sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Tebalnya NIM perbankan RI dan untung yang menggunung

Segudang persoalan menjadi penyebab net interest margin (NIM) perbankan RI begitu tinggi.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Sabtu, 11 Mar 2023 19:44 WIB
Tebalnya NIM perbankan RI dan untung yang menggunung

Di balik kinerja gemilang industri perbankan, Presiden Jokowi juga menyoroti tingginya margin bunga bank. Ia menyentil Net Interest Margin (NIM) perbankan Indonesia yang bisa dikatakan tertinggi di dunia.

“Saya tanya ke Pak Ketua OJK (Mahendra Siregar), NIM berapa sih? Dijawab oleh Pak Ketua OJK, 4,4%. Tinggi banget. Ini mungkin tertinggi di dunia. Mungkin,” imbuhnya.

Ungkapan serupa juga pernah dilontarkan Jokowi saat memberikan pidato kunci pada gelaran Mandiri Investment Forum 2023. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga menilai untung besar yang didapat PT Bank Mandiri Tbk. yakni di angka Rp41 triliun dan peningkatan penyaluran kredit hingga 14,9% bisa jadi disokong oleh bunga tinggi yang ditetapkan perusahaan.

“Kadang-kadang saya mikir, ini kok tumbuhnya tinggi banget? Jangan-jangan bunganya ketinggian,” duganya, sambil berseloroh.

NIM perbankan bagi masyarakat awam memang terdengar asing. Namun, di sektor keuangan, NIM sangat penting sebagai evaluasi bank dalam menangani risiko yang mungkin terjadi pada suku bunga. Dalam hal ini, apabila suku bunga mengalami perubahan, maka pendapatan serta biaya bunga akan berubah. Pun dengan margin bunga perbankan.

Mengutip finansialku.com, NIM dipengaruhi dua faktor, nilai pendapatan bunga bersih (Net Interest Income/NII) dan nilai aset produktif. Dengan pendapatan bunga bersih sangat bergantung pada penyaluran kredit serta besaran suku bunga perbankan, baik bunga deposito maupun kredit. Karenanya, untuk mendapat pendapatan sebesar-besarnya, bank harus menekan beban pokok serendah-rendahnya. Dus, nilai aset akan melonjak setinggi-tingginya.

Namun, di Indonesia, NIM beberapa tahun terakhir justru ditentukan oleh sumber dana bank. Dalam hal ini berarti juga penurunan bunga deposito akan dibandingkan dengan bunga kredit. Pada kondisi inilah, NIM kemudian berpotensi melonjak.

Ilustrasi Pixabay.com.

Sponsored

Sejak tahun 2018 hingga 2020, NIM perbankan nasional sebenarnya sempat mengalami penurunan, dari 5,60% di Desember 2018 menjadi 4,32% pada Desember 2020. Namun, selepas Pandemi Covid-19, margin bunga bank terus merangkak naik, dari 4,51% di akhir tahun 2021 menjadi 4,71% Desember kemarin. Pada periode Januari 2023, NIM perbankan lagi-lagi mengalami kenaikan hingga berada di level 4,89%.

“NIM perbankan kita memang sangat tinggi, salah satu yang tertinggi di dunia,” ungkap Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono, kepada Alinea.id, Kamis (9/3).

Di dunia, berdasar data The Global Economy, NIM perbankan Indonesia menempati posisi ke-31 sebagai negara dengan NIM terbesar, yakni di level 5,06% di tahun 2021. Dengan peringkat pertama diduduki oleh Zimbabwe yang memiliki NIM 12,83%. Sementara di Asia Tenggara, Indonesia berada di peringkat kedua sebagai negara dengan NIM terbesar, menyusul Kamboja yang memiliki NIM perbankan sebesar 5,23%.

 

 

Sementara itu, selain secara nasional, tingginya NIM lebih jelas terlihat dari margin bunga yang dicatatkan oleh banyak perusahaan perbankan, baik yang masih berskala kecil maupun bermodal tebal.

PT Bank Central Asia Tbk (BCA) misalnya yang pada tahun lalu mencatatkan NIM sebesar 5,3%, naik 20 basis points (bps) dari tahun 2021, yakni 5,1%. “Rasio NIM ini sejalan dengan pergerakan suku bunga pasar, penyaluran kredit perusahaan dan biaya dana (cost of fund) yang relatif terjaga,” jelas Executive Vice President Corporate Communication BCA Hera F. Haryn, dalam keterangannya kepada Alinea.id beberapa waktu lalu.

Kemudian, ada pula PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) yang memiliki NIM paling tinggi di antara lima perusahaan bank nasional, yang sebesar 6,80%. Margin bunga bersih ini turun tipis dibanding Desember 2021, yang sebesar 6,89% namun jauh lebih tinggi dari tahun 2020, yakni 5,76%.

Foto Reuters.

Direktur Utama BRI Sunarso mengungkapkan, meski penting dirawat NIM bukanlah satu-satunya faktor penentu kinerja perseroan, khususnya pencapaian laba BRI. “NIM perbankan kok sangat tinggi? Fee based yang bukan berdasarkan bunga, dari transaksi itu Rp18,8 triliun maka rasio fee income kita dari total fee sudah 11,37%,” bebernya, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (1/3).

Perlu diketahui, di sepanjang tahun 2022, fee based income (FBI) atau pendapatan berbasis komisi BRI sebesar Rp18,8 triliun. Sementara secara konsolidasi, bank dengan fokus pembiayaan kepada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) ini mampu menyalurkan kredit hingga Rp1.139,08 triliun, dengan 84,74% diantaranya merupakan kredit UMKM dan 15,26% sisanya merupakan kredit korporasi. Dengan ini, laba bersih BRI (bank only) mampu menembus angka Rp47,83 triliun. 

Bank-bank lain seperti PT Bank Mandiri Tbk., Bank Negara Indonesia Tbk. dan PT Bank Tabungan Negara Tbk. pun memiliki NIM relatif tinggi pula, yakni masing-masing sebesar 5,47%, 4,8% dan 4,40%.

 

 

Dominasi perbankan

Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono menilai, tingginya margin bunga bank ini mengindikasikan beberapa hal, pertama ialah dominasi perbankan dalam industri keuangan nasional.
“Dunia usaha kita tidak memiliki banyak alternatif sumber pembiayaan selain perbankan, sehingga daya tawar perbankan relatif kuat. Di negara-negara maju, sumber pembiayaan utama dunia usaha adalah pasar modal, terutama pasar obligasi,” jelasnya.

Di sisi lain, pasar obligasi korporasi di Indonesia sangat kecil, hanya sekitar 2,5% dari produk domestik bruto (PDB). Hal ini tak lain terjadi karena pasar obligasi nasional masih dikuasai oleh surat utang negara (SUN) atau obligasi pemerintah. Kondisi ini lantas membuat korporasi kalah dalam menghimpun dana di pasar modal melalui penerbitan surat utang.

Kedua, literasi finansial masyarakat masih rendah dan juga terkait dengan ketidakamanan investasi di non-perbankan, seperti banyaknya kasus investasi bodong. Ini kemudian menjadikan produk tradisional yaitu deposito perbankan masih jadi pilihan utama masyarakat dalam investasi keuangan mereka. Dengan demikian, daya tawar perbankan ke masyarakat juga relatif tinggi, sehingga mampu mendapatkan dana murah dengan relatif mudah.

“Kombinasi dua hal ini, membuat perbankan kita mampu menetapkan suku bunga kredit yang relatif tinggi ke dunia usaha. Sebaliknya, menetapkan suku bunga simpanan yang relatif rendah ke masyarakat penabung. Hasil akhirnya, NIM perbankan yang sangat tinggi,” ungkapnya.

Kekuatan perbankan nasional dan struktur industri perbankan Indonesia yang relatif oligopoli membuat pembentukan harga kredit cenderung didominasi segelintir pemain besar sebagai market leader. Bank dengan modal cekak, di sisi lain hanya mengikuti (follow the leader).

“Bank sangat dominan, daya tawarnya tinggi, (ketika) BI rate naik, bunga bank ikut naik, sehingga NIM stabil. Tapi jika BI rate turun, bunga bank tidak selalu turun, NIM malah naik. Ketika BI rate turun justru sering jadi momen bank dapat keuntungan semakin tinggi,” lanjut Yusuf.

Data Suku Bunga Kredit (SBDK) 10 bank besar Indonesia

Nama Bank

Kredit Korporasi

Kredit Ritel

Kredit Mikro

KPR

Non-KPR

Bank Mandiri (per 31 Desember 2022)

8,05%

8,30%

11,30%

7,30%

8,80%

BRI (per 31 Desember 2021)

8,00%

8,25%

14,00%

7,25%

8,75%

BCA (per 28 Februari 2023)

7,90%

8,10

-

7,20%

5,96%

BNI (per  31 Desember 2022)

8,00%

8,25%

-

7,25%

8,75%

BTN (per 28 Februari 2023)

8,05%

8,30%

-

7,30%

8,80%

CIMB Niaga (mulai 28 Februari 2023 hingga 30 Maret 2023)

8,00%

8,75%

-

7,30%

8,50%

Bank Danamon (per 28 Februari 2023)

8,50%

9,00%

-

8,25%

9,25%

Bank Permata (per 31 Januari 2023)

8,50%

9,00%

-

8,50%

8,75%

OCBC NISP (per per tanggal 26 Februari 2023)

8,25%

8,75%

-

8,00%

9,25%

Bank Panin (per  28 Februari 2023)

9,10%

8,50%

15,58%

8,00%

8,24%

Sumber: Dihimpun dari laman resmi masing-masing perusahaan

Sementara itu, Bank Mandiri menawarkan suku bunga deposito valas di kisaran 0,75-1,75%. Lalu, untuk deposito rupiah mencapai 2,25-2,50%. Suku bunga ini tidak berubah sejak ditetapkan pada pertengahan tahun lalu.
Dengan ditahannya suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) di level 5,75% pada Februari 2023. Corporate Secretary Bank Mandiri Rudi As Aturridha menyatakan, pihaknya tengah menyesuaikan tingkat suku bunga simpanan dan memonitor kecukupan likuiditas di 2023, struktur biaya dana, kondisi pasar serta dampak terhadap suku bunga kredit.

“Secara umum, kebijakan BI sudah diproyeksikan industri, termasuk perbankan. Secara industri juga akan melanjutkan penyesuaian suku bunga simpanan dan kredit secara bertahap,” katanya kepada Alinea.id, pekan lalu.

Sementara untuk simpanan dana, bank BCA yang berkode bursa BBCA baru saja menaikkan bunga deposito pada awal bulan ini. Rinciannya, bunga deposito satu bulan dan 12 bulan masing-masing tetap di angka 3,66% dan 2%. Kecuali deposito dengan nominal di atas Rp100 miliar dengan jangka waktu 12 bulan mendapat bunga 2,1%.
Sedangkan deposito berjangka waktu 3 bulan dan 6 bulan mendapat ganjaran bunga masing-masing 4% dan 2,5%. Deposito 3 bulan naik 100 bps dan bunga deposito 6 bulan naik 50 bps.

Sementara untuk simpanan dana, BNI menawarkan bunga sebesar 2,25% untuk deposito tenor 1 bulan; 2,5% untuk deposito tenor 3 bulan; dan 2,7% untuk tenor 6 bulan.

Solusi menurunkan NIM

NIM, lanjut Yusuf, memang penting bagi perbankan. Namun, ketika NIM terlampau tinggi, dia khawatir perbankan akan menjadi tidak efisien. Padahal, NIM merupakan salah satu bentuk langkah efisiensi dari pemerintah pada industri perbankan.

Karenanya, agar NIM tak terlampau tebal dan bunga kredit tidak terlalu tinggi NIM pun harus diturunkan ke batas wajar, yakni 3-4%.  Dus, NIM tidak menekan dunia usaha maupun debitur ritel. Salah satu caranya, dengan mengembangkan pasar obligasi korporasi.

“Tantangan terbesar adalah agar pemerintah tidak lagi menerbitkan SUN dalam jumlah yang sangat berlebihan, sehingga menyebabkan crowding out, di mana korporasi tidak mampu menghimpun dana di pasar obligasi karena kalah saing dengan obligasi pemerintah yang risk free investment,” jelas dia.

Tantangan lain ialah bagaimana bank memberi akses bagi perusahaan menengah bahkan perusahaan kecil agar bisa juga mengakses pasar modal, baik untuk menerbitkan saham ataupun menerbitkan obligasi.
Langkah lain untuk menurunkan NIM, bank sentral harus meninggalkan kebijakan suku bunga sebagai instrumen penguatan nilai tukar.

Kantor Bank Indonesia. Dokumentasi.

Kata Yusuf, kelemahan Indonesia selama ini adalah defisit transaksi berjalan yang besar, sehingga mata uang rupiah cenderung selalu lemah. Untuk meresponnya, kebijakan masih didominasi kebijakan suku bunga tinggi untuk menarik investasi portofolio asing dan valas.

“Seharusnya kita mulai mengaji ulang rezim devisa bebas kita agar devisa hasil ekspor (DHE) kita dapat optimal ditarik dan dikonversi ke rupiah. Bukan dengan selalu bergantung ke kebijakan suku bunga tinggi, bahkan kini untuk menarik DHE sekalipun kita menggunakan suku bunga tinggi,” tutur dia.

Akibatnya suku bunga sulit turun. Dengan kondisi seperti ini, Yusuf bilang jangan pernah berharap NIM turun. Bahkan kenaikan BI rate sering jadi momentum perbankan untuk meningkatkan NIM karena posisi daya tawar perbankan terlalu kuat, baik ke dunia usaha maupun ke masyarakat.

Masih ideal

Pada kesempatan lain, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin menilai, angka NIM perbankan saat ini sebenarnya masih baik-baik saja. Karena masih berada di kisaran ideal, yakni 4-5%. Sebaliknya, akan menjadi masalah bagi bank ketika NIM terlalu minim.

“Karena kalau NIM rendah, akan jadi pertanyaan. Apakah bank kurang efisien dalam mengatur cost of fund dengan biaya yang dilempar pricing untuk pinjamannya?” katanya, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (10/3).

Pendapatan dan laba lima bank besar (BBCA, BMRI, BBNI, BBRI, BBTN) (Rp triliun)

Bank

2022

2021

2020

2019

2018

Pendapatan Bunga Bersih

Laba Bersih

Pendapatan Bunga Bersih

Laba Bersih

Pendapatan Bunga Bersih

Laba Bersih

Pendapatan Bunga Bersih

Laba Bersih

Pendapatan Bunga Bersih

Laba Bersih

BBCA

64,14

40,7

62,04

31,4

54,5

27,1

50,8

28,6

45,3

25,9

BMRI

87,9

41,2

74,85

28,02

56,65

17,1

59,44

27,48

54,62

25,02

BBNI

41,32

18,3

38,2

10,89

37,15

3,28

36,6

15,38

35,45

15,02

BBRI

124,6

51,4

114,1

31,6

116,93

18,65

81,71

34,41

78,61

32,4

BBTN

13,21

3,05

5,15

2,38

9,1

1,6

9,1

0,2

10,2

2,8

Sumber: Laporan Keuangan BCA, Mandiri, BNI, BRI, dan BTN

NIM besar, menurutnya, hanya terjadi di beberapa bank besar saja, terlebih mereka yang memiliki likuiditas sangat baik dan bisa menjaga biaya dananya. Namun demikian, faktor terbesar NIM tebal perbankan ialah karena bank harus menyesuaikan suku bunga pinjaman dengan BI rate.

“Namun rate simpanan masih bertahan rendah dan mereka beroperasi sangat efisien,” imbuhnya.

Meski begitu, karena Presiden Joko Widodo telah meminta agar perbankan menurunkan NIM, hal ini pun harus dilakukan. “Berarti harus ada keberanian bank untuk memberikan rate lebih kepada nasabah dan menekan biaya kredit, sehingga NIM akan sedikit menurun,” tutupnya.
 
 

Berita Lainnya
×
tekid