sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Setidaknya 18 pedemo tewas dalam protes antikudeta di Myanmar

Menurut keterangan Kantor HAM PBB, polisi menggunakan kekerasan berlebihan dengan menggunakan peluru tajam, granat kejut, dan gas air mata.

Valerie Dante
Valerie Dante Senin, 01 Mar 2021 11:35 WIB
Setidaknya 18 pedemo tewas dalam protes antikudeta di Myanmar

Setidaknya 18 orang tewas dan puluhan lainnya terluka dalam protes antikudeta di Myanmar. Hal tersebut merupakan akibat dari tindakan keras yang dilakukan pasukan keamanan terhadap demonstran damai.

"Sepanjang hari, di beberapa lokasi di seluruh negeri, polisi dan pasukan militer telah menghadapi demonstrasi damai menggunakan kekuatan yang mematikan dan telah meninggalkan sedikitnya 18 orang tewas dan lebih dari 30 luka-luka," jelas Kantor HAM PBB pada Minggu (28/2).

Menurut pernyataan kantor tersebut, polisi secara lebih awal menggunakan kekerasan dengan melepaskan tembakan di sejumlah wilayah di Yangon setelah menggunakan granat kejut, gas air mata, dan tembakan peringatan yang gagal mendorong mundur massa pedemo.

Militer juga dilaporkan mengirimkan personil untuk membantu polisi mengendalikan para demonstran yang berkumpul untuk menentang kudeta pada 1 Februari.

Media lokal, Myanmar Now, mengunggah video dari seorang pria terluka yang tergeletak di jalan dekat persimpangan Hledan Center di Yangon. Media itu melaporkan bahwa dia telah ditembak di area dadanya oleh apa yang tampak seperti peluru tajam.

Seorang pria yang menyaksikan penembakan itu mengatakan kepada Frontier Magazine bahwa polisi telah melepaskan tembakan langsung ke pengunjuk rasa yang berlindung di sebuah terminal bus dan bahwa satu orang tewas dan lainnya terluka.

Seorang dokter di rumah sakit di mana pria itu dirawat telah mengonfirmasi kematiannya kepada kantor berita Reuters.

Seorang politikus, Kyaw Min Htike menyatakan bahwa polisi juga melepaskan tembakan di wilayah selatan Dawei, menewaskan tiga orang dan melukai beberapa lainnya.

Sponsored

Sebuah badan amal layanan darurat melaporkan dua orang tewas di pusat kota Bago. Sopir ambulans, Than Lwin Oo, mengatakan kepada AFP bahwa dia telah mengirim mayat anak berusia 18 tahun itu ke kamar mayat di rumah sakit utama Bago.

Kematian tersebut juga dikonfirmasi oleh media yang berbasis di kota itu.

Outlet media online, Irrawaddy, melaporkan satu orang tewas dalam protes di Kota Mandalay.

Polisi membubarkan protes di kota-kota lain termasuk Lashio ddan Myeik.

Seorang wanita juga tewas karena serangan jantung yang diduga terjadi setelah polisi membubarkan protes guru dengan granat kejut di kota utama, Yangon.

"Kami mengutuk keras kekerasan yang meningkat terhadap protes di Myanmar dan menyerukan kepada militer untuk segera menghentikan penggunaan kekuatan terhadap pengunjuk rasa damai," kata juru bicara Kantor HAM PBB Ravina Shamdasani dalam sebuah pernyataan.

Tindakan polisi pada Minggu terjadi setelah televisi pemerintah mengumumkan bahwa utusan Myanmar untuk PBB, Kyaw Moe Tun, telah dipecat karena mengkhianati negara itu setelah dia mendesak PBB untuk menggunakan segala cara yang diperlukan untuk menghentikan kudeta militer yang menggulingkan pemimpin terpilih, Aung San Suu Kyi.

Perebutan kekuasaan dan penahanan militer terhadap pemimpin sipil negara telah menjerumuskan Myanmar ke dalam kekacauan baru, hanya satu dekade setelah berakhirnya hampir 50 tahun junta militer yang ketat.

Selama tiga minggu terakhir, kerumunan besar telah turun ke jalan-jalan di kota besar dan kecil di seluruh Myanmar, menyerukan pembebasan Suu Kyi dan pemulihan pemerintahan sipil.

Ketika pemberontakan populer semakin memanas, pasukan keamanan menjadi lebih agresif dalam menggunakan kekuatan. Tiga pengunjuk rasa lainnya dilaporkan tewas awal Februari, sementara militer mengatakan seorang polisi juga tewas.

Wakil Direktur Human Rights Watch untuk Asia Phil Robertson telah secara keras mengutuk penggunaan kekuatan mematikan dalam protes antikudeta.

Dia menyebut tindakan pihak berwenang sebagai langkah yang keterlaluan dan tidak dapat diterima. Dia meminta polisi untuk menghentikan kekerasan.

"Peluru tajam tidak boleh digunakan untuk mengendalikan atau membubarkan protes, dan kekuatan mematikan hanya dapat digunakan untuk melindungi nyawa atau mencegah cedera serius," ujar Robertson. "Setiap kematian dan luka serius harus segera diselidiki secara tidak memihak. Mereka yang terbukti bertanggung jawab atas tindakan yang melanggar hukum harus dimintai pertanggungjawaban."

Lebih lanjut, Robertson menyerukan pembebasan sejumlah jurnalis yang ditahan oleh pasukan keamanan dan mengatakan petugas medis yang merawat para demonstran yang terluka di lokasi protes juga telah menjadi sasaran penangkapan dalam apa yang disebutnya sebagai upaya terang-terangan untuk mengintimidasi siapa pun yang mencoba membantu para pengunjuk rasa prodemokrasi.

"Pembatasan yang diterapkan junta militer terhadap protes publik, serta pelarangan pertemuan yang terdiri dari lebih dari lima orang, secara terang-terangan melanggar hak-hak dasar untuk berkumpul secara damai dan publik dan harus segera dibatalkan," lanjutnya.

Sumber : Al Jazeera

Berita Lainnya
×
tekid