sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Bentrokan kembali pecah dalam protes anti-RUU ekstradisi Hong Kong

Bentrokan terbaru antara pengunjuk rasa dan polisi Hong Kong terjadi pada Minggu (14/7) malam di sebuah mal di Distrik Sha Tin.

Valerie Dante
Valerie Dante Senin, 15 Jul 2019 12:41 WIB
Bentrokan kembali pecah dalam protes anti-RUU ekstradisi Hong Kong

Puluhan ribu warga Hong Kong berdemonstrasi di wilayah pinggiran kota pada Minggu (14/7), didorong oleh kemarahan atas penanganan pemerintah terhadap RUU ekstradisi.

Polisi antihuru-hara dan pengunjuk rasa bentrok di sebuah mal di Sha Tin pada Minggu malam. Sejak sore, sejumlah pengunjuk rasa memblokir jalanan di kawasan itu. Polisi kemudian berupaya membubarkan massa yang mengakibatkan ratusan demonstran melarikan diri ke dalam mal.

Bentrokan pecah ketika pengunjuk rasa melemparkan payung dan botol plastik ke polisi. Petugas kemudian membalas dengan menembakkan semprotan merica di tengah kekacauan di dalam pusat perbelanjaan yang menampung beberapa merek mewah terbesar di dunia itu.

Setidaknya satu petugas dilaporkan pingsan. Dilengkapi perisai dan pentungan, polisi menyerbu lantai atas dan melakukan penangkapan.

Kepala Polisi Hong Kong Stephen Lo mengatakan 10 petugas terluka dan dibawa ke rumah sakit akibat kerusuhan itu, termasuk seorang petugas yang salah satu jari tangannya putus setelah digigit oleh seorang demonstran.

Lebih dari 40 orang ditangkap atas tuduhan penyerangan polisi dan berkumpul secara ilegal.

Sebulan terakhir, jutaan pengunjuk rasa telah turun ke jalan dalam serangkaian protes terbesar yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir di Hong Kong. Mereka menolak RUU yang akan memungkinkan warga atau orang yang menetap di kota itu untuk diekstradisi ke China daratan dan diadili di pengadilan yang dikendalikan Partai Komunis.

Sebelum kerusuhan pecah pada malam hari, pada Minggu siang waktu setempat, pengunjuk rasa berbaris menyusuri jalan-jalan di Sha Tin walaupun suhu kota itu sekitar 32 derajat Celcius.

Sponsored

"Sekarang kami benar-benar tidak percaya kepada China. Akibatnya, para pengunjuk rasa melakukan aksi protes," kata warga Hong Kong, Jennie Kwan.

Hong Kong diserahkan kembali ke China pada 1997 di bawah kesepakatan "satu negara, dua sistem" yang menjamin otonomi daerah itu selama 50 tahun. Otonomi tersebut termasuk kebebasan untuk melakukan unjuk rasa dan sistem peradilan yang independen.

Beijing membantah mencampuri urusan Hong Kong. Namun, banyak warga menilai China sedang memperkuat kontrol dan perlahan-lahan mengikis kebebasan Hong Kong.

Pada Selasa (9/7), Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam menyatakan bahwa RUU ekstradisi sudah mati. Namun, Lam tidak mengatakan bahwa dia secara resmi menarik RUU itu sepenuhnya. Dan ini menimbulkan pertanyaan tentang kemungkinan untuk menghidupkan kembali RUU itu di masa depan.

Menanggapi klaim Lam, demonstran menyatakan tidak akan puas selama RUU belum secara formal dicabut.

Beberapa pengunjuk rasa pada Minggu melambaikan spanduk yang mencantumkan permohonan kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk membebaskan mereka dan membantu mempertahankan konstitusi Hong Kong.

Pemandangan seperti itu akan membuat marah Beijing, yang sebelumnya geram atas kritik AS dan Inggris soal RUU ekstradisi.

Sementara itu, sejumlah pemrotes lainnya mengibarkan bendera Inggris dan AS, serta spanduk-spanduk yang menyerukan kemerdekaan Hong Kong.

Sebuah poster menampilkan foto Presiden China Xi Jinping disertai dengan kalimat, "Extradite to China, disappear forever". Kerumunan yang berbaris di Sha Tin pun berulang kali berteriak, "Carrie Lam, pergilah ke neraka".

Penyelenggara protes mengklaim sekitar 115.000 orang menghadiri demonstrasi pada Minggu. Namun, menurut polisi, unjuk rasa itu hanya diikuti oleh 28.000 orang.

RUU ekstradisi memicu amarah masyarakat Hong Kong yang menganggap hukum tersebut akan melemahkan status kota itu sebagai pusat keuangan internasional. Kaum muda hingga lansia bergabung dalam serangkaian unjuk rasa di Hong Kong.

"Sejak Juni, saya selalu mengikuti aksi unjuk rasa," ujar Chen, pria berusia 69 tahun. "Saya mendukung anak-anak muda, mereka melakukan sesuatu yang belum kami lakukan. Tidak ada yang bisa kami lakukan untuk membantu mereka selain ikut berbaris untuk menunjukkan dukungan."

Selain pencabutan RUU esktradisi, pengunjuk rasa menuntut Lam mundur dan tidak menggambarkan demonstrasi sebagai kerusuhan. Mereka juga mendesak pihak berwenang untuk membebaskan orang-orang yang ditangkap dan mengadakan penyelidikan independen atas dugaan kebrutalan polisi.

Polisi mengecam apa yang mereka sebut sebagai demonstrasi penuh kekerasan dan menekankan bahwa petugas akan menyelidiki semua tindakan ilegal.

Cathrine, wanita berusia sekitar 50 tahun, mengatakan beberapa pengunjuk rasa melecehkannya setelah dia mencoba membela polisi.

"Itu kekerasan verbal," jelas Cathrine. "Mereka mengelilingi saya dan meneriaki kata-kata kasar."

Protes massa anti-RUU ekstradisi sejak Juni telah berubah menjadi demonstrasi pro-demokrasi dan digunakan untuk menyuarakan keluhan yang lebih luas.

Sebelumnya, pada Minggu, ratusan wartawan menggelar pawai sunyi sebagai bentuk protes terhadap polisi yang dinilai bersikap kasar kepada wartawan yang meliput serangkaian protes anti-RUU ekstradisi.

Dalam pernyataannya, polisi menegaskan mereka menghormati kebebasan pers dan hak media untuk meliput serangkaian demonstrasi tersebut. (Reuters dan France 24)

Berita Lainnya
×
tekid