sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

SPI soroti penurunan penghasilan petani sayur di tengah peningkatan NTP

Terjadi penurunan pendapatan petani di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Kamis, 05 Nov 2020 10:16 WIB
SPI soroti penurunan penghasilan petani sayur di tengah peningkatan NTP

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan Nilai Tukar Petani (NTP) November 2020 secara nasional naik 0,58% dibandingkan NTP September 2020, yaitu dari 101,66 menjadi 102,25. 

Kenaikan NTP pada Oktober 2020 disebabkan oleh kenaikan indeks harga hasil produksi pertanian lebih tinggi, dibandingkan kenaikan indeks harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga maupun biaya produksi dan penambahan barang modal.

Kenaikan NTP Oktober 2020 dipengaruhi oleh naiknya NTP di tiga subsektor pertanian, yaitu NTP subsektor Tanaman Hortikultura sebesar 2,10%, subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat sebesar 1,72%, dan subsektor Perikanan sebesar 0,23%. 

Sementara itu, NTP pada dua subsektor lainnya mengalami penurunan, yaitu subsektor Tanaman Pangan sebesar 0,10% dan subsektor Peternakan sebesar 0,27%.

Menanggapi itu, Sekretaris Umum (Sekum) Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) Agus Ruli Ardiansyah, memiliki beberapa catatan terkait perkembangan di masing-masing NTP subsektor.

"Meskipun NTP subsektor Tanaman Hortikultura mengalami kenaikan, tetapi nilainya masih 99,42, masih di bawah 100, nilai impas NTP. Jadi petani masih rugi," katanya dalam keterangan tertulis.

Berdasarkan laporan petani SPI dari Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, kondisi petani sayuran di sana mengalami penurunan penghasilan.

"Di sana untuk harga sayur bayam pada Oktober mengalami penurunan. Dari yang biasanya Rp25.000-Rp30.000 per gabung (50 ikat), pada Oktober turun menjadi Rp15.000 per gabung. Begitu juga harga cabai rawit, dari yang biasanya Rp30.000 per kg turun menjadi Rp15.000-Rp 20.000 per kg," ujarnya.

Sponsored

Agus Ruli menjelaskan hal ini terjadi karena rendahnya penyerapan dari pasar. 

"Akibat pandemi Covid-19, pasar tradisional di Bogor sempat tutup sementara dengan alasan penyemprotan disinfektan. Penyerapan sayuran di Jakarta juga. Tentu ini berdampak kepada petani sayuran di Bogor karena sebagian besar petani sayuran di Bogor menjual dan mengirimkan sayurannya ke Jakarta," ucapnya.

Kondisi ini harus diantisipasi pemerintah, mengingat berdasarkan data BMKG, Indonesia akan mengalami fenomena La Nina, periode musim hujan dengan intensitas yang tinggi yang dimulai pada Oktober 2020 hingga April 2021 di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Fenomena La Nina akan menyebabkan curah hujan yang sangat tinggi bahkan dapat memicu banjir. Hal ini akan memperbesar risiko kegagalan panen, khususnya bagi petani padi. Mengingat padi adalah tanaman yang tidak boleh kelebihan air. 

"Di samping itu serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) akan semakin meningkat karena kelembaban tinggi," katanya.

Risiko kegagalan panen cukup tinggi karena di beberapa wilayah tanaman padi banyak yang terendam banjir, dan karena curah hujan yang tinggi harga gabah anjlok di bawah HPP. 

"Ini akan merugikan petani," tegasnya.

Selain itu, berdasarkan data BPS selama Oktober 2020, rata-rata harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani Rp4.815 per kg atau turun 1,56% dan di tingkat penggilingan Rp4.928 per kg atau turun 1,34% dibandingkan harga gabah kualitas yang sama pada bulan sebelumnya. 

"Kalau La Nina terjadi tentu harga semakin anjlok," lanjutnya.

Untuk itu, pemerintah dapat mengambil beberapa langkah antisipasi untuk hal tersebut seperti penyerapan hasil panen dengan harga yang layak, hingga bantuan kegagalan panen.

Berita Lainnya
×
tekid