sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Target pajak Rp1.781 triliun tahun depan, ambisius?

Pemerintah menargetkan penerimaan pajak naik 10,07% dari target tahun ini menjadi Rp1.781 triliun pada APBN 2019.

Cantika Adinda Putri Noveria
Cantika Adinda Putri Noveria Jumat, 24 Agst 2018 03:23 WIB
Target pajak Rp1.781 triliun tahun depan, ambisius?

Pemerintah menargetkan penerimaan pajak naik 10,07% dari target tahun ini menjadi Rp1.781 triliun pada APBN 2019

Kementerian Keuangan mencatat, target penerimaan pajak tahun ini senilai Rp1.681,1 triliun. Target pertumbuhan 10% itu kemudian menuai pro dan kontra.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (Cita) Yustinus Prastowo menilai target tersebut terbilang realistis. Sebab, pada September 2018 mendatang, pemerintah akan menerapkan sistem Automatic Exchange of Information (AEoI). 

"Itu pasti akurat karena informasi perbankan. Tahun depan itu sudah enggak perlu lagi nyari-nyari lagi, datang sendiri data itu. Baik dari dalam dan luar negeri," kata Yustinus saat ditemui di Jakarta, Kamis (23/8). 

Menurut dia, meskipun data tersebut juga bisa diakses oleh warga negara di luar Indonesia, pemerintah dinilai dapat mengambil keuntungan lebih banyak. Misalnya, banyak warga negara Indonesia yang menetap di Singapura dan Hong Kong.

Sebaliknya, penduduk kedua negara itu yang tinggal di Indonesia hanya sedikit. Catatannya, pemerintah perlu mengembangkan sistem dengan baik.

"Challenge-nya tinggal memanfaatkan itu. Tentu harus akuntabel karena ini sangat sensitif. Kalau sampai ada penyalahgunaan, bakal ada distrust," kata dia.

Untuk itu, sambungnya, proyeksi pencapaian pajak pada 2019 bisa mencapai 94% seiring pertumbuhan ekonomi nasional.

Sponsored

Pada kesempatan terpisah, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira menyebut target kenaikan pajak tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi. Perumbuhan pajak 10% dinilai terlalu tinggi. 

"Takutnya nanti malah memberatkan dunia usaha. Karena peranan PPN (pajak pertambahan nilai) dan PPh (pajak penghasilan) sangat besar, terutama dari industri manufaktur," ujar Bhima belum lama ini.

Menurut Bhima, pemerintah akan menargetkan penerimaan pajak dari sektor minyak dan gas. Sebab, asumsi harga minyak dalam RAPBN 2019 sebesar US$70 per barel, jauh lebih tinggi dari asumsi 2018 sebesar US$48 per barel. 

Namun demikian, Bhima menilai, kontribusi migas ke pajak hanya 31%. Sehingga, kontribusinya diperkirakan lebih banyak dari non migas. 

"Kalau tahun depan industri tidak tumbuh tinggi, maka penerimaan pajaknya berpotensi shortfall," jelas Bhima. 

Bhima pun menilai efektivitas data melalui AEoI yang rencananya diterapkan tahun ini baru akan berdampak pada penerimaan pajak pada 3-4 tahun mendatang. Sebab, untuk menjalankan keterbukaan infromasi, melakukan penyidikan, dan membawa kembali potensi pajak ke kas negara, butuh waktu yang tidak sebentar.

Presiden Joko Widodo saat membacakan nota keuangan APBN 2019 di Gedung DPR beberapa waktu lalu menyebut tax ratio tahun 2019 dapat mencapai 12,1% terhadap produk domestik bruto (PDB), naik dari perkiraan di tahun 2018 sebesar 11,6%. 

Insentif perpajakan juga akan diberikan melalui berbagai instrumen, antara lain sektoral untuk mendukung sektor prioritas, misalnya melalui kebijakan tax holiday, tax allowance, fasilitas pembebasan bea masuk, dan subsidi pajak. 

Instrumen lainnya adalah insentif perpajakan kawasan. Misalnya, Kawasan Ekonomi Khusus, kawasan industri, dan tempat penimbunan berikat. Kemudian, insentif perpajakan khusus untuk mendorong ekspor, antara lain melalui Kemudahan Impor Tujuan Ekspor, penugasan khusus ekspor, dan tempat penimbunan berikat.

Berita Lainnya
×
tekid