sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sertifikasi halal BPJPH Kemenag dan segudang problemnya

Pada 17 Oktober 2019, urusan sertifikasi halal ditangani BPJPH Kemenag. Namun, masih ada banyak masalah.

Ardiansyah Fadli
Ardiansyah Fadli Kamis, 24 Okt 2019 05:08 WIB
Sertifikasi halal BPJPH Kemenag dan segudang problemnya

Mulai 17 Oktober 2019, pengurusan sertifikasi halal beralih dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke Kementerian Agama (Kemenag). Kewenangan itu ditangani Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), menggantikan kewenangan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI.

Pemberlakuan sertifikasi halal itu akan berlangsung pada 17 Oktober 2019 hingga 17 Oktober 2024, baru untuk produk makanan dan minuman. Hal itu sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).

Namun, nyatanya belum semua kantor wilayah (kanwil) Kemenag siap memberikan sertifikat halal.

Expert sistem jaminan halal dan thayyib yang konsentrasi pada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Elvina A Rahayu pernah mendaftarkan produk hasil UMKM temannya pada 18 Oktober 2019 ke kanwil Kemenag di daerah Jawa.

Sesampainya di lokasi, ia diberitahu petugas bahwa pendaftaran sertifikasi halal belum bisa dilakukan. Bahkan, petugas tersebut mengaku belum ada petunjuk teknisnya.

"Mungkin penunjukan organisasinya juga belum terbentuk karena yang ada pada saat itu bukan BPJPH-nya, tapi mungkin bagian bimas (bimbingan masyarakat) Islamnya," kata Elvina saat dihubungi Alinea.id, Rabu (23/10).

Elvina lalu sempat meninggalkan nomor telepon kepada petugas untuk mendapatkan kabar dibukanya pendaftaran sertifikasi halal oleh BPJPH.

"Tapi sampai sekarang saya belum dikabari," katanya.

Sponsored

Namun, ketika dikonfirmasi, Kepala BPJPH Sukoso membantah ketidaksiapan BPJPH di daerah. Menurutnya, BPJPH sudah ada di seluruh daerah, melalui kanwil Kemenag setempat.

Sukoso mengklaim, hingga kini sudah ada 128 kunjungan ke BPJPH. "Yang paling banyak di daerah Jakarta, di daerah atau kabupaten provinsi ada yang lima, dua, atau satu kunjungan," ujarnya saat dihubungi, Rabu (23/10).

Meski begitu, sebanyak 128 kunjungan itu tak semuanya mengajukan sertifikasi halal, tetapi ada yang konsultasi. Menurut dia, pengajuan sertifikasi halal itu dikeluarkan dalam 65 hari kerja.

Belum siap?

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional KH. Muhyiddin Junaidi (kedua kanan) menyampaikan keterangan persnya kepada wartawan usai penyelenggaraan konferensi internasional MUI tentang wisata halal (International Halal Tourism Conference) di Mataram, NTB, Jumat (11/10). /Antara Foto.

Di sisi lain, Wakil Direktur LPPOM MUI Muti Arintawati mengatakan, kantor pelayanan BPJPH masih terpusat di Jakarta. Hal itu membuat pelaku UMKM di daerah merasa kesulitan untuk mendapatkan sertifikasi halal.

"Saat ini kami dapat laporan dari LPPOM provinsi bahwa mereka mengeluh karena sudah ke kanwil, tapi tidak mendapatkan jawaban apa-apa," tuturnya saat dihubungi, Rabu (23/10).

Ia mengingatkan, BPJPH harus segera mempersiapkan infrastrukturnya agar bisa memberikan pelayanan pendaftaran sertifikasi halal untuk industri, terutama UMKM.

Ia mengaku, banyak sekali mendapatkan pertanyaan dari pelaku industri, terkait pendaftaran sertifikasi halal yang tak lagi dilakukan LPPOM MUI melalui layanan sertifikasi daring (certification online service system/cerol).

Muti menuturkan, beberapa pelaku industri merasa kesulitan untuk mendapatkan sertifikasi halal karena BPJPH masih memberikan pelayanan secara manual.

"Sementara kalau dari LPPOM, kami punya cerol SS23000, itu online service. Jadi orang tidak perlu datang, dan bisa di manapun registrasinya," ujar Muti. "Ini hanya soal ketidaksiapan BPJPH, tapi kalau nanti sudah tertata akan bisa jalan dengan baik.”

Sukoso pun tak membantah kalau sistem pelayanan sertifikasi halal masih manual. Akan tetapi, ia beralasan, kondisi itu akibat dari banyaknya sistem yang harus disinkronisasi antarpihak.

Ia mencontohkan, soal tarif pembayaran sertifikasi halal yang nominalnya masih menunggu keputusan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

"Pembayarannya kan yang atur Kemenkeu. Nanti bayarnya lewat bank yang ditunjuk," katanya. "Kalau dari kita sudah selesai, tapi kan harus menunggu tanda tangannya Menteri Keuangan dulu."

Lebih lanjut, Muti mengatakan, BPJPH seharusnya tak lebih sebagai lembaga administrasi, yang tidak seharusnya masuk mengurus hal-hal substantif yang sudah menjadi kewenangan lembaga lain, seperti MUI. Sebab, selain merupakan lembaga baru, BPJPH juga memiliki sumber daya manusia yang terbatas.

"Saya khawatir nanti malah mandek karena seperti ada sumbatan di sana," tuturnya.

Muti meminta pemerintah bisa melihat kondisi BPJPH secara langsung. Menurut Muti, tujuannya agar pemerintah bisa memberi solusi, sehingga BPJPH tak jadi hambatan pelaku industri untuk mendapatkan sertifikasi halal.

"Karena kalau sampai terhambat sebetulnya kan yang merugi negara juga. Kalau industri sertifikat halalnya terganggu, jadi akan lama, apalagi kalau untuk ekspor," ucapnya.

Mengatasi masalah

BPJPH Kemenag mengambil wewenang LPPOM MUI untuk mengurus sertifikasi halal. /facebook.com/bpjph.bpjph.

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah mengaku sudah mendatangi Kantor BPJPH di Kemenag, Jakarta. Menurut dia, memang sudah ada sistem pelayanan terpadu satu pintu. Namun, sayangnya BPJPH belum menyediakan formulir pengajuan sertifikasi halal.

“Petugasnya sedikit, formulirnya tidak ada. Mereka juga tidak paham, sehingga yang mendaftar hampir semuanya takbisa dilakukan. Jadi, belum siap sama sekali,” kata Ikhsan saat dihubungi, Rabu (23/10).

Menurutnya, pelayanan sertifikasi halal justru akan stagnan sama sekali karena ketidaksiapan BPJPH sebagai lembaga berwenang. Ikhsan khawatir, akan terjadi penumpukan dokumen karena pelayanan seperti itu. Ujung-ujungnya, malah akan mengakibatkan adanya “pasar gelap”.

"Siapa yang mau membayar lebih, dia akan memperoleh sertifikat halal secara cepat," ucapnya.

Sebaiknya, kata Ikhsan, BPJPH mempersiapkan terlebih dahulu secara matang infrastruktur dan sistem yang dibutuhkan. Termasuk kesiapan Kantor BPJPH di daerah dan seluruh provinsi. Sehingga sertifikasi halal bisa dijalankan secara efisien.

"Jangan mempersulit dunia usaha, bagaimana yang ada di Papua, Aceh, Bangka Belitung, Padang, NTT, dia daftar sertifikasi halal sementara adanya baru di pusat dan itu manual," katanya.

Ikhsan mengusulkan agar pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan atau mencabut Pasal 4 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), yang dinilainya sangat mengikat. Hal itu dilakukan, sembari menunggu BPJPH mempersiapkan infrastrukturnya.

"Diganti dengan pemberian waktu 5 atau 7 tahun lagi untuk BPJPH memperbaiki, menyiapkan. Sementara untuk menunggu itu, biar tidak terjadi kekosongan, diberikan kewenangan kepada LPPOM MUI kembali," ucap Ikhsan.

Bersaing di pasar global

Keseriusan untuk membenahi masalah-masalah tadi tentu sangat penting. Sebab, menurut pengamat ekonomi syariah dari Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI, Azis Budi Setiawan, sertifikasi halal yang saat ini dikelola BPJPH Kemenag merupakan upaya agar produk Indonesia dapat berkompetisi di pasar halal global.

Menurutnya, meski menjadi negara Muslim terbesar di dunia, kontribusi produk halal Indonesia di pasar global belum dominan.

"Faktanya kita masih sebagai konsumen produk halal global dan belum berperan optimal dalam konteks produsen," kata Azis saat dihubungi, Selasa (22/10).

Kendalanya, sebut Azis, sertifikasi halal Indonesia sangat belum kuat untuk masuk pasar internasional. Azis menjelaskan, dengan pengurusan sertifikasi halal oleh pemerintah, maka pencapaian sertifikasi halal dapat dimaksimalkan secara efisien.

Hal itu, kata dia, sangat berbeda jika dikelola lembaga nonpemerintah, seperti MUI, yang kapasitasnya terbatas. "Pemerintah punya instrumen, anggaran, dan otoritas untuk memastikan itu bisa jalan," ujarnya.

Lebih lanjut, Azis mengatakan, UMKM Indonesia ada 60-an juta. Produk turunannya, kata Azis, akan menjadi puluhan atau ratusan juta lagi. Dengan jumlah tersebut, ia mengatakan, butuh kapasitas yang besar pula dalam hal pelaksanaan.

Di samping itu, Azis menuturkan, pesatnya sertifikasi halal akan berimplikasi dengan meningkatnya keuangan syariah. Perkembangan keuangan syariah, menurutnya, kerap didukung ekosistem keseluruhan di sektor lain, termasuk sertifikasi halal.

Sertifikasi halal berimplikasi terhadap daya saing di pasar halal global. Alinea.id/Oky Diaz.

"Kewajiban sertifikasi halal ini tentu akan menuntut lebih jauh proses pengelolaan perusahaan. Harus lebih sesuai syariah, termasuk sumber pendanaan mereka," katanya.

Azis pun mengungkapkan, industri keuangan syariah sudah bekerja sama dengan BPJPH dalam menangkap berbagai peluang terkait kewajiban sertifikasi halal.

"Secara umum, perbankan syariah sudah menyiapkan infrastrukturnya," katanya.

Menurutnya, pasar halal global sangat besar. Ia menyebut, dalam perspektif ekonomi sertifikasi halal tidak hanya sebatas untuk kenyamanan dan jaminan halal suatu produk. Namun, dengan memenuhi standar halal internasional, maka Indonesia dapat menikmati surplus ekonomi dari pasar halal global.

Azis mengatakan, Thailand punya perhatian yang luar biasa soal industri halal. Australia pun serius menggarap sertifikasi dan produk halal karena mereka tahu bahwa ini pasarnya besar.

"Ini kan lucu, produk kita kalah di pasar halal global, yang menikmati malah Thailand dan Australia," katanya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid