negeri. Sehingga, masyarakat yang menerima bantuan pangan non tunai (BPNT) bisa membelinya. 

Akan tetapi, Bulog juga harus menanggung apabila beras itu tidak laku di pasaran. Bulog juga sebaiknya bisa lebih maju dalam membaca keinginan masyarakat.

Genjot produktivitas

Bayu yang kini menjadi Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) mengatakan, salah satu instrumen yang bisa meningkatkan produktivitas dan kualitas adalah dengan teknologi. 

Menurut dia, ketahanan pangan jangan selalu berbicara soal kesejahteraan petani atau harga pangan semata. "Tapi dilihat juga, produktivitas, kualitas, nilai tambah, dan sebagainya," ujar dia.

Saat ini, teknologi tersebut sudah ada saat ini di Indonesia. Teknologi tersebut digagas oleh International Rice Research Institute (IRRI). 

Direktur IRRI untuk Indonesia Hasil Sembiring menjelaskan teknologi yang bisa digunakan adalah menggunakan varietas pertanian yang cocol di masing-masing wilayah di Indonesia. 

Menurutnya, petani bisa memanen di lahan mana saja, entah itu di sawah irigasi, lahan kering, atau bahkan di rawa. 

Teknologi lainnya yang bisa digunakan adalah dengan melakukan budidaya, seperti pemumpukan spesifikasi lokasi 

"Nanti bermuaranya kepada menghasilkan suatu produk, per kilogram produknya harus lebih rendah dibandingkan dengan teknologi penggunaan sebelumnya. Artinya, produktivitas bisa ditingkatkan, sehingga biaya produksinya bisa murah," ujar dia.

Dengan teknologi-teknologi tersebut, kata Hasil, bisa meningkatkan produktivitas sampai tiga ton per hektare. Itu adalah bukti berdasarkan penelitian IRRI yang dilakukan di Yogyakarta.

Di samping produktivitas yang harus ditingkatkan, kualitas juga harus disembingkan. Kualitas itu diukur dari bagaimana rasa, nutrisi, organik, atau bahkan non organik. 

Dengan teknologi ini, bisa sangat mungkin kualitas pangan juga terjamin. 

"Jadi Litbang Kementan bekerja sama dengan IRRI, dari varietas-varietas itu, bisa menhasilkan beras merah yang harusnya diproduksi dalam waktu 6 bulan menjadi hanya 115 hari (sekitar 3 bulan). Hasilnya, dari 3 ton meningkat menjadi 7-8 ton. Menggunakan teknologi ini pun tidak membutuhkan biaya tinggi," tukas Hasil. 
 

Berita Lainnya
×
tekid