Berpotensi rugikan keuangan negara, pemerintah diminta setop hilirisasi mineral
Program hilirisasi mineral pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terlalu memanjakan investor.

Anggota Komisi VII DPR Mulyanto meminta pemerintah menghentikan program hilirisasi mineral karena berpotensi merugikan keuangan negara. Ia menilai program hilirisasi mineral pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terlalu memanjakan investor sehingga pendapatan negara dari sektor ini sangat kecil.
Penerimaan negara dari hilirisasi ini tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk memperbaiki risiko kerusakan lingkungan, gejolak sosial di masyarakat, termasuk penanganan gugatan di Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO.
"Dengan segala pertimbangan sebaiknya pemerintah menghentikan program hilirisasi mineral, baik nikel, tembaga, timah, bauksit dan lain-lain. Saatnya kita mengubah konsep pengelolaan SDA kita dari hilirisasi menjadi industrialisasi," kata Mulyanto di Jakarta, Rabu (23/2).
Menurut Mulyanto, program hilirisasi yang dijalankan pemerintah Jokowi sekarang ini terlalu boros dengan berbagai insentif yang berpotensi merugikan keuangan negara.
"Sudah begitu, hasilnya hanya sekadar produk setengah jadi dengan nilai tambah rendah," jelas Mulyanto.
Mulyanto menyebut, tingginya nilai ekspor mineral tidak sebanding dengan besarnya penerimaan negara. Apalagi diketahui bahwa dana hasil ekspor (DHE) tersebut ternyata tidak masuk ke Indonesia, tetapi malah diparkir di luar negeri. Akibatnya, dana tersebut tidak menjadi devisa nasional.
"Ini kan luar biasa. Terkesan kita hanya menjadi subordinasi industrialisasi di China. Di mana kita mengekspor barang setengah jadi dengan nilai tambah rendah. Lalu di sana diolah dan dikembangkan dalam mesin industri mereka menjadi barang yang bernilai tambah tinggi. Ujung-ujungnya mereka yang sejahtera, kita yang menanggung musibah," kata Mulyanto.
Politikus PKS itu menambahkan, insentif fiskal maupun nonfiskal yang diberikan pemerintah dalam program hilirisasi ini sangat boros. Pertama adalah insentif harga bijih nikel domestik yang dijual setengah dari harga internasional. Kemudian, pemerintah membebaskan pajak ekspor, pajak badan, pajak pertambahan nilai, memberi izin penggunaan mesin produksi yang tidak teruji serta membuka pintu bagi TKA tanpa ketrampilan dengan gaji mahal.
Sementara, produk yang dihasilkan hanya nickel pig iron (NPI) serta Fero Nikel dengan kadar nikel yang sangat rendah sekitar 4%-10% dengan harga murah.
Karena itu Mulyanto menegaskan pemerintah harus menghentikan hilirisasi mineral yang merugikan negara ini.
"Sekarang sudah saatnya kita menggeser fokus dan visi pengelolaan SDA hilirisasi menjadi industrialisasi. Tujuannya agar rakyat benar-benar dapat menikmati nilai tambah SDA serta berbagai multiflyer effect lainnya," kata Mulyanto.
"Jangan sampai SDA kita habis terkuras hanya sekadar untuk mendukung program industrialisasi di negara lain. Sementara rakyat kita tetap miskin dan terbelakang, terperangkap kutukan SDA yakni negara kaya SDA, namun rakyatnya miskin dan terbelakang," tandasnya.

Derita jelata, tercekik harga pangan yang naik
Senin, 21 Feb 2022 17:25 WIB
Menutup lubang “tikus-tikus” korupsi infrastruktur kepala daerah
Minggu, 13 Feb 2022 15:06 WIB
Segudang persoalan di balik "ugal-ugalan" RUU IKN
Minggu, 23 Jan 2022 17:07 WIB
Ancaman nyata kala mesin mulai menggantikan manusia
Jumat, 02 Jun 2023 18:48 WIB
Kerawanan Pemilu 2024: Dari politik uang hingga intimidasi
Rabu, 31 Mei 2023 16:44 WIB