sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Saat kaum disabilitas menghadapi diskriminasi di dunia kerja

Diskriminasi terhadap disabilitas ditemui saat perekrutan dengan adanya syarat ‘Sehat Jasmani dan Rohani’.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Senin, 02 Jan 2023 16:03 WIB
Saat kaum disabilitas menghadapi diskriminasi di dunia kerja

Puluhan surat lamaran pekerjaan yang disebar Putri Windi Aulia di berbagai perusahaan selalu berakhir penolakan.  Baik tidak dipanggil sama sekali atau ditolak setelah wawancara.

“Beberapa kali dipanggil buat wawancara, tapi setelah datang wawancara, enggak ada kabar lagi atau dikabarin lewat email kalau enggak lolos,” katanya, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (29/12). 

Putri memiliki penyakit osteogenesis imperfecta yang membuat tulangnya begitu rapuh. Dia harus selalu menggunakan kursi roda agar dapat menjalani kegiatan sehari-hari. Putri sadar betul, tuna daksa yang disandangnya lebih menyulitkannya untuk mendapatkan kerja.

Dia tak kunjung mendapatkan pekerjaan setelah menamatkan pendidikan di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (BBRSBD) Prof. Soeharso, Surakarta, Desember 2016 lalu. Banyaknya lowongan pekerjaan yang mensyaratkan ‘sehat jasmani’, membuat Putri selalu minder . “Belum daftar saja, kalau ada syarat itu sudah keder sendiri,” katanya.

Setelah hampir setahun mengganggur dan pulang ke rumahnya di Magelang, Putri lalu melanjutkan pendidikannya di Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (BBRVBD) Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Selepas dari sekolah vokasi khusus tuna daksa itu lah, perempuan 28 tahun itu baru mendapatkan kesempatan untuk kembali mendaftar kerja.

Penolakan-penolakan karena statusnya sebagai tuna daksa kembali dialaminya. Meski begitu, Putri merasa sangat beruntung setelah sekolah vokasinya tersebut membantu menyalurkan anak-anak didik mereka ke perusahaan-perusahaan di berbagai sektor.

“Alhamdulillahnya, enggak lama setelah lulus, pada April 2019, aku dapat pekerjaan sebagai customer service (CS) di salah satu bank swasta di Jakarta,” imbuh dia.

Ibu satu anak itu melanjutkan, setelah mendapatkan pekerjaan, diskriminasi tidak bisa lepas dari dirinya maupun sebagian besar kelompok disabilitas lainnya. Misalnya, saat Putri menjalankan kursi rodanya melintasi gedung-gedung kantor mewah di area SCBD (Sudirman Central Business District) untuk berangkat ke kantornya, yang kebetulan berada di kawasan bisnis tersebut.

Sponsored

“Atau ketika sudah sampai di kantor juga enggak jarang ada yang melihat sinis banget. Ada juga yang nyeletuk ‘kasian banget, temennya harus dorong-dorong kursi rodanya’, kalau ada temenku yang baik dan membantu dorong kursi rodaku,” kata perempuan yang kini banting setir menjadi video creator dan ibu rumah tangga itu.

Baik di dunia kerja maupun kegiatan sehari-hari, diskriminasi memang masih sering terjadi. Saking seringnya, kelompok disabilitas justru seakan diharuskan berteman dan harus memaklumi diskriminasi itu.

Diskriminasi sejak di tingkat pendidikan

Aktivis Hak Disabilitas Agus Hasan Hidayat mengatakan diskriminasi di dunia kerja sendiri sebetulnya merupakan lanjutan dari diskriminasi di tingkat pendidikan. Dengan anggapan yang sudah melekat di masayarakat kalau kaum disabilitas tidak mampu mengikuti kecepatan bergerak hingga berpikir kaum nondisabilitas, lantas membuat kurikulum atau silabus pendidikan bagi anak-anak dengan disabilitas dibedakan. Diajarkan dengan lebih lambat.

“Karena ini, pendidikan anak-anak dengan disabilitas jelas jadi lebih lambat, hingga pada akhirnya mempengaruhi pola berpikir mereka juga,” kata Agus, kepada Alinea.id, Minggu (1/1).

Di dunia kerja, diskriminasi kerap ditemui bahkan saat perekrutan, yakni dengan adanya syarat ‘Sehat Jasmani dan Rohani’. Syarat ini menurutnya sama sekali tidak diperlukan. Pasalnya, sebelum mendaftar kerja, orang dengan disabilitas akan benar-benar memikirkan di bidang apa saja mereka bisa bekerja dan bertahan. Tanpa perlu meminta terlalu banyak pertolongan dari orang-orang nondisabilitas di sekitarnya.

“Teman-teman dengan disabilitas tertentu sudah tahu, mereka tidak akan mendaftar di bidang yang mereka tidak kuasai. Lowongan di Trans Jakarta misalnya, itu teman-teman tuna netra, teman-teman tuli tahu, mereka tidak bisa dan tidak akan mendaftar,” jelas Agus.

Setelah bekerja, risiko diskriminasi pun masih tetap mengintai kaum disabilitas. Selain terlihat dari fasilitas kantor, di mana masih banyak yang belum ramah disabilitas, timbul juga dari sikap orang-orang di perusahaan itu sendiri -dari golongan karyawan hingga petinggi perusahaan- terhadap penyandang disabilitas.

Pada orang dengan disabilitas mental misalnya, diskriminasi sering terjadi ketika perusahaan mengetahui ada karyawannya yang menderita gangguan mental. Bahkan, ketika penyakit mental yang diderita karyawan tersebut kambuhan atau sudah terlalu berat, tidak jarang perusahaan kemudian memecat karyawan tersebut. Alasannya, agar karyawan dengan disabilitas mental itu tidak membahayakan karyawan lainnya.

“Makanya, kemudian banyak sekali teman dengan disabilitas mental yang diam saja, ketika baru mendapatkan diagnosa atau masih menjalani perawatan. Mereka takut, kalau bilang akan dipecat, bukannya diberi akomodasi yang baik, misal bantuan perawatan ke psikolog atau psikiater,” imbuhnya.

Ilustrasi penyandang disabilitas di tempat kerja. Foto Freepik.
Bahkan, lanjutnya, penyandang disabilitas intelektual tidak diizinkan kerja sama sekali.

"Tidak ada kesempatan kerja untuk mereka. Sebesar apa pun bakat yang mereka miliki,” kata Agus.

Sektor formal terbatas

Tak heran jika diskriminasi di tempat kerja yang harus dialami kelompok disabilitas ini membuat mereka lebih memilih bekerja di sektor informal, ketimbang formal. Meski sejak 15 April 2016 lalu, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan memperkuatnya dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2020 tentang Unit Layanan Disabilitas (ULD) Bidang Ketenagakerjaan.

Dengan dua peraturan tersebut, pemerintah mewajibkan agar pemerintah pusat, pemerintah daerah (pemda), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) mempekerjakan minimal 2% penyandang disabilitas dari jumlah pegawai. Kemudian bagi perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% penyandang disabilitas dari jumlah pegawai.

“Kenyatannya, aturan ini cuma aturan. Pelaksanaannya saya lihat belum efektif karena tidak ada data pasti jumlah karyawan dari kelompok disabilitas yang mereka rekrut dan disabilitas jenis apa saja,” jelasnya.

Distribusi penyandang disabilitas berdasarkan sektor formal dan informal (%)

Status penyandang disabilitas (PD)

2017

2018

2019

2020

Formal

Informal

Formal

Informal

Formal

Informal

Formal

Informal

PD Ringan

25,79

74,21

24,43

75,57

24,54

75,46

23,76

78,27

PD Berat

19,66

80,34

21,17

78,83

23,77

76,23

21,73

76,24

Non PD

44,39

55,61

44,68

55,32

45,84

54,16

40,5

59,5

Sumber: Sakernas Februari 2021, BPS dan ILO.

Bagi perusahaan yang sudah menjalankan ketentuan ini, terkadang secara tidak sadar juga masih melakukan diskriminasi. Hal ini terlihat dari kualifikasi pendaftaran yang dikhususkan untuk kelompok disabilitas tertentu. Misalnya di pengumuman perekrutan untuk posisi operator mesin, yang diperbolehkan hanya tuna daksa yang masih bisa menggunakan tangannya dengan sempurna.

“Ini kadang masih ada yang mensyaratkan seperti ini. Padahal syarat seperti ini malah membuat diskriminasi di antara kelompok disabilitas satu dengan lainnya. Malah jadi mengelompok-kelompokan,” papar Agus.

Lembaga tanpa taring

Terpisah, Pemerhati Sosial Herry Darwanto bilang, sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities) dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 2011, sudah seharusnya Indonesia memberikan pengakuan terhadap hak-hak para penyandang disabilitas.

Untuk meningkatkan partisipasi kaum disabilitas di dunia kerja, sudah sepatutnya pula pemerintah maupun dunia usaha menghapuskan syarat sehat jasmani dan rohani yang masih banyak tertera pada pengumuman rekrutmen.

Di saat yang sama, pemerintah melalui Kementerian Sosial (Kemensos) pun harus lebih menajamkan taring Komisi Nasional Disabilitas (KND) yang resmi dibentuk pada 1 Desember 2021 lalu. Sehingga, lembaga non-struktural dan independen ini dapat menjalankan tugasnya dengan baik untuk melindungi hak-hak penyandang disabilitas.

“KND itu kan berfungsi untuk memantau, mengevaluasi dan mengadvokasi pelaksanaan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Sebetulnya lembaga ini sudah tepat untuk penyandang disabilitas untuk bisa menyampaikan keluhan, usulan, keberatannya,” jelasnya, kepada Alinea.id, Jumat (30/12).

Namun, pada praktiknya lembaga yang baru setahun berdiri ini bak harimau tanpa taring, yang tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Padahal, dengan kelompok disabilitas yang berjumlah sekitar 23 juta orang, KND perlu bergerak cepat untuk memastikan tidak ada disabilitas yang kehilangan hak-haknya untuk mendapat perlakuan setara.

Begitu pula dengan Kementerian Sosial, khususnya Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas yang seharusnya dapat menjadi pemimpin dari sisi pemerintah untuk mewujudkan kesetaraan bagi disabilitas di dunia kerja. Pasalnya, segala regulasi dan program-program terkait kedisabilitasan berasal dari kementerian ini.

Bagi pengusaha atau pemberi kerja, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak disabilitas bisa dilakukan dengan memenuhi kewajiban aturan merekrut 1% disabilitas dari jumlah karyawan yang ada, khusus untuk perusahaan swasta atau 2% untuk instansi pemerintahan serta BUMN dan BUMD. Di saat yang sama, perusahaan juga harus menyediakan berbagai fasilitas penunjang, untuk memudahkan karyawan disabilitas saat bekerja.

“Tapi lebih dari itu, kesetaraan bagi disabilitas tidak sebatas pada pemenuhan kesejahteraan mereka saja, lebih luas lagi. Karena itu, agar inklusif dapat tercipta bagi disabilitas di dunia kerja dan di kehidupan sehari-hari, butuh kerja sama dari berbagai pihak,” imbuh Herry.

Distribusi penyandang disabilitas berdasarkan sektor formal dan informal (%)

Kelompok umur

Jenis kelamin

Total

Laki-laki

Perempuan

15-19 tahun

148.910

131.685

280.595

20-24 tahun

178.898

159.055

337.953

25-29 tahun

179.103

158.073

337.176

30-34 tahun

225.806

205.316

431.122

35-39 tahun

251.563

179.343

430.906

40-44 tahun

406.315

353.465

759.780

45-49 tahun

468.068

573.336

1.041.404

50-54 tahun

686.856

768.914

1.455.770

55-59 tahun

821.973

943.055

1.765.028

60-64 tahun

972.467

1.192.434

2.164.901

65 tahun +

3.184.205

4.328.916

7.513.121

Total

7.524.164

8.993.592

16.517.756

Sumber: Sakernas Februari 2021, BPS.

Terlepas dari itu, belum ada data pasti yang dapat memetakan berapa banyak jumlah pekerja dengan disabilitas di tanah air. Hal ini terlihat dari data berbeda yang disajikan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan pada 2022 terdapat sekitar 17 juta difabel usia produktif yang bekerja.

Sedangkan versi International Labour Organization (ILO), hanya ada 7,6 juta disabilitas usia produktif yang bekerja.
“Kami menemukan kategori dan skala pengukuran disabilitas berbeda dalam survei yang dilakukan secara nasional. Akibatnya, sangat sulit membuat program dan kebijakan tanpa data yang akurat,” ungkap Staf ILO untuk Kesetaraan Kerja Bagi Disabilitas, beberapa waktu lalu.

Lebih rinci, penyandang disabilitas yang paling banyak mendapatkan pekerjaan berada di usia produktif, yaitu usia 15 tahun hingga 24 tahun. Walaupun tingkat pendidikannya lebih rendah, penyandang disabilitas di desa lebih banyak yang mendapatkan pekerjaan dibandingkan di perkotaan.

“Sangat sedikit penyandang disabilitas yang mendaftar pekerjaan sendiri, misalnya melalui job fair. Kebanyakan mereka mendapatkan pekerjaan dari keluarga atau kenalan yang telah bekerja,” imbuhnya.

Sementara itu, Direktur Bina Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Kementerian Ketenagakerjaan Nora Kartika Setyaningrum mengakui masih minimnya partisipasi kelompok disabilitas di dunia kerja. Oleh karenanya, melalui peraturan yang sudah ada negara berkomitmen untuk memenuhi hak-hak disabilitas.

“Kami akui juga kalau jumlah tenaga kerja di sektor formal masih terbatas. Oleh karena itu, ini masih menjadi concern kami. Kami juga sudah mendorong perusahaan swasta dan instansi pemerintah untuk memenuhi kewajiban perekrutan tenaga kerja disabilitas,” katanya, melalui pesan singkat, kepada Alinea.id, Senin (2/1).

Menanggapi hal ini, Anggota Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Myra Hanartani mengatakan selama ini pengusaha terus berusaha memenuhi kewajiban untuk merekrut 1% disabilitas dari total jumlah karyawan mereka. Namun demikian, pengusaha masih sering kesulitan mendapatkan informasi tentang penyandang disabilitas yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

Di saat yang sama, pelaku usaha tidak tahu cara menyiapkan tempat kerja, sarana, dan prasarana yang aman dan inklusif. Sehingga, meskipun kebijakan ketenagakerjaan inklusif di Indonesia telah mengalami kemajuan, tapi hambatan masih dialami oleh pelaku usaha dan penyandang disabilitas.

“Untuk itu, peran dari Unit Layanan Disabilitas adalah mempertemukan pemerintah, organisasi penyandang disabilitas, dan pelaku usaha. Serta meningkatkan keterampilan dan pendampingan bagi pemberi kerja atau pengusaha yang menerima penyandang disabilitas,” kata Myra dalam Diskusi Ketenagakerjaan Inklusif (Ditektif) yang diselenggarakan secara daring oleh Komisi Nasional Disabilitas (KND) dan NLR Indonesia, Kamis (22/12/2022).

Infografik akses pekerja disabilitas pada dunia kerja masih terbatas. Alinea.id/Aisya Kurnia.

Berita Lainnya
×
tekid