sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Suku bunga BI nyaris berada di puncak

Posisi suku bunga acuan 6% disebut nyaris berada di puncak titik kulminasi dan masih ada peluang untuk kembali dinaikkan.

Eka Setiyaningsih
Eka Setiyaningsih Rabu, 30 Jan 2019 19:29 WIB
Suku bunga BI nyaris berada di puncak

Posisi suku bunga acuan 6% disebut nyaris berada di puncak titik kulminasi dan masih ada peluang untuk kembali dinaikkan.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyatakan kenaikan suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI7DRRR) hampir mencapai puncaknya. Ini artinya, ruang pengetatan moneter akan semakin rendah.

"Jadi suku bunga acuan kami hampir ada di puncak. Karena tahun kemarin, kami sudah ambil risiko kenaikan suku bunga acuan," kata Perry dalam acara Mandiri Investment Forum (MIF) 2019 di Hotel Fairmont Jakarta, Rabu (30/1).

Sebagai informasi, BI telah menaikkan suku bunga acuan 175 basis poin (bps) sepanjang 2018. Sejak Mei hingga Desember 2018, bunga acuan naik dari level 4,5% menjadi 6%. 

Perry menyebut, kebijakan pengetatan moneter tersebut merupakan respons untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat Federal Reserve (The Fed). Hal ini untuk menjaga daya tarik investasi di Tanah Air sehingga arus modal asing dapat tetap masuk. 

"Arah kebijakan moneter tahun kemarin pre-emptive dan ahead-the curve dan akan terus berlanjut. Artinya ketika menaikan suku bunga acuan sudah memperhitungkan kenaikan Fed Fund Rate di 2018 dan ini di tahun 2019," katanya.

Sepanjang 2018, The Fed memang menaikkan suku bunga acuan sebanyak 4 kali. Kebijakan pengetatan ini akan berlanjut pada 2019 yang diprediksi hanya akan sebanyak 2 kali. 

Perry mengaku, kebijakan kenaikan suku bunga acuan sepanjang tahun lalu dikeluhkan perbankan lantaran likuditas kian ketat. Meski demikian, Perry menilai likuiditas perbankan tetap dalam kondisi yang sehat, sebab kebijakan Bank Sentral tersebut juga dibarengi dengan kebijakan lainnya. 

Sponsored

"Pokoknya likuiditas perbankan cukup dan tahun lalu kita sudah melonggarkan dengan kebijakan GWM (Giro Wajib Minimum) dan sebagainya. Kita juga terus berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)," urainya.

Tantangan 2019

Sementara itu, Perry Warjiyo menilai gejolak ekonomi dunia akan terus berlanjut pada 2019, meskipun tekanannya tak sebesar tahun lalu. Namun demikian, hal itu akan berdampak bagi pertumbuhan suatu negara.

Imbas gejolak ekonomi global pun mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi AS menjadi 2,3% pada 2019 dari tahun sebelumnya 2,9%, bahkan diperkirakan mencapai 2,0% pada 2020. 

"Ekonomi China juga diperkirakan mengalami perlambatan dari 6,6% ke 6,4% pada 2019, dan di 2020 mencapai 6,3%," katanya.

Meski demikian, Perry yakin, ekonomi Indonesia tetap mampu tumbuh pada rentang 5%. Dia memprediksi, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,0%-5,4% pada 2019. Pertumbuhan ekonomi itu lebih optimistis dari proyeksi di 2018 yang sebesar 5,1%-5,2%.

Menurut Perry, ekonomi nasional masih akan tetap ditopang pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Hal itu tercermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga di 2018 diperkirakan sebesar 5,2%, menandakan daya beli domestik masih baik. "Dengan ini melihat permintaan domestik itu cukup baik," imbuhnya.

Selain itu, investasi sepanjang tahun ini juga diperkirakan tumbuh 6,5%-6,9%. Meski diakuinya pertumbuhan investasi harus lebih tinggi untuk semakin mendorong pertumbuhan ekonomi. 

Perry memastikaan, BI bersama pemerintah dan OJK akan terus berkoordinasi untuk menjaga stabilitas perekonomian Indonesia. Oleh sebab itu, investor tak perlu nengkhawatir kondisi perekonomian domestik. 

"Pertumbuhan yang meningkat dan stabilitas yang akan tetap utuh. Selain itu, juga sinergi BI, Pemerintah dan OJK, kami sangat kuat dengan sinergi kami untuk memastikan proses ekonomi," pungkasnya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid