sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

HRW: China lakukan pelanggaran HAM massal dan sistematis terhadap muslim Uighur

HRW menghadirkan bukti baru atas kampanye represi China terhadap muslim Uighur.

Khairisa Ferida
Khairisa Ferida Senin, 10 Sep 2018 12:12 WIB
HRW: China lakukan pelanggaran HAM massal dan sistematis terhadap muslim Uighur

Sebuah laporan terbaru Human Rights Watch (HRW) yang dirilis pada Senin (10/9) menyebutkan bahwa pemerintah China tengah menggelar kampanye pelanggaran HAM massal dan sistematis terhadap muslim Uighur di Xinjiang.

HRW menyatakan bahwa laporan bertajuk “Eradicating Ideological Viruses”: China’s Campaign of Repression Against Xinjiang’s Muslims tersebut menghadirkan bukti baru dari penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, dan penganiayaan massal yang dilakukan pemerintah China serta kontrol yang semakin meluas dalam kehidupan sehari-hari muslim Uighur.

Menurut HRW, muslim Uighur yang berjumlah 13 juta orang dipaksa menjalani indoktrinasi politik, hukuman kolektif, pembatasan gerak dan komunikasi, pengekangan agama yang meningkat, serta pengawasan massal yang melanggar hukum HAM internasional.

"Pemerintah Tiongkok melakukan pelanggaran HAM di Xinjiang dalam skala yang belum pernah terlihat di negara itu dalam beberapa dekade," ungkap Sophie Richardson, direktur urusan Tiongkok di HRW melalui keterangan tertulis yang diterima Alinea.id. "Kampanye represi di Xinjiang adalah ujian kunci apakah PBB dan negara-negara yang peduli, akan menjatuhkan sanksi terhadap Tiongkok guna mengakhiri pelanggaran ini."

Laporan ini terutama didasarkan pada wawancara dengan 58 mantan penduduk Xinjiang, termasuk lima mantan tahanan dan 38 kerabat dari para tahanan. Di antara sumber yang diwawancarai HRW, 19 orang telah meninggalkan Xinjiang dalam satu setengah tahun terakhir.

"Kampanye Gebuk Keras atau Strike Hard melawan Ekstremisme Kejam" pemerintah China dimulai di Xinjiang pada tahun 2014, tulis HRW. Tingkat penindasan meningkat secara dramatis setelah Sekretaris Partai Komunis Chen Quanguo pindah dari Daerah Otonomi Tibet untuk mengambil alih kepemimpinan Xinjiang pada akhir 2016.

Sejak itu, pihak berwenang telah meningkatkan penahanan massal secara sewenang-wenang, termasuk di pusat-pusat penahanan praperadilan dan penjara, yang keduanya merupakan fasilitas resmi, dan di kamp-kamp pendidikan politik, yang tak berdasar hukum Tiongkok. Perkiraan yang dapat dipercaya menunjukkan bahwa satu juta orang ditahan di kamp-kamp tersebut, di mana muslim Uighur dipaksa untuk belajar bahasa Mandarin, menyanyikan pujian kepada Partai Komunis Tiongkok, dan menghafal aturan yang berlaku, terutama bagi mereka. 

Mereka yang menolak atau dianggap gagal "belajar" akan dihukum. 

Sponsored

Para tahanan di kamp pendidikan politik ditahan tanpa hak proses hukum, baik dituntut atau diadili, dan tidak memiliki akses ke pengacara dan keluarga. Mereka ditahan karena keterkaitan dengan negara-negara asing, terutama negara yang berada di daftar resmi "26 negara sensitif", dan karena menggunakan alat komunikasi asing seperti WhatsApp, serta karena mengekspresikan identitas dan agama mereka secara damai. Tidak ada satupun dari semua ini yang tergolong sebagai kejahatan.

"Saya bertanya kepada pihak berwenang sekiranya saya dapat menyewa pengacara dan mereka berkata, 'Tidak, Anda seharusnya tidak perlu pengacara karena Anda tidak dinyatakan bersalah. Tidak perlu membela diri Anda dari apa pun. Anda berada di kamp pendidikan politik, yang harus Anda lakukan hanya belajar'," tutur seorang lelaki yang ditahan selama berbulan-bulan di kamp pendidikan politik kepada HRW.

Di luar fasilitas penahanan, pihak berwenang Tiongkok di Xinjiang menjadikan muslim Uighur sebagai sasaran pembatasan luar biasa terhadap kehidupan pribadi mereka. Kombinasi dari tindakan administratif, pos pemeriksaan, dan pemeriksaan paspor secara sewenang-wenang membatasi gerak mereka.  

Dengan tingkat kontrol yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap praktik keagamaan, HRW berpendapat bahwa pihak berwenang telah secara efektif melarang Islam di wilayah tersebut.

Mereka mengincar orang-orang di Xinjiang dengan pengawasan terus-menerus dan konstan. Pihak berwenang mendorong tetangga untuk saling memata-matai. Mereka juga menggunakan sistem pengawasan massal berteknologi tinggi yang menggunakan kode QR, biometrik, kecerdasan buatan, program mata-mata di telepon, dan data besar. Dan mereka telah memobilisasi lebih dari satu juta petugas dan polisi untuk memantau masyarakat, termasuk melalui program-program intrusif di mana para pengawas ditugaskan untuk secara teratur tinggal di rumah-rumah warga.

Kampanye ini juga telah mencerai-beraikan keluarga, di mana beberapa anggota keluarga di Xinjiang dan di luar negeri secara tak terduga ditangkap karena pengetatan pemeriksaan paspor dan perlintasan perbatasan. Anak-anak kadang terjebak di satu negara tanpa orang tua mereka. 

Pemerintah China telah melarang muslim Uighur untuk menghubungi orang-orang di luar negeri serta menekan beberapa orang dari etnis Uighur dan Kazakh yang tinggal di luar negeri untuk kembali ke Tiongkok. Beijing juga mencari informasi pribadi secara rinci tentang kehidupan mereka di luar negeri.

Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD) telah meninjau situasi di China pada pertengahan Agustus dan menggambarkan Xinjiang sebagai zona tanpa hak. 

Pernyataan PBB tersebut dibantah delegasi Tiongkok. Mereka menyebut bahwa itu bukan kamp pendidikan politik, melainkan sebagai pusat pendidikan kejuruan.

"Tiongkok tidak mengantisipasi ongkos politik yang signifikan terhadap kampanye Xinjiang yang kejam, sebagian karena pengaruhnya dalam sistem PBB," kata Human Rights Watch. 

Menyusul banyaknya bukti pelanggaran berat di Xinjiang, HRW mendesak pemerintah asing bertindak, baik secara multilateral maupun unilateral. "Mereka juga seharusnya mengejar tindakan bersama di Dewan Hak Asasi Manusia PBB, membentuk koalisi guna mengumpulkan serta menilai bukti pelanggaran di Xinjiang, dan menjatuhkan sanksi yang ditargetkan pada Sekretaris Partai Chen Quanguo dan sejumlah pejabat senior lainnya yang bertanggung jawab."

"Rasa sakit dan penderitaan keluarga yang tercerai-berai, tanpa mengetahui apa yang terjadi pada orang-orang yang mereka cintai sangat kontras dengan klaim Beijing bahwa muslim Uighur bahagia dan bersyukur," tegas Richardson. 

Berita Lainnya
×
tekid