sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Rupiah kian melemah, sanggupkah pemerintah membayar utang valas?

Deviasi kurs yang semakin jauh dari asumsi APBN, berdampak kepada membengkaknya anggaran untuk membayar kewajiban utang valas.

Cantika Adinda Putri Noveria
Cantika Adinda Putri Noveria Rabu, 02 Mei 2018 07:28 WIB
Rupiah kian melemah, sanggupkah pemerintah membayar utang valas?

Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) terus berlanjut. Kurs rupiah ditutup melemah 20 poin atau terdepresiasi 0,14% pada level Rp13.913 per dollar AS pada perdagangan Senin (30/4) kemarin.

Peneliti INDEF Bhima Yudhistira mengatakan deviasi kurs yang semakin jauh dari asumsi APBN, berdampak kepada membengkaknya anggaran yang digunakan untuk pembayaran kewajiban utang valas. Asumsi kurs rupiah di APBN ditarget hanya berkisar Rp 13.400 per dollar AS. 

"Dengan melemahnya rupiah, deviasinya makin besar. Misalnya asumsi kurs bisa Rp 14.000, maka selisih pembayaran utang luar negeri pemerintah mencapai Rp 5,5 triliun," terang Bhima kepada Alinea.

Bank Indonesia mencatat total utang luar negeri pemerintah hingga Februari 2018 mencapai US$ 177,85 miliar atau melonjak 43,9% dibandingkan posisi akhir 2014 lalu yang sekitar US$123,80 miliar. Mayoritas utang luar negeri pemerintah merupakan surat utang yang mencapai US$121,55 miliar, sisanya merupakan pinjaman.

Kondisi akan semakin buruk saat utang luar negeri kian bertambah, namun kinerja ekspor tak optimal. Akibatnya, debt to service ratio (DSR) meningkat. Saat ini angka DSR sudah berada dikisaran 34%, atau di atas batas aman Dana Moneter Internasional (IMF) yang menetapkan maksimum di level 25%. 

Di Asia, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat DSR paling tinggi. "Sehingga menjadi kurang sehat untuk perekonomian Indonesia," ujar Bhima. 

Karena itu, pemerintah perlu merombak pos belanja prioritas dengan mengorbankan pos lain seperti belanja infrastruktur untuk membayar utang jatuh tempo. Dalam jangka panjang, reformasi struktur utang  juga harus dilakukan untuk memperdalam pasar keuangan. 

"Caranya dengan memperbesar porsi investor domestik di surat utang pemerintah melalui penerbitan SBN (surat berharga negara) ritel yang harganya lebih terjangkau," pungkas Bhima.

Sponsored
 

 

Ekonom PT Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih memprediksi Indonesia akan membayar utang terhadap negara lain dengan cara menerbitkan global bond atau surat utang yang diterbitkan di luar negeri. Artinya, pemerintah gali lubang tutup lubang, membuka utang baru untuk membayar utang lama. 

Langkah penerbitan obligasi itu bisa menjadi bahaya saat investor melepas kepemilikannya. Yield obligasi terancam terkerek. Ujung-ujungnya, beban bunga yang ditanggung pemerintah bisa ikut merangkak naik. 

Lana menyebut, pemerintah harus mengakali agar investor tak gampang lari dari obligasi. Salah satunya, menerbitkan obligasi dengan ketentuan holding period atau wajib digenggam, misalnya selama tiga tahun. 

"Semisal pemerintah menerbitkan obligasi dengan jangka waktu lima tahun. Dalam lima tahun, terdapat kewajiban pemegang obligasi untuk hold tiga tahun. Sebelum tiga tahun tidak boleh dijual," ujar Lana kepada Alinea

Nah, untuk menggaet investor agar masuk ke global bond Indonesia dengan holding period, pemerintah bisa menawarkan kupon yang menarik di atas 5%. Angka itu di atas rata-rata global bond yang pernah diterbitkan oleh pemerintah. 

Instrumen itu bisa digunakan pemerintah untuk membayar utang luar negeri dengan pihak swasta. Sedangkan untuk utang antar negara/bilateral, pemerintah kemungkinan melakukan Debt Swap atau penukaran utang dengan bentuk lain.  Dimana, pemerintah bisa menawarkan opsi tidak perlu membayar utang menggunakan dollar AS. 

"Misalkan Indonesia mempunyai utang dengan Jerman. Nah, Jerman memiliki kekuatan di vokasi. Kita bilang sama Jerman untuk membayar utang dengan cara mendirikan program pendidikan vokasi di Indonesia senilai utang. Sedangkan trainernya dari Jerman," terang Lana. 
 

Berita Lainnya
×
tekid