sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Risiko serangan siber kian besar, OJK siapkan jurus ini

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan risiko serangan siber pada sistem keuangan saat ini sudah semakin besar.

Satriani Ariwulan
Satriani Ariwulan Rabu, 18 Okt 2017 17:09 WIB
Risiko serangan siber kian besar, OJK siapkan jurus ini

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bakal meluncurkan layanan informasi keuangan yang bertugas mempercepat pemulihan saat terjadi serangan siber. Upaya itu dilakukan lantaran semakin besarnya risiko serangan siber pada sistem keuangan seiring pesatnya pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di industri jasa keuangan. 

Selain itu, OJK juga akan membentuk lembaga pelatihan penanganan serangan siber. Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan guna mengantisipasi peningkatan ancaman keamanan siber, OJK telah bergabung dalam inisiatif bersama untuk membentuk Badan Siber Nasional bersama sejumlah kementerian dan lembaga negara seperti Kemenkominfo, Kementerian Pertahanan, Kemenko Polhukam, Kepolisian, dan lain-lain. 

Menurut Wimboh, kepedulian industri jasa keuangan di setiap negara terhadap risiko cyberattacks harus ditingkatkan dengan penguatan manajemen risiko operasional terkait teknologi informasi. "Upaya pencegahan serangan siber tidak dapat dilakukan hanya oleh satu negara saja, namun merupakan inisiatif global karena para hackers beroperasi tanpa mengenal batas negara,"  ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam rangkaian pertemuan tahunan Bank Dunia – IMF, Washington DC, Rabu (18/10).

Menurutnya, meningkatnya penggunaan internet oleh pemerintah, pelayanan publik dan bisnis swasta termasuk di industri jasa keuangan memiliki implikasi besar jika tidak ditangani dengan baik.  “Di Indonesia, industri jasa keuangan dikategorikan sebagai salah satu infrastruktur penting yang perlu dijaga dari ancaman keamanan dunia maya,” kata Wimboh.

Dalam lawatannya memenuhi undangan Bank Dunia ini, Ketua Dewan Komisioner OJK juga menghadiri dua pertemuan tingkat tinggi bersama beberapa perwakilan bank sentral maupun otoritas pengawas keuangan negara lain untuk membahas dua isu besar, yaitu Annual Meeting of the IFC-led Sustainable Banking Network (SBN)  dan Regulatory Approaches for Non-Systemic Banks.  

Wimboh juga menjadi pembicara utama dalam Seminar Annual Meeting of the IFC-led Sustainable Banking Network (SBN). Dalam kesempatan di depan 30 perwakilan negara itu, Wimboh mengatakan bahwa pengaruh perubahan iklim dapat mengakibatkan gangguan pada sektor jasa keuangan dan berpotensi memicu krisis ekonomi. 

“Perlu adanya global roadmap keuangan berkelanjutan yang diharapkan dapat mempercepat pemenuhan pendanaan untuk tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) dengan meningkatkan peran sektor swasta secara global,” kata Wimboh . 

Menurut Wimboh, agar lebih efektif, masing-masing negara harus memiliki strategi nasional pengembangan keuangan berkelanjutan yang membangun komitmen bersama dan mengkolaborasikan berbagai instansi, akademisi, industri jasa keuangan dan sektor bisnis.

Sponsored

OJK sudah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 51/POJK.03/2017 Tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, Dan Perusahaan Publik. Sebelumnya pada Desember 2014, OJK juga sudah mengeluarkan roadmap Keuangan Berkelanjutan di Indonesia yang bertujuan menjabarkan kondisi yang ingin dicapai terkait keuangan yang berkelanjutan dalam jangka menengah (2015-2019) dan panjang (2015-2024) bagi industri jasa keuangan yang berada di bawah pengawasan OJK serta untuk menentukan dan menyusun tonggak perbaikan program keuangan berkelanjutan. 

Sedangkan dalam forum Regulatory Approaches for Non-Systemic Banks, Wimboh menyampaikan bahwa setiap negara memiliki struktur perbankan, kompleksitas dan ukuran yang berbeda-beda, sehingga standarisasi pengaturan kehatian-hatian bank non-sistemik secara internasional sulit dilakukan. Oleh karena itu, lebih diperlukan adanya penyesuaian standar kehati-hatian di masing-masing negara termasuk kerangka pengawasannya dengan karakteristik bank non-sistemik di masing-masing negara tersebut atau asas proporsionalitas. Hal ini agar pengaturan berlebihan yang memicu compliance cost yang tinggi dapat diminimalkan tanpa mengurangi efektifitas pengaturan dan pengawasan.  

Berita Lainnya
×
tekid