sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Indonesia di tengah tarik-menarik kepentingan geopolitik nikel dunia

Nikel menjadi keunggulan komparatif Indonesia dalam percaturan geopolitik global, namun peningkatan nilai tambah masih jadi pekerjaan rumah.

Syah Deva Ammurabi
Syah Deva Ammurabi Jumat, 06 Nov 2020 15:08 WIB
Indonesia di tengah tarik-menarik kepentingan geopolitik nikel dunia

Demam kendaraan listrik

Terkait pengembangan kendaraan listrik, pemerintah telah mengaturnya dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) 55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik. Peraturan ini juga menjadi peta jalan bagi pengembangan industri KBL di Indonesia.

Dalam Pasal 6, perusahan industri KBL berbasis baterai dan/atau komponennya diwajibkan mendirikan fasilitas manufaktur di dalam negeri, baik sendiri maupun melalui kerja sama dengan mitra dalam negeri. Kemudian, Pasal 8 menyebut adanya kewajiban pemenuhan Total Komponen Dalam Negeri (TKDN) hingga 80% untuk kendaraan roda dua atau tiga mulai 2026 dan kendaraan roda empat atau lebih mulai 2030.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Taufiek Bawazier mengungkapkan pemerintah membuka peluang investasi pengembangan KBL di Indonesia, baik bagi pemain baru maupun pemain lama yang mengkonversi produksinya dari kendaraan berbasis ICE (Internal Combustion Engine) bertenaga bahan bakar minyak (BBM) menjadi kendaraan bertenaga listrik. 

“Kita memang punya resource nikel banyak. Kita upayakan smelter-smelter kita bangun dan akan ada investasi konsorsium untuk membangun baterai Harus dipikirkan OEM (Original Equipment Manufacturer) itu mau terima inline dengan yang dihasilkan industri baterai itu sendiri. OEM ini juga penting di guidance bahwa dia mau menghasilkan produk EV (kendaraan listrik),” tuturnya dalam webinar yang diadakan oleh Bappenas, Rabu (14/10).

Ilustrasi mobil listrik. Pixabay.com.

Menurutnya, pasar otomotif Indonesia masih berpotensi untuk tumbuh lantaran rasio kepemilikan mobil Indonesia masih mencapai 87 per 1.000 penduduk, jauh di bawah negara ASEAN lainnya seperti Brunei (771 per 1.000 penduduk), Malaysia (439 per 1.000 penduduk), Thailand (228 per 1.000 penduduk), dan Singapura (147 per 1.000 penduduk).

Dalam paparannya, Taufiek menjelaskan pemerintah masih fokus dalam penguatan produksi kendaraan ICE dalam 3-5 tahun mendatang. Namun, fokus perlahan mulai bergeser ke arah inisiasi produksi sepeda motor listrik lokal dalam 5-10 tahun mendatang dan inisiasi produksi mobil listrik lokal 10-15 tahun mendatang. Ini juga seiring dengan fokus pengembangan kendaraan rendah karbon (Low Carbon Emission Vehicle/LCEV) dan kendaraan hijau berbiaya rendah (Low Cost Green Car/LCGC).

Sponsored

Taufiek mengaku bahwa harga baterai kendaraan listrik masih mahal. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah dapat memberi insentif fiskal sebagaimana amanat Perpres 55/2019, mendorong perbankan memberi bunga kredit yang rendah, serta menyediakan berbagai infrastruktur yang diperlukan bagi ekosistem kendaraan listrik.

Dia menambahkan beberapa investor telah berminat dalam mengembangkan kendaraan listrik di Indonesia. Ia menyebut Hyundai Motor Company asal Korea Selatan yang sudah berkomitmen membangun pabrik mobil berkapasitas 250 ribu unit dan akan selesai antara 2021-2023. Nilai investasi yang dikucurkan mencapai US$1,55 miliar. 

Beberapa waktu lalu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita juga mengkonfirmasi rencana Tesla, pabrikan kendaraan listrik asal Amerika Serikat yang akan membuka pabrik di Batang, Jawa Tengah. Pemerintah dan Tesla masih dalam tahap diskusi. 

“Pada ujungnya market yang menentukan apa yang lebih efisien dan punya daya beli apa, sehingga bisa masuk ke produk-produk apa yang dibuat Indonesia. Tentunya skala ekonomi ada di pihak OEM untuk membangun pabriknya dan melihat pasar,” jelasnya.

Indonesia berdikari, asing bereaksi

Langkah pemerintah Indonesia yang ingin mengolah nikelnya sendiri mendapat tentangan dari asing. Salah satunya Uni Eropa (UE) yang menggugat kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel oleh pemerintah Indonesia ke WTO.

Direktur Perundingan Multilateral Kementerian Perdagangan (Kemendag) Dandy Satria Iswara mengatakan Indonesia dan UE sudah melakukan konsultasi di WTO awal tahun ini. Pemerintah telah menyampaikan kebijakan yang ditempuh semata-mata sebagai upaya menjaga sumber daya alam kita secara optimal dan berkelanjutan. Ini sejalan dengan komitmen Indonesia di WTO.

“Pihak UE meminta beberapa penjelasan yang bersifat teknis, tapi kita sudah jawab pada pertemuan konsultasi tersebut,” tulisnya melalui pesan singkat, Senin (2/11).

Adapun penjelasan yang diminta UE adalah persyaratan izin ekspor dan berbagai informasi terkait kebijakan mineral dan batubara. Tahap selanjutnya, adalah sidang panel, namun hingga kini masih belum ada permintaan pembentukan panel dari UE. 

“Itu tergantung dari UE, tapi pemerintah tentu tetap terbuka apabila UE ingin berkonsultasi kembali,” ujarnya.

Raden Sukhyar yang juga Mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM berpendapat sikap UE didasarkan dari adanya kebutuhan terhadap bijih nikel sebagai bahan baku industri.

Meski menunjukkan perlawanan, Uni Eropa hanya berkontribusi sekitar 5% dari keseluruhan produk nikel Indonesia. Ia menyebut negara-negara Asia Timur seperti China, Jepang, dan Korea Selatan sebagai pangsa pasar utama. 

“Bijih kan tidak berharga yang berharga logamnya. Kalau mau, beli aja dong metalnya dari tanah. Kamu kalau butuh metalnya datang dong ke kita, harusnya kan begitu. Jadi kita juga ingin maju selangkah gitu lho dari bijih ke metal,” tegasnya. 

Menurutnya, kebijakan pelarangan ekspor juga membuat China kelimpungan dan membangun smelter di Indonesia. Perusahaan asal Negeri Tirai Bambu tersebut bahkan memproduksi NPI dan FeNi untuk kemudian diekspor ke China dan diolah menjadi stainless steel. Baja tahan karat tersebut dijual ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Oleh karena itu, Sukhyar berharap pemerintah melakuan pembatasan terhadap pembangunan smelter, terutama yang memproduksi NPI dan FeNi dan fokus pada produksi bahan baku baterai berbasis nikel. 

“Mereka banyak masuk ke Indonesia, membawa duit, membawa barang modalnya, teknologinya. Artinya apa? Nikel kita membawa daya tarik. Apa boleh buat dengan kebijakan hilirisasi pintunya kita buka, tapi arah hilirisasinya itu masih ditentukan pihak luar,” ungkapnya.

Negara kecolongan

Jonatan Handojo dari AP3I mengungkapkan negara selama ini kecolongan dalam upayanya melakukan hilirisasi nikel. Hal ini terjadi di dalam Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yang devisa hasil ekspornya tidak tercatat di Indonesia. Belum lagi, adanya fasilitas pembebasan pajak yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan-perusahaan China di Morowali.

“Jadi mereka transaksi jual-beli lewat Bank di China. Jadi itulah sebabnya tidak ada L/C (Letter of Credit) yang masuk karena tidak ada Bank Lokal Indonesia yang dapat menampung transaksi jual beli mereka,” terangnya.

Persyaratan yang dimaksud Handojo adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) PBI 21/14/PBI 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan Devisa Pembayaran Impor. Peraturan tersebut mencabut ketentuan PBI 21/03/PBI 2019 tentang Penerimaan DHE dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam, kecuali mengenai penyampaian informasi dan laporan terkait penerimaan DHE SDA yang masih berlaku hingga 31 Desember 2020. Dengan kata lain, ketentuan mengenai sanksi ditangguhkan hingga akhir tahun.

“Katanya dijual naik kapal kirim ke China, tapi kok di Indonesia enggak dapat duit apa-apa? Ternyata, saya sudah bongkar. Itu ternyata transaksinya dibikin seolah-olah beli dagangan di China, biarpun barangnya di Indonesia,” ungkapnya.

Handojo melihat kehadiran investor asal China di Morowali mulai mengganggu eksistensi perusahaan-perusahaan nikel yang ada sebelumnya. Ia mencontohkan penjualan 20% saham INCO (PT Vale Indonesia. Tbk) kepada MIND ID (Mining Industry Indonesia) sebagai salah satu upaya konsolidasi untuk memperkuat permodalan.

Oleh karena itu, pria yang sudah menekuni bisnis smelter sejak 2010 ini berharap pemerintah membuat peraturan agar investor asing tidak berbuat seenaknya dan konsisten dalam penegakannya. Handojo mencontohkan kebijakan penghentian sementara ekspor bijih nikel selama 1-2 minggu pada akhir 2019 silam sebelum diberlakukan secara permanen mulai 1 Januari 2020.

“Kita masih punya nikel dan kita atur nikel ini agar dikuasai betul-betul. Makanya sudah ketahuan begini. Coba kita atur jangan macam-macam harus ikuti aturan Indonesia. Enak bebas mereka enggak bayar apa-apa ke Indonesia kan gila. Itu kita orang dibodohin lah,” tegasnya. 

Menuju produsen nikel kelas dunia

Dengan potensi yang ada, Ketua Indonesia Smelter and Mineral Processing Association (ISPA) Raden Sukhyar menilai sebenarnya Indonesia mampu menjadi pemain penting dalam industri berbasis nikel.

Sukhyar menjelaskan Antam telah mengembangkan smelter feronikel sejak 1976, sedangkan China baru mengembangkannya mulai tahun 2000-an. Ironinya, kini China menjadi yang terdepan dalam teknologi pengolahan feronikel. Belum lagi, INCO juga memiliki pengalaman panjang dalam bisnis smelter di Indonesia. 

Menurutnya, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah, terutama dalam aspek pendanaan dan teknologi yang selama ini menjadi masalah utama dalam hilirisasi nikel.

“Dalam konteks pengembangan industri berbasis nikel ada empat unsur. Satu demand, ada kebutuhan dan permintaan enggak? Kedua, dari supply side, ada enggak bahan bakunya? Ketiga, teknologi dan inovasi. Keempat, kebijakan negara, misalnya dalam konteks kebijakan pertambangan, lingkungan, dan pendanaan,” terangnya. 

Untuk menjamin kelangsungan pasar, kata Sukhyar, aliansi dengan negara-negara konsumen nikel harus dijalin. Nikel, kata dia, harus dijadikan sebagai posisi tawar untuk menghasilkan aliansi yang menguntungkan bagi Indonesia.

“Kita punya nikel lho, mari kita kerjasama. Kalian punya teknologi canggih dan kita pasok baterainya. Bagaimana kita jadi bargaining position (posisi tawar) yang kuat untuk membangun hilirisasi sejauh mungkin,” katanya.

Sukhyar menambahkan pemerintah juga mesti berperan aktif dalam mendorong inovasi dan menciptakan permintaan. Ia mengapresiasi langkah pemerintah yang memberi insentif pemotongan pajak super (super tax deduction) bagi perusahan yang melakukan kegiatan vokasi dan riset untuk mendorong inovasi.

Terkait permintaan, pemerintah harus dapat memastikan bahan baku yang digunakan berasal dari dalam negeri serta mendorong produsen dan konsumen dalam negeri untuk duduk bersama.

“Kemudian, kalau kita punya resources bagus, kita lihat di dalam negeri. Kita punya populasi terbesar di Asia Tenggara. Market size kita gede banget tuh. Pertanyaannya apakah kita bisa memproses nikel sampai produk tertentu? Mungkin sampai finished product yang bisa dimanfaatkan di dalam negeri,” ujarnya.

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari artikel yang berjudul "Asa hilirisasi sang raja nikel dunia".

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid