sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Amnesty International cabut penghargaan untuk Aung San Suu Kyi

Amnesty International menegaskan bahwa Aung San Suu Kyi tidak lagi menjadi simbol harapan.

Khairisa Ferida
Khairisa Ferida Selasa, 13 Nov 2018 10:35 WIB
Amnesty International cabut penghargaan untuk Aung San Suu Kyi

Amnesty International telah menarik sebuah penghargaan hak asasi manusia bergengsi dari Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar. Suu Kyi dinilai mengkhianati nilai-nilai yang pernah dipegangnya.

Ini adalah yang terbaru dalam serangkaian penghargaan yang ditarik dari Aung San Suu Kyi, termasuk Elie Weisel dari Holocaust Museum dan Freedom of the City, yang dicabut oleh Edinburgh, Oxford, Glasgow dan Newcastle.

Pada hari Senin (12/11) Amnesty International mengatakan bahwa Aung San Suu Kyi tidak lagi menjadi simbol harapan. Mereka menyinggung soal ketidakpeduliannya yang jelas atas kekejaman terhadap Rohingya dan intoleransinya yang semakin meningkat terhadap kebebasan berbicara.

Suu Kyi menerima penghargaan duta hati nurani pada tahun 2009, saat dia berstatus sebagai tahanan rumah. Itu diberikan atas perannya dalam memperjuangkan perdamaian dan demokrasi. Dia digambarkan sebagai simbol harapan, keberanian dan pembelaan abadi terhadap hak asasi manusia oleh Irene Khan, sekretaris jenderal Amnesty International saat itu.

Kumi Naidoo, sekretaris jenderal Amnesty International saat ini, mengatakan dalam sebuah surat kepada Aung San Suu Kyi bahwa gelarnya sebagai duta hati nurani tidak lagi dapat dibenarkan.

"Harapan kami adalah Anda akan terus menggunakan otoritas moral Anda untuk berbicara menentang ketidakadilan di mana pun Anda melihatnya, tidak hanya di Myanmar sendiri," tulis Naidoo dalam surat itu.

Suu Kyi telah banyak dituduh apatis atau terlibat dalam penderitaan muslim Rohingya di Myanmar, yang telah diperingatkan PBB terus menjadi target dalam "genosida yang sedang berlangsung".

Lebih dari 700.000 warga Rohingya kini bermukim di Bangladesh, setelah melarikan diri dari tindakan brutal militer Myanmar yang dimulai pada Agustus 2017.

Sponsored

Para penyelidik PBB sebelumnya mengatakan bahwa selama kampanye, militer Myanmar melakukan pembunuhan dan pemerkosaan dengan niat genosida. Mereka menyerukan panglima tertinggi dan lima jenderal dituntut atas kejahatan berat di bawah hukum internasional.

Yanghee Lee, penyelidik khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar, mengatakan dia yakin Aung San Suu Kyi berada pada posisi "menolak total" tentang tuduhan kekerasan.

"Tanpa mengakui kejahatan yang mengerikan terhadap masyarakat, sulit untuk melihat bagaimana pemerintah dapat mengambil langkah-langkah untuk melindungi mereka dari kekejaman di masa depan," kata Naidoo.

Amnesty International menambahkan bahwa pemerintahan Suu Kyi telah menimbulkan kebencian terhadap Rohingya dengan melabeli mereka "teroris", menghalangi penyelidikan internasional terhadap pelanggaran, dan gagal mencabut undang-undang represif yang digunakan untuk membungkam para kritikus.

Pada September, Aung San Suu Kyi membela pemenjaraan terhadap dua wartawan Reuters yang divonis tujuh tahun setelah menyelidiki pembantaian Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine. 

Penahanan itu secara luas dikutuk oleh pemerintah internasional, kelompok hak asasi manusia dan PBB sebagai pengabaian keadilan dan simbol regresi utama kebebasan berekspresi di Myanmar. (The Guardian)

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid