sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Segudang ancaman di balik proyek Belt and Road Initiative

Dalam OBOR, Indonesia menawarkan proyek di empat wilayah, yakni Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Bali.

Fandy Hutari Manda Firmansyah Armidis
Fandy HutariManda Firmansyah | Armidis Jumat, 10 Mei 2019 18:21 WIB
Segudang ancaman di balik proyek Belt and Road Initiative

Jebakan utang

Terlepas dari mega proyek inisiatif Negeri Tirai Bambu, belakangan ini Indonesia tengah gencar membangun proyek infrastruktur skala besar. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal meyakini, inisiatif OBOR akan membantu investasi pembangunan infrastruktur di tanah air.

Namun, ia menyarankan pemerintah Indonesia agar berhati-hati terhadap kerja sama yang sudah disepakati. Sebab, banyak kekhawatiran yang harus diantisipasi. Ia mengingatkan dampak negatif bagi negara-negara yang sempat menjalin kerja sama dengan China.

"Perlu pemantauan kesepakatan kerja sama teknis. Pemantauan untuk memastikan manfaat yang didapat, bukan hanya fisik infrastruktur yang dibangun," ujar Faisal saat dihubungi, Jumat (10/5).

Menurut Faisal, proyek yang dibawa ke dalam negeri harus memberikan efek domino terhadap perekonomian nasional. Kerja sama harus memastikan pembukaan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat.

Bukan hanya itu, lanjut Faisal, meski pembiayaan ditalangi lewat pinjaman dari China, kerja sama ini mesti memperkuat keterlibatan pelaku usaha lokal dan nasional.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (keempat kanan) memimpin delegasi Indonesia menemui Presiden China Xi Jinping (keempat kiri) dan jajaran pejabat pemerintah setempat di Balai Agung Rakyat, Beijing, Kamis (25/4). /Antara Foto.

Sementara itu, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih mengatakan, Indonesia harus belajar dari pengalaman Malaysia dan Sri Lanka. Negara-negara ini terlilit dalam kubangan utang.

Sponsored

Pada Agustus 2018 lalu, Perdana Menteri Malaysia Mahathir bin Mohamad mengatakan, negaranya akan menghentikan proyek-proyek yang didukung dana dari China. Termasuk jalur kereta senilai US$20 miliar. Mahathir pun melakukan negosiasi ulang terhadap proyek yang dibiayai China. Termasuk menegosiasi proyek East Coast Rail Link dan Trans-Sabah Gas Pipeline. Upaya ini untuk memperkecil utang Malaysia kepada China.

Sri Lanka, kata Lana juga perlu menjadi pembelajaran. Lantaran tak sanggup bayar utang, lahan seluas 15.000 hektare terpaksa dilepas konsesi ke China selama 99 tahun. Negara yang baru-baru ini diguncang serangan bom bunuh diri itu pun kehilangan salah satu pelabuhan utamanya.

“Perlu ditinjau ulang, apakah proyek besar sangat dibutuhkan atau dapat ditunda?” kata Lana ketika dihubungi, Jumat (10/5).

Dari sejumlah kerja sama dengan China, kata Lana, umumnya tak membawa efek ganda terhadap perekonomian nasional. Lazimnya, lanjut Lana, China akan memberikan pinjaman dengan ketentuan yang menguntungkannya.

"Kalau membiayai proyek, biasanya China itu maunya paket. Mulai dari uang sampai tenaga kerja," kata dia.

China menginisiasi proyek Belt and Road Initiative pada 2013.

Lebih lanjut, Lana mengingatkan, kondisi utang Indonesia juga punya risiko gagal bayar. Konsekuensi paling mengkhawatirkan adalah aset infrastruktur yang dibiayai skema utang itu memungkinkan China mengkonversi utang menjadi pemilik modal.

Lana menuturkan, daya tawar Indonesia dalam perjanjian kerja sama sangat kuat. Maka, Indonesia tak perlu alergi untuk meninjau ulang perjanjian kerja sama ini.

"Yang perlu kan China. Semestinya kita punya posisi tawar yang kuat. Kita sebenarnya tidak punya kepentingan itu," kata Lana.

Berita Lainnya
×
tekid