sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sri Mulyani: APBN untuk climate change tak memadai, hanya 4,1% per tahun

Dalam Paris Agreement, Indonesia menargetkan penurunan emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Jumat, 11 Jun 2021 14:44 WIB
Sri Mulyani: APBN untuk climate change tak memadai, hanya 4,1% per tahun

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, estimasi kebutuhan pendanaan untuk menanggulangi perubahan iklim mencapai Rp3.461 triliun. Hal itu mengacu pada Second Biennale Update Report (BUR-2) 2018.

“Ini artinya setiap tahun paling tidak butuh resources sebesar Rp266,2 triliun per tahun. Angka yang luar biasa besar, ini angka bahkan lebih besar dari program Pemulihan Ekonomi Nasional,” katanya dalam Climate Change Challenge: Preparing for Indonesia’s Green and Sustainable Future, Jumat (11/6).

Estimasi sebesar itu untuk mencapai Nationally Determined Contribution (NDC) sesuai Paris Agreement yang diratifikasi Indonesia pada 2016. 

Dalam Paris Agreement itu Indonesia menargetkan penurunan emisi sebesar 29% dari business as usual (BAU) dengan upaya sendiri dan meningkat hingga 41% dengan bantuan internasional sampai 2030.

Bendahara negara itu menjelaskan, di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah dialokasikan anggaran sebesar 4,1% untuk program yang terkait perubahan iklim. 

Akan tetapi, jumlah ini tidak memadai dibandingkan kebutuhan yang semestinya karena di dalam APBN alokasi anggaran baru sekitar Rp86,7 triliun per tahun.

Namun, dia bilang, penanganan perubahan iklim tidak harus menggunakan APBN, tetapi dapat dilakukan secara gotong royong dengan keterlibatan semua pihak, seperti swasta, filantropi, dan masyarakat melalui waste management.

"Bagaimana kebiasaan mereka di dalam menggunakan energi air bersih dan lain-lain termasuk membuang sampah dan mengonsumsi barang-barang yang lebih ramah lingkungan," ujarnya.

Sponsored

Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kemenkeu, Febrio Nathan Kacaribu mengatakan ongkos untuk mencapai NDC meningkat setelah adanya Peta Jalan NDC.

“Dengan adanya Peta Jalan NDC, kebutuhan pendanaan itu menjadi relatif lebih tinggi. Ini di-update,” ujarnya.

Dia mengungkapkan, kebutuhan pendanaan ditaksir mencapai Rp3.779 triliun jika menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dan sekitar Rp3.776 triliun jika menggunakan Refuse Derived Fuel (RDF).

Dalam Peta Jalan NDC, kebutuhan pendanaan kehutanan dan lahan menjadi Rp8,48 triliun per tahun dengan akumulasi Rp93,28 triliun sepanjang 2020 hingga 2030.

Adapun, kebutuhan sektor pertanian menjadi Rp367 miliar per tahun dengan akumulasi sebesar Rp4,04 triliun. Sektor energi dan transportasi membutuhkan pendanaan Rp318,18 triliun dengan akumulasi Rp3.600 triliun.

Febrio pun menuturkan, sekitar 88,1% kontribusi APBN dalam upaya menanggulangi perubahan iklim merupakan belanja untuk infrastruktur hijau atau green infrastructure.

Selain itu, sebesar 11,9% untuk perumusan kebijakan dan regulasi terkait perubahan iklim, pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV), pemberdayaan masyarakat, dan program peningkatan kapasitas kementerian/lembaga maupun stakeholders.

“Selama lima tahun terakhir, anggaran perubahan iklim dalam APBN paling besar digunakan untuk mendanai sektor energi dan transportasi Rp221,6 triliun (81,73%). Sekitar Rp49,5 triliun (18,27%) digunakan untuk mendanai sektor lainnya yaitu pertanian, kehutanan, dan lahan industri dan penggunaan produk atau IPPU, serta limbah,” ucap Februari.

 

Berita Lainnya
×
tekid