sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Segudang ancaman di balik proyek Belt and Road Initiative

Dalam OBOR, Indonesia menawarkan proyek di empat wilayah, yakni Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Bali.

Fandy Hutari Manda Firmansyah Armidis
Fandy HutariManda Firmansyah | Armidis Jumat, 10 Mei 2019 18:21 WIB
Segudang ancaman di balik proyek Belt and Road Initiative

Presiden China Xi Jinping mempromosikan One Belt, One Road (OBOR)—kini Belt and Road Initiative (BRI)—dengan tujuan meningkatkan dan memperbaiki jalur perdagangan dan ekonomi antarnegara di Asia dan sekitarnya pada 2013.

Kemudian, pada 25 hingga 28 April 2019, 37 negara termasuk Indonesia berkumpul dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) One Belt, One Road Forum kedua di Beijing, China.

Saat itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla hadir bersama beberapa menteri Kabinet Kerja, antara lain Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Luas Negeri Retno L.P. Marsudi, serta Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir.

China pun menawarkan keuntungan ekonomi dalam visi OBOR, seperti kenaikan pendapatan pajak dan penyerapan tenaga kerja. Indonesia pun terpikat dengan perbaikan ekonomi, bila terlibat di dalamnya.

Inisiatif Satu Sabuk, Satu Jalan ini memiliki fokus keterhubungan dan kerja sama antara negara-negara Eurasia, terutama China. OBOR berbasis daratan dan jalur sutra maritim.

Dalam tiga tahun belakangan, fokus utamanya adalah investasi infrastruktur, material konstruksi, kereta api, jalan raya, mobil, real estate, jaringan listrik, besi, dan baja.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menuturkan, kerja sama Indonesia dengan China dalam OBOR tak menggunakan skema antarpemerintah, tetapi model business to business.

Ia pun menampik kekhawatiran seakan-akan Indonesia akan dijual. Luhut mengatakan, dalam OBOR, Indonesia menawarkan proyek di empat wilayah, yakni Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Bali.

Indonesia sudah meneken 23 nota kesepahaman antara pebisnis Indonesia dan China dalam KTT One Belt, One Road Forum kedua di Beijing, China pada Jumat (26/4). Dari 23 proyek itu, nilai investasi 14 nota kesepahaman senial US$14,2. Sedangkan total proyek yang ditawarkan sebanyak 28, dengan nilai mencapai US$91 miliar, atau setara Rp1.288 triliun.

Jalur sutra modern

Skema one belt, one road (OBOR). /facebook.com/oboronebeltoneroad

Melalui inisiatif OBOR, Presiden China Xi Jinping percaya, ia bisa mengulang kisah historis dengan menciptakan model jalur sutra abad ke-21 ini. Di dalam buku The Silk Road: The History of Legacy of the Trade Routes that Connected Europe and Asia (2017) karya Charles River Editors dijelaskan, istilah jalur sutra pertama kali diperkenalkan ahli geografi Jerman Ferdinand von Richofen pada abad ke-19. River Editors menulis, rute jalur sutra maritim melintasi pula kepulauan Nusantara.

D.H. Burger dalam bukunya Sedjarah Ekonomis-Sosiologis Indonesia (1957) menulis, para saudagar kerap melintasi rute jalur sutra maritim, yang secara garis besar terkoneksi antara China dengan India, melalui daerah-daerah di Nusantara, bahkan hingga Eropa.

Inisiatif One Belt, One Road atau OBOR disinggung dalam buku The New Silk Road: Present and Future World (2018) karya Peter Frankopan. Frankopan memaparkan, kebijakan OBOR mewakili koneksi darat China terhadap negara tetangga dan sekitarnya, serta jalur laut maritim yang menghubungkan Samudera Hindia, Teluk Benggala dan Persia, serta Laut Merah.

Frankopan menulis, China sudah mendirikan lembaga keuangan berorientasi pembangunan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur jalur ekonomi sutra dan jalur sutra maritim.

“Inisiatif One Belt, One Road mencakup Afrika, Eropa, Artik, dunia, dan bahkan luar angkasa. Semua dapat mencakup apa saja dan segalanya, tetapi sekali lagi, itu juga terjadi dengan jalur sutra di masa lalu, di mana peristiwa yang terjadi di satu bagian dunia terkadang terkait langsung dengan konsekuensi di bagian lain. Salah satu daya tarik jalur sutra sebagai tujuan utama untuk kerja sama yang lebih erat adalah kelenturan pesan kembalinya ke masa lalu,” tulis Frankopan.

Proyek jalur kereta berkecepatan tinggi di seluruh Asia Tenggara merupakan salah satu usulan dan investasi unggul yang ditawarkan. Termasuk di dalamnya, East Coast Rail Link sepanjang 688 kilometer, yang menghubungkan pantai timur dan barat Malaysia dan pelabuhan utama Semenanjung Malaya.

“Lalu ada jalur baru yang akan menjangkau Laos, senilai US$5,8 miliar, yang konon mampu mengubah negara terkurung daratan tersebut menjadi ‘terhubung-darat’. Pinjaman jutaan dollar untuk jalan raya, jembatan, pembangkit listrik, dan pelabuhan laut telah disetujui Bangladesh, Kamboja, Myanmar, dan Sri Lanka, dan juga proyek-proyek besar di Indonesia, Vietnam, Filipina, dan Thailand yang sedang berlangsung,” tulis Peter Frankopan.

Arus barang China

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad meminta pemerintah untuk mewaspadai berbagai tawaran investasi, terkait proyek OBOR.

Tauhid menyarankan pemerintah meninjau ulang tujuan investasi, apakah investasi tersebut sekadar bisnis ke bisnis atau ada tujuan lain di luar itu. Sebab, kata dia, investasi OBOR tidak menyangkut pengaruh peran negara alias bisnis ke bisnis.

Ia memberikan catatan pengalaman investasi China di masa lalu. Pada 15 Juni 2004, Indonesia sepakat bergabung dalam ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2004 tentang Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerja Sama Ekonomi Menyeluruh antara Negara-Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat China.

Melalui perjanjian tersebut, negara-negara ASEAN dan China membuka kawasan perdagangan bebas, dengan mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang, baik tarif maupun nontarif.

Selain itu, disepakati pula peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, serta peningkatan aspek kerja sama ekonomi untuk mendongkrak perekonomian negara anggota ACFTA.

"Dulu ACFTA, kita tidak menyangka barang-barang China masuk ke Indonesia jauh lebih besar. Elektronik, pakaian, tekstil, dan lain sebagainya. Itu gara-gara satu perjanjian ACFTA saja. Memang dibuka ekspor ke sana (China), tapi timbal baliknya apa? timbal baliknya kita juga menerima barang mereka," tutur Tauhid saat dihubungi, Jumat (10/5).

Tauhid juga mewanti-wanti pemerintah menyoal proyek infrastruktur, yang besar kemungkinan bertujuan membuka keran masuknya barang China ke Indonesia.

"Jangan sampai dalam rangka memperhalus saja, dalam tanda kutip, pasar kita dikuasai oleh mereka," kata Tauhid.

Di sisi lain, Tauhid juga mengimbau semua kalangan untuk meninjau dan mengawasi proyek OBOR. Tauhid mengatakan, bila kesediaan pengguna untuk mengeluarkan imbalan atas jasa yang diperolehnya jauh dari kelayakan bisnis, sebaiknya dihindari. Meski itu proyek infrastruktur.

"Tidak semua proyek infrastruktur menguntungkan, harus dipertimbangkan. Yang menguntungkan contohnya jalan tol. Listrik, bendungan, dan beberapa yang paket itu (One Belt, One Road), mohon dicermati lagi," tutur Tauhid.

Selain itu, Tauhid menuturkan, jika investor China masuk ke ranah infrastruktur potensi risiko sangat tinggi. Bila Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ikut bergabung dan tak mampu membayar, maka kegagalan BUMN jadi tanggung jawab pemerintah.

"Nah, ini harus hati-hati. Kalau bisnis ke bisnis, tentunya ada risiko gagal, yang berpengaruh pada persoalan nilai tukar, dan macam-macam lah," ucap Tauhid.

Proyek PLTU

Wakil Presiden Jusuf Kalla (kiri) bertemu Presiden China Xi Jinping di Balai Agung Rakyat, Beijing, Kamis (25/4). /Antara Foto.

Salah satu proyek yang ditawarkan pemerintah adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya menegaskan, proyek PLTU batu bara dalam prakarsa OBOR menggambarkan korupsi politik batu bara.

"Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa bisnis batu bara, baik pertambangan maupun PLTU batu bara, sarat dengan kepentingan elite politik dan korup,” tutur Tata saat dihubungi, Jumat (10/5).

Pemerintah Indonesia menawarkan proyek listrik energi kotor batu bara dalam kerangka OBOR. Proyek itu, antara lain PLTU batu bara berkapasitas 1.000 megawatt kawasan industri dan pelabuhan internasional di Tanah Kuning, Mangkupadi, Kalimantan Utara; PLTU batu bara berkapasitas 2 x 350 megawatt di Celukan Bawang, Bali; serta PLTU Mulut Tambang Kalselteng 3 berkapasitas 2 x 100 megawatt dan Kalselteng 4 berkapasitas 2 x 100 megawatt di Kalimantan Tengah.

Menurutnya, proyek PLTU bertujuan meningkatkan ketergantungan pemerintah terhadap penggunaan batu bara. Padahal, tren dunia sudah berubah drastis karena memanfaatkan energi terbarukan.

Perusahaan Indonesia yang terlibat proyek PLTU batu bara ialah PT Toba Bara Sejahtra bekerja sama dengan Powerchina International Group dan Lumbung Group Co yang bekerja sama dengan Engineering Department of China National Electric.

PT Toba Bara Sejahtra digawangi Presiden Komisaris Djusman Syafi’I Djamal dan Direktur Pandu Patria Sjahrir, yang merupakan orang kepercayaan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.

Terkait proyek PLTU, Tata mengingatkan kembali kasus suap PLTU batu bara Riau-1, yang menyeret Menteri Sosial Idrus Marham, Direktur Utama Pembangkit Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Eni Maulani Saragih, dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo.

Selain itu, kata Tata, elite politik juga menunggangi kepentingan umum dengan kepentingan politik atau komersil kelompok tertentu, yang mendominasi industri atau sektor yang seharusnya diregulasi.

"Regulatory capture telah menyebabkan tumbuh pesatnya bisnis pertambangan batu bara dan diabaikannya kerusakan lingkungan, serta dampak sosial dari tambang tersebut," ujar Tata.

Terkait isu lingkungan, Tata mengatakan, dampak negatif PLTU batu bara adalah pencemaran lingkungan.

“Banyak lubang terlantar dengan tingkat keasaman dan kontanimasi logam yang tinggi, air dari sungai berubah menjadi keruh dan tercemar, serta tidak dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, bahkan untuk air minum hewan ternak,” kata Tata.

Hal senada diungkapkan Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yuyun Harmono. Yuyun menilai, pemerintah munafik dengan menyodorkan investasi PLTU batu bara dalam kerangka OBOR. Syarat yang dikemukakan pemerintah agar menggunakan teknologi ramah lingkungan dalam PLTU batu bara, menurut Yuyun, tidak sesuai dengan yang dilakukan di lapangan.

“Pertanyaannya adalah teknologi ramah lingkungan tidak mengurangi emisi. Dia membuat PLTU lebih efisien, tetapi bukan berarti mengurangi emisi,” kata Yuyun saat dihubungi, Jumat (10/5).

Ironisnya, negara-negara lain, termasuk China, sudah meninggalkan batu bara sebagai sumber energi. Yuyun menyarankan pemerintah untuk membangun sumber energi lain yang lebih ramah lingkungan.

“Kepentingan politiknya sebenarnya jadi pertanyaan ke pemerintah Indonesia. Kenapa kok kita masih mengajukan investasi ke proyek OBOR ini PLTU batu bara? Bisa jadi, ini memfasilitasi kepentingan pebisnis-pebisnis tambang batu bara,” ucapnya.

Jebakan utang

Terlepas dari mega proyek inisiatif Negeri Tirai Bambu, belakangan ini Indonesia tengah gencar membangun proyek infrastruktur skala besar. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal meyakini, inisiatif OBOR akan membantu investasi pembangunan infrastruktur di tanah air.

Namun, ia menyarankan pemerintah Indonesia agar berhati-hati terhadap kerja sama yang sudah disepakati. Sebab, banyak kekhawatiran yang harus diantisipasi. Ia mengingatkan dampak negatif bagi negara-negara yang sempat menjalin kerja sama dengan China.

"Perlu pemantauan kesepakatan kerja sama teknis. Pemantauan untuk memastikan manfaat yang didapat, bukan hanya fisik infrastruktur yang dibangun," ujar Faisal saat dihubungi, Jumat (10/5).

Menurut Faisal, proyek yang dibawa ke dalam negeri harus memberikan efek domino terhadap perekonomian nasional. Kerja sama harus memastikan pembukaan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat.

Bukan hanya itu, lanjut Faisal, meski pembiayaan ditalangi lewat pinjaman dari China, kerja sama ini mesti memperkuat keterlibatan pelaku usaha lokal dan nasional.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (keempat kanan) memimpin delegasi Indonesia menemui Presiden China Xi Jinping (keempat kiri) dan jajaran pejabat pemerintah setempat di Balai Agung Rakyat, Beijing, Kamis (25/4). /Antara Foto.

Sementara itu, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih mengatakan, Indonesia harus belajar dari pengalaman Malaysia dan Sri Lanka. Negara-negara ini terlilit dalam kubangan utang.

Pada Agustus 2018 lalu, Perdana Menteri Malaysia Mahathir bin Mohamad mengatakan, negaranya akan menghentikan proyek-proyek yang didukung dana dari China. Termasuk jalur kereta senilai US$20 miliar. Mahathir pun melakukan negosiasi ulang terhadap proyek yang dibiayai China. Termasuk menegosiasi proyek East Coast Rail Link dan Trans-Sabah Gas Pipeline. Upaya ini untuk memperkecil utang Malaysia kepada China.

Sri Lanka, kata Lana juga perlu menjadi pembelajaran. Lantaran tak sanggup bayar utang, lahan seluas 15.000 hektare terpaksa dilepas konsesi ke China selama 99 tahun. Negara yang baru-baru ini diguncang serangan bom bunuh diri itu pun kehilangan salah satu pelabuhan utamanya.

“Perlu ditinjau ulang, apakah proyek besar sangat dibutuhkan atau dapat ditunda?” kata Lana ketika dihubungi, Jumat (10/5).

Dari sejumlah kerja sama dengan China, kata Lana, umumnya tak membawa efek ganda terhadap perekonomian nasional. Lazimnya, lanjut Lana, China akan memberikan pinjaman dengan ketentuan yang menguntungkannya.

"Kalau membiayai proyek, biasanya China itu maunya paket. Mulai dari uang sampai tenaga kerja," kata dia.

China menginisiasi proyek Belt and Road Initiative pada 2013.

Lebih lanjut, Lana mengingatkan, kondisi utang Indonesia juga punya risiko gagal bayar. Konsekuensi paling mengkhawatirkan adalah aset infrastruktur yang dibiayai skema utang itu memungkinkan China mengkonversi utang menjadi pemilik modal.

Lana menuturkan, daya tawar Indonesia dalam perjanjian kerja sama sangat kuat. Maka, Indonesia tak perlu alergi untuk meninjau ulang perjanjian kerja sama ini.

"Yang perlu kan China. Semestinya kita punya posisi tawar yang kuat. Kita sebenarnya tidak punya kepentingan itu," kata Lana.

Berita Lainnya
×
tekid