sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Tarif Jalan Tol Trans Jawa mencekik pengusaha jasa logistik

Tarif Jalan Tol Trans Jawa yang mahal juga ikut memengaruhi ongkos logistik.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Kamis, 07 Feb 2019 19:48 WIB
Tarif Jalan Tol Trans Jawa mencekik pengusaha jasa logistik

Mega proyek Jalan Tol Trans Jawa yang menghubungkan ujung barat ke ujung timur Pulau Jawa, akhirnya rampung pada 2018 lalu. Total investasi untuk mewujudkan proyek ini pun tak main-main. Dari data Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), total investasi untuk Jalan Tol Trans Jawa mencapai Rp67,94 triliun.

Meski memakan investasi triliunan, kehadiran jalan bebas hambatan sepanjang 1.167 kilometer ini, tak disangsikan lagi, bisa memangkas waktu tempuh perjalanan. Bila melalui jalan tol ini, Jakarta ke Surabaya bisa ditempuh hanya 9 hingga 10 jam.

Sayangnya, alternatif melintasi kota-kota di Jawa itu harus dibayar mahal. Pengguna jalan tol ini harus mengeluarkan biaya Rp660.500 untuk kendaraan golongan I, dari Jakarta ke Surabaya. Sedangkan untuk kendaraan golongan V, seperti truk dan angkutan logistik dari Jakarta ke Surabaya ditetapkan Rp1,3 juta.

Pengusaha logistik terjepit

Besarnya ongkos itu, membuat para pengusaha logistik menjerit. Wakil Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto mengibaratkan penyedia jasa logistik layaknya “di-sandwich” akibat biaya tol itu. Dia mengemukakan beberapa alasan, tentang analoginya itu.

“Pertama, dari sisi daya beli, pelanggan kami tidak mengalami kenaikan,” kata Mahendra saat dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (7/2).

Kedua, lanjut Mahendra, dari sisi tarif, harga jasa logistik tidak dapat dinaikkan seenaknya, karena sudah ada kontrak logistik. Menurut dia, selama masa kontrak, yang berwenang mengubah tarif logistik adalah bahan bakar minyak (BBM) atau upah minimun regional (UMR) yang naik.

Tarif Tol Trans Jawa dianggap terlampau mahal untuk para penyedia jasa logistik. (facebook.com/kyatmaja).

Mahendra menjelaskan, bila harga BBM naik atau turun, biasanya pengusaha logistik akan diberi plafon harga, dengan kisaran Rp500. Umpama kenaikan harga BBM hanya Rp500, maka tarif angkut logistik tak boleh naik, karena telah dipatok.

“Karena hal tersebut bukan di bawah kewenangan industri, tapi (kebijakan) pemerintah. Selebihnya, tidak ada kesempatan naik,” ujar Mahendra.

Mahendra menyebut, tarif Tol Trans Jawa yang mahal juga ikut memengaruhi ongkos logistik. Menurut dia, bila tarif tol mahal, maka profit perusahaan tergerus lagi. Akibatnya, sulit memiliki sisa saldo untuk membayar cicilan kredit.

“Biaya Tol Trans Jawa saat ini Rp1,3 juta untuk Jakarta-Surabaya. Kalau harus pulang pergi, maka menjadi Rp2,6 juta. Sementara saat ini biaya kami hanya Rp800 ribu,” kata Mahendra.

Mahendra punya hitung-hitungan tersendiri. Dia mengatakan, biaya ideal Tol Trans Jawa ada di kisaran Rp800 ribu hingga Rp1 juta, pulang-pergi.

Terpaksa tak lewat tol

Menanggapi tarif tersebut, Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Bidang Distribusi dan Logistik Kyatmaja Lookman mengatakan, pihaknya telah mengusulkan besaran tarif khusus untuk tol Trans Jawa.

“Sudah kita usulkan. Kita tinggal tunggu pengumuman dari BPJT (Badan Pengatur Jalan Tol),” kata Kyatmaja saat dihubungi, Kamis (7/2).

Senada dengan Mahendra, Kyatmaja pun sepakat tarif Tol Trans Jawa terlampau mahal. Kyatmaja mengatakan, karena tarif mahal tersebut, sopir truk akan lebih memilih melewati jalur Pantai Utara Jawa (Pantura) daripada melalui Tol Trans Jawa.

“Pengemudi kita beri Rp2,5 juta untuk solar, uang makan, dan subsidi. Uang solar itu tidak bisa diganggu gugat. Kalau sopir lewat tol, mereka harus nombok. Buat apa lewat tol kalau lewat arteri gratis,” katanya.

Sementara itu, praktisi logistik dan transportasi dari Supply Chain Indonesia Sugi Purnoto mengatakan, kehadiran Tol Trans Jawa tidak berpengaruh apa-apa terhadap penghematan waktu pengiriman logistik jarak jauh. Namun, akan sangat terasa saat pengiriman logistik jarak dekat.

“Karena truk di Indonesia itu maksimal kecepatannya 80 kilometer per jam. Belum lagi waktu buka gudang customer yang terbatas dan waktu bongkar muat. Jadi tak berpengaruh, karena customer juga tidak minta cepat,” kata Sugi saat dihubungi, Kamis (7/2).

Di sisi lain, Kyatmaja mengatakan, masalah penghematan waktu Tol Trans Jawa tak bisa dilihat dari perjalanan semata. Tapi juga dilihat sejak proses muat, jalan, hingga bongkar.

Namun, Kyatmaja dan Sugi tak menampik jika kehadiran Tol Trans Jawa membawa manfaat bagi pengusaha logistik. Kyatmaja mengatakan, sopir truk diuntungkan dengan adanya tol, karena mobil pribadi tak lagi lewat Pantura.

Sementara Sugi mengatakan, adanya jalan tol mengurangi risiko kecelakaan hingga 50%. “Selain itu bisa efisiensi BBM juga, walau nanti ongkosnya lari ke ban,” ujar Sugi.

Sugi melanjutkan, jika ingin jalan Tol Trans Jawa dimanfaatkan sebaik mungkin, dia menyarankan pemerintah mengeluarkan surat instruksi kepada pengusaha untuk melewati jalan tol.

Jasa pengiriman naik

Jasa pengiriman iku menaikan tarif untuk pengiriman luar Jabodetabek. (Antara Foto).

Mahalnya tarif Tol Trans Jawa memang tak berpengaruh kepada pengusaha logistik yang tetap menggunakan jalur Pantura sebagai jalur utama. Namun, tidak demikian dengan perusahaan jasa pengiriman barang.

Perusahaan pengiriman barang dan logistik PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) misalnya. Mereka menaikkan biaya pengiriman pada 15 Januari 2019 untuk pengiriman ke luar wilayah Jabodetabek. Dalam laman Instagramnya, @jne_id disebutkan, sudah 3 tahun mereka tidak melakukan penyesuaian tarif.

Sugi Purnoto melihat, kenaikan tarif tersebut memang dipicu oleh Jalan Tol Trans Jawa yang mahal dan kenaikan kargo udara. Dirinya menilai, sudah sewajarnya perusahaan jasa pengiriman menaikkan tarif, melihat kondisi tersebut.

“Karena kan customer butuh cepat, berarti memang ada harga yang harus dibayar. Apalagi kalau ekspres. Perusahaan seperti itu akan pakai dua sopir atau lewat jalur udara yang lebih mahal,” ujar Sugi.

Tarif Tol Trans Jawa untuk kendaraan seperti truk terlampau mahal, dan berpengaruh terhadap pengiriman logistik.

Mahendra Rianto pun mengimbau pemerintah untuk mengatur batas tarif atas dan bawah. Mengingat, saat ini pengusaha logistik sedang gencar mengembangkan industri daring, yang banyak menggunakan transportasi udara.

“Sehingga dengan adanya kenaikan tarif, akan membuat kerugian di sisi penyedia jasa logistiknya,” ujar Mahendra.

Berita Lainnya
×
tekid