sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Anggota parlemen Inggris: Facebook sengaja melanggar UU privasi data

Laporan Komite Digital, Budaya, Media dan Olahraga turut menyatakan bahwa CEO Facebook telah menghina parlemen Inggris.

Valerie Dante
Valerie Dante Selasa, 19 Feb 2019 11:24 WIB
Anggota parlemen Inggris: Facebook sengaja melanggar UU privasi data

Anggota Parlemen Inggris menuduh Facebook melanggar UU privasi data dan UU persaingan usaha. Tudingan ini dimuat dalam laporan terkait disinformasi media sosial yang disampaikan oleh Komite Digital, Budaya, Media dan Olahraga Parlemen Inggris.

Laporan yang terbit pada Senin (18/2) itu juga menyatakan CEO Facebook Mark Zuckerberg telah menghina Parlemen dengan tidak datang langsung untuk menjawab sejumlah pertanyaan.

Dalam laporan itu, komite mengungkapkan peninjauan sejumlah email internal Facebook menunjukkan bahwa platform media sosial itu telah sengaja melanggar UU privasi data serta UU persaingan usaha.

Dokumen internal yang ditinjau oleh komite, beberapa di antaranya termasuk korespondensi antara Zuckerberg dan eksekutif perusahaan, berasal dari dokumen gugatan yang diajukan di California terhadap Facebook.

Komite memperoleh dokumen pada akhir tahun lalu dari sebuah perusahaan pengembang aplikasi bernama Six4Three yang ada di balik gugatan itu.

Menurut komite, dokumen tersebut menunjukkan bahwa Facebook mengesampingkan pengaturan privasi penggunanya demi mentransfer data ke pengembang aplikasi.

Para anggota parlemen juga mengklaim dokumen-dokumen itu memperlihatkan bahwa Facebook dapat secara sengaja tidak memberi data pada pengembang aplikasi hingga mereka rugi dan terpaksa gulung tikar.

"Perusahaan seperti Facebook seharusnya tidak boleh berperilaku seperti 'gangster digital' di dunia online, menganggap diri mereka tidak dapat terjerat hukum," kata laporan itu.

Sponsored

Facebook menanggapinya dengan menegaskan mereka tidak melanggar UU perlindungan data maupun persaingan usaha. Karim Palant, manajer kebijakan publik Facebook di Inggris, menyatakan perusahaan mendukung UU privasi yang efektif dan membuka diri bagi peraturan yang bermakna.

Pada Desember 2018, Facebook menuturkan bahwa sejumlah dokumen dari gugatan Six4Three telah dibocorkan secara selektif untuk menyampaikan hanya satu sisi dari cerita.

Tuduhan dari Komite Digital, Budaya, Media dan Olahraga Parlemen Inggris menjadi masalah baru bagi raksasa media sosial itu. Sebelumnya Facebook mendapat pengawasan tajam dari Amerika Serikat dan seluruh dunia menyusul serangkaian skandal data, termasuk Cambridge Analytica.

Pada Maret 2018, skandal Cambridge Analytica pecah, menunjukkan bagaimana data pengguna Facebook dapat diambil dan disalahgunakan. Cambridge Analytica sendiri merupakan perusahaan iklan politik yang ternyata memiliki akses terhadap jutaan data pengguna Facebook.

Mereka menjual data para pengguna untuk membantu kepentingan salah satu calon presiden AS pada Pilpres 2016.

Pada 2018 pihak berwenang Inggris memutuskan Facebook melanggar hukum Inggris dengan gagal melindungi data pengguna dan tidak memberi tahu puluhan juta penggunanya bagaimana Cambridge Analytica mengambil informasi mereka untuk digunakan dalam kampanye politik.

Perlunya perbaikan

Meskipun Facebook adalah fokus utama dari laporan itu, Komite Digital, Budaya, Media, dan Olahraga membuat beberapa rekomendasi tentang cara memerangi berita palsu dan informasi keliru.

Laporan tersebut mendesak agar platform media sosial untuk tunduk pada kode etik wajib. 

Komite mengusulkan adanya regulator independen yang ditugaskan untuk memantau perusahaan teknologi, dan dapat melakukan tindakan hukum jika perusahaan melanggar aturan. Regulator juga harus menyelidiki apakah Facebook telah terlibat dalam praktik antipersaingan usaha.

Selain itu, regulator antimonopoli Inggris perlu melakukan audit komprehensif dari pasar periklanan di media sosial. Dan yang terakhir, komite menganjurkan agar pemerintah memeriksa hasil pemilu baru-baru ini untuk melihat apakah ada manipulasi pemilih.

Investigasi komite berlangsung selama 18 bulan dan menampilkan hampir dua lusin sesi penyampaian bukti secara lisan, termasuk audiensi khusus di Washington dan komite internasional yang dihadiri oleh perwakilan dari sembilan negara.

"Perusahaan-perusahaan teknologi besar tidak boleh diizinkan untuk berkembang secara eksponensial, tanpa kendala atau pengawasan peraturan yang tepat," kata laporan itu. "Hanya pemerintah dan hukum yang dapat menahan mereka."

Facebook menjadi target

Laporan itu dengan keras mengkritik Facebook dan Zuckerberg. Sang CEO telah berulang kali menolak atas permintaan untuk menghadap Parlemen pada tahun lalu.

"Struktur manajemen Facebook tidak transparan bagi mereka yang berada di luar bisnis dan kelihatannya dirancang untuk menyembunyikan pengetahuan atau tanggung jawab untuk keputusan tertentu," kata laporan itu.

"Facebook mengirim saksi yang mereka nilai sebagai perwakilan yang tepat, namun belum diberikan pengarahan yang tepat tentang isu-isu penting, sehingga saksi tidak bisa atau memilih untuk tidak menjawab banyak pertanyaan kami."

Komite yakin bahwa strategi Facebook ini disengaja.

Damian Collins, ketua komite, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa, "Zuckerberg gagal menunjukkan tingkat kepemimpinan dan tanggung jawab pribadi yang diharapkan dari seseorang yang duduk di puncak salah satu perusahaan terbesar di dunia."

Respons Facebook

Palant mengungkapkan bahwa sama seperti komite, Facebook juga memiliki kekhawatiran tentang berita palsu dan peduli terhadap integritas pemilu.

Dia menyatakan, raksasa jejaring sosial itu telah membuat kontribusi signifikan bagi penyelidikan komite dengan menjawab lebih dari 700 pertanyaan.

Palant juga menyoroti perubahan besar pada standar periklanan politik yang telah dilakukan perusahaan.

"Tidak ada saluran iklan politik lainnya yang transparan seperti kami," tutur Palant. "Kami telah mengembangkan tim kami sebesar tiga kali lipat menjadi 30.000 orang yang bekerja untuk mendeteksi dan melindungi pengguna dari konten yang buruk, serta banyak berinvestasi dalam pembelajaran mesin, kecerdasan buatan, dan teknologi untuk mencegah jenis penyalahgunaan konten ini."

Sumber : CNN

Berita Lainnya
×
tekid