sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Tips bagi investor saham saat perang dagang AS-China

Perang dagang antara Amerika Serikat dan China perlahan mulai berubah menjadi perang mata uang. Simak tips bagi investor saham berikut.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Rabu, 07 Agst 2019 23:38 WIB
Tips bagi investor saham saat perang dagang AS-China

Perang dagang antara Amerika Serikat dan China perlahan mulai berubah menjadi perang mata uang. Hal ini terjadi setelah kurs yuan Tiongkok mengalami pelemahan secara drastis. 

Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menyarankan agar para investor mengambil sikap defensif dalam menyikapi memburuknya perseteruan AS dan China. 

"Investor sebaiknya berhati-hati dengan saham berbasis komoditas dan energi seperti tambang dan CPO serta energi yang menyebabkan polusi lingkungan. Pelemahan yuan kurang sejalan dengan penguatan ekonomi domestik," kata Budi dalam keterangan tertulis yang diterima Alinea.id, Rabu (7/8). 

Budi meyakini pemerintah Negeri Tirai Bambu tersebut akan memilih energi yang lebih ramah lingkungan dengan memanfaatkan booming shale-gas di Amerika Serikat. Pilihan ini membawa konsekuensi menurunkan permintaan impor batu bara dari Indonesia.

Di masa lalu, kata Budi, penurunan suku bunga memacu pertumbuhan laba sektor properti dan otomotif. Namun, saat ini kedua sektor tersebut menghadapi tantangan penurunan daya beli sejalan dengan pelemahan harga komoditas primer andalah ekspor Indonesia. 

"Sebagai akibatnya investor melirik saham sektor perbankan kendati valuasi sudah mahal. Sebab sektor ini diyakini mendapat manfaat pelebaran margin keuntungan dengan penurunan bunga deposito sementara bunga kredit relatif tetap," ujar Budi. 

Sementara untuk investasi di luar saham, Budi menyarankan investor untuk berinvestasi pada aset-aset yang lebih aman dari volatilitas dan rendah risiko. Selain reksa dana pasar uang, lanjut Budi, SBN dapat menjadi pilihan sebab pokoknya aman, cuan nyaman dan likuiditas lancar.

Budi mengkhawatirkan pelemahan drastis Yuan akan memicu perlombaan regional memperlemah mata uang dengan sengaja atau competitive devaluation

Sponsored

Aksi bank sentral China, lanjut Budi, jelas mempersulit upaya Indonesia menurunkan defisit neraca perdagangan dengan China yang terus memburuk sejak tahun 2012. Selama tahun 2018 lalu defisit perdagangan dengan China mencapai US$18,4 miliar atau melonjak 44,8% dibanding nilai selama tahun 2017. 

“Indonesia memiliki banyak tantangan dalam upaya mengendalikan defisit neraca berjalan dan bersaing dengan negara tetangga, seperti Vietnam. Investor nampaknya menanti susunan kabinet pemerintah baru yang diharapkan lebih efektif meningkatkan investasi asing masuk ke Indonesia,” tutur Budi

Selama tahun terjalan hingga bulan Mei 2019, lanjut Budi, data pemerintah Amerika Serikat menunjukkan Vietnam, Korea Selatan dan Taiwan sebagai pemenang perang dagang. Trade surplus Vietnam ke AS tercatat mencapai US$21,6 miliar atau naik 42,6% dibandingkan kumulatif Mei 2018. 

Pada periode yang sama, trade surplus China turun 10%, di posisi US$137 miliar. Sementara, trade surplus Indonesia turun 12,2% menjadi US$5,1 miliar.

Untuk diketahui, eskalasi konflik kedua negara besar itu mengakibatkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi selama dua hari berturut-turut sebesar 2,59% di hari Senin (5/8) dan 0,91% hari Selasa (6/8) pada level 6.119,47. 

Namun, untuk hari ini IHSG ditutup menguat di level 6.204,20 atau naik 1,38%. Analis dari Artha Sekuritas Dennies Christopher Jordan mengatakan penguatan didorong oleh sektor finansial sebesar 1,98% dan infrastruktur sebesar 1,94%. 

"IHSG ditutup menguat didorong oleh optimisme investor setelah tekanan dari global mulai berkurang. Di sisi lain, data cadangan devisa Indonesia yang baru dirilis mencatat kenaikan ke level US$125,9 miliar," ujar Dennies.

Selain itu, rupiah pun kembali menguat pada hari ini di level Rp14.215 per dolar AS. Senada dengan IHSG, penguatan rupiah juga didorong oleh data cadangan devisa Juli dari BI.

Direktur Utama Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan langkah intervensi aktif BI di pasar valas dan obligasi negara melalui pasar DNDF (Domestic Non-Deliverable Forwards), membuahkan hasil yang memuaskan bagi pelaku pasar dalam negeri.

"Sementara faktor penguatan dari eksternal didorong oleh keputusan bank sentral dua negara Asia yang menurunkan suku bunganya, yaitu India dan Thailand," kata Ibrahim.

Penurunan suku bunga acuan di India dan Thailand yang juga berstatus sebagai negara berkembang, lanjut Ibrahim, menguntungkan Indonesia. Sebab berinvestasi di Indonesia bisa mendatangkan cuan lebih oke. 

Berita Lainnya
×
tekid