sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ahli: Penyebar hoaks tahu bagaimana otak kita bekerja

Hoaks tidak hanya terjadi di Indonesia, namun seluruh dunia.

Soraya Novika
Soraya Novika Jumat, 12 Okt 2018 08:32 WIB
Ahli: Penyebar hoaks tahu bagaimana otak kita bekerja

Berita bohong atau hoaks menjadi masalah serius yang tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga seluruh dunia. 

Hal itu disampaikan oleh profesor jurnalistik dari Fakultas Komunikasi American University Maggie Farley saat menjadi pemateri dalam diskusi umum bertema ‘Fake News: How to Know What to Believe’ di @america, Pacific Place, Jakarta, Kamis (11/10).

"Penyebaran hoaks adalah masalah yang serius dan kita dapat menjumpai masalah ini di hampir seluruh peradaban di dunia," ujar Farley.

Profesor yang juga mantan jurnalis Los Angeles Times ini lebih lanjut mengatakan, hoaks dapat dengan mudahnya memengaruhi banyak orang karena memang otak manusia sendiri memiliki kecenderungan menyukai informasi-informasi palsu yang menarik secara emosional.

"Jadi, penyebar hoaks tahu bagaimana otak kita bekerja. Pada dasarnya, otak kita memang menyukai berita yang membuat kita bahagia, kita menyukai hal-hal baru, sesuatu yang memancing amarah, dan membuat kita tidak sabar ingin menyebarkan informasi atau kabar tersebut ke orang terdekat kita," tambahnya.

Cara kerja otak ini disebut sebagai bias konfirmasi atau yang umum kita kenal sebagai subjektifitas.

"Otak kita hanya akan merangkul informasi yang mendukung keyakinan kita, dan menolak informasi yang bertentangan dengannya," ungkapnya.

Hal inilah yang menjadikan hoaks sebagai masalah universal. Berita bohong mampu memengaruhi siapa saja bahkan pemimpin negara sekalipun.

Sponsored

Menguatkan argumennya, Farley kemudian memaparkan beberapa contoh nyata yang memperlihatkan bahwa siapa pun tidak lepas dari pengaruh subjektifitas ini dan senantiasa menolak fakta yang tidak disukainya.

"Presiden AS Donald Trump melalui akun Twitternya sempat menuding lima media besar sebagai media palsu yang menyesatkan, dan menyebut mereka sebagai musuh rakyat Amerika. Demikian pula dengan pemerintahan Rusia. Mereka membantah tudingan telah melanggar perjanjian rudal nuklir. Tidak sepakat dengan tudingan tersebut, melalui situs resmi Kementerian Luar Negeri Rusia, mereka mencap berita tudingan tersebut sebagai kabar palsu. Sama halnya dengan yang terjadi di Suriah, Presiden Bashar al-Assad menepis laporan Amnesty International yang menyebutnya telah melanggar hak asasi manusia, dan menyebut laporan itu sebagai berita palsu," paparnya.

Kelemahan subjektifitas ini yang menjadikan hoaks semakin mudah untuk disebarkan terutama melalui teknologi. 

"Teknologi dapat menguatkan dan mempercepat penyebaran serta penerimaan hoaks di masyarakat," imbuhnya.

Menurut Farley, ada dua jenis program teknologi yang berperan dalam penyebaran hoaks tersebut, yaitu yang dikenal sebagai bot dan algoritma. Kedua program ini paling umum merambah pada internet atau media sosial kita. 

"Bot bukanlah manusia, bot dirancang secara otomatis untuk mengemas dan memperkuat penyebaran suatu informasi, dan algoritma yang memprioritaskan apa-apa saja yang baru dan paling populer untuk ditampilkan, namun bukan apa yang benar. Jadi, semakin banyak berita di luar sana, apakah yang menciptakannya manusia atau bot, selagi dia baru dan populer, maka berita itu akan muncul di pencarian teratas Google atau jadi 'trending' di Twitter, di umpan Facebook maupun Instagram," tuturnya.

Selain itu, kecanggihan teknologi juga memfasilitasi siapa saja menjadi pelaku hoaks baru. Kemajuan alat ini dapat mengubah gambar dan video menjadi seperti yang diinginkan pelaku hoaks. 

"Intinya, teknologi kini sudah semakin canggih dan akan terus semakin canggih. Tugas kita adalah menjadi lebih skeptis. Jangan dengan mudah membagikan gambar atau informasi yang kita dapat di media sosial ke orang lain, jangan pula dengan mudahnya menekan tanda 'like' di Facebook, atau 'love' di Instagram, semua ini berbahaya. Berfikirlah sebelum menggerakkan jari anda," imbaunya.

Untuk itu, semua orang perlu memiliki rasa ingin tahu yang kuat dalam menanggapi setiap berita yang beredar, baik yang disebarkan melalui media sosial maupun dari media yang biasa kita baca. Mampu membedakan setiap berita yang ada sangat diperlukan demi menghindarkan diri dari pengaruh hoaks.

"Cek berulang kali, kenali jenis informasi atau berita yang Anda baca dan tanyakan kembali pada diri Anda mengapa mereka membagikan informasi itu? Apakah mereka menjual sesuatu kepada Anda? Sebuah idekah? Untuk menghiburkah? Menginformasikan sebuah kejadiankah? Atau justru menipu Anda? Cari tahu sumbernya dan pelajari standar jurnalisme dari sebuah berita atau informasi yang Anda terima, lalu bandingkan dengan berita serupa dari sumber yang berbeda dan terpercaya," pungkasnya.

Berita Lainnya
×
tekid