sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ekspansi pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat terus berlanjut

Pemukiman Israel dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional dan penghalang bagi upaya perdamaian.

Khairisa Ferida
Khairisa Ferida Kamis, 23 Agst 2018 10:00 WIB
Ekspansi pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat terus berlanjut

Israel telah menyetujui rencana untuk membangun lebih dari 1.000 rumah pemukiman ilegal di Tepi Barat yang mereka duduki. Jumlah tersebut merupakan yang terbaru sejak Donald Trump menjadi presiden Amerika Serikat pada awal tahun 2017.

Pemerintah Israel pada Rabu (22/8) mengumumkan bahwa rencana pembangunan 1.004 rumah telah disetujui oleh komite kementerian pertahanan. 

LSM Peace Now yang memantau dengan saksama pembangunan pemukiman oleh Israel mengatakan bahwa hampir 400 rumah telah mendapat persetujuan akhir untuk mulai dibangun, sementara sisanya menanti persetujuan birokrasi lebih lanjut.

Menurut Peace Now, di antara pembangunan rumah yang disetujui, 370 unit berada di pemukiman ilegal Adam, di mana tiga warga Israel ditikam oleh seorang warga Palestina pada Juli lalu.

Menteri Pertahanan Israel Avigdor Lieberman sebelumnya telah berjanji akan membangun 400 rumah di pemukiman ilegal Adam sebagai respons atas insiden penusukan tersebut.

Pemerintah Israel berencana pula untuk mempromosikan ratusan unit perumahan dengan merilis tender dan mengumumkan rencana pembangunan 300 unit rumah di pemukiman ilegal Beit El, yang terletak di sebelah utara Ramallah.

Pemukiman Israel dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional dan penghalang bagi upaya perdamaian karena pembangunannya dilakukan di atas tanah yang didambakan Palestina sebagai wilayah negara masa depan mereka, termasuk Yerusalem Timur yang diduduki.

Saat ini terdapat sekitar 600.000 warga Israel yang tinggal di pemukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, wilayah yang direbut Israel dalam perang 1967.

Sponsored

Peringatan muncul bahwa ekspansi pemukiman yang berkelanjutan semakin menghilangkan harapan yang tersisa untuk solusi dua negara dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel.

Namun, Israel menolak peringatan tersebut. Sebaliknya, mereka menyalahkan kekerasan yang dilakukan warga Palestina dan "hasutan" melawan mereka sebagai pemicu terhentinya upaya damai.

Pembangunan pemukiman meningkat di era Trump

Berbeda dengan pendahulunya, Barack Obama, Trump tidak sekalipun mengutuk pembangunan pemukiman Israel. Meski demikian, presiden ke-45 Amerika Serikat itu pernah meminta Tel Aviv untuk menahan diri.

Pemerintahan Trump dinilai sangat tidak kritis terhadap pembangunan pemukiman dan isu lainnya terkait konflik Palestina-Israel.

Peace Now mengatakan rencana pemukiman di Tepi Barat meningkat menjadi 6.742 unit pada 2017 dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni 2.629 unit. 

"Rencana pembangunan 3.794 unit telah diajukan sepanjang tahun ini," kata LSM itu.

Pada Mei lalu, Lieberman menuturkan bahwa dia bertujuan untuk mempercepat rencana pembangunan ribuan unit rumah di Tepi Barat pada tahun 2018.

Tim Timur Tengah yang dibentuk Trump, yang dipimpin oleh penasihatnya sekaligus menantu laki-lakinya, Jared Kushner, telah mengerjakan sebuah proposal perdamaian Israel-Palestina selama beberapa bulan terakhir. Namun, belum diketahui kapan proposal tersebut akan dirilis.

John Bolton, penasihat keamanan nasional Trump, mengatakan kepada wartawan di Yerusalem pada Rabu bahwa "banyak kemajuan" telah dibuat. Meski demikian, dia tetap tidak menyebutkan kapan proposal tersebut akan diungkap ke publik.

Palestina telah mengatakan bahwa mereka menganggap rencana tersebut sebagai kegagalan, menuduh Trump bersikap tidak adil pasca-pengakuan sepihaknya atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember lalu.

Palestina belum merespons pengumuman rencana pembangunan pemukiman teranyar, yang muncul di tengah hari libur muslim, namun diperkirakan akan mengundang kecaman lebih lanjut.

Netanyahu senang di era Trump, geram di era Obama

Hubungan Amerika Serikat dan Israel jatuh ke titik terendah pada masa pemerintahan Obama. Selama dua periode menjabat sebagai presiden, Obama kerap mempertontonkan sikap berseberangan dengan PM Benjamin Netanyahu dalam sejumlah isu krusial.

Tidak jarang, Obama bahkan membuat Netanyahu geram. Sebut saja kebijakan Obama pada akhir masa jabatannya yang membuat Amerika Serikat memutuskan abstain dalam pemungutan suara di DK PBB terkait nasib pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.

Keputusan Amerika Serikat tersebut dinilai mendobrak tradisi, mengingat selama ini Negeri Paman Sam lebih memilih menggunakan hak veto ketimbang abstain. Yang jelas melalui sikap tersebut Washington telah menegaskan bahwa rencana pembangunan pemukiman Yahudi oleh Israel, ilegal.

'Ketidakmesraan' antara Obama dan Netanyahu tergambar jelas dalam berbagai kesempatan. Berikut di antaranya:

1. Meninggalkan Netanyahu untuk pergi makan malam

Netanyahu dikabarkan merasa dipermalukan setelah Obama yang sedang mengadakan pertemuan dengannya memutuskan pergi untuk makan malam di Gedung Putih.

Suami Michelle itu meninggalkan orang nomor satu di Israel tersebut bersama para stafnya.

Peristiwa ini terjadi pada tahun 2010. Selain menggambarkan kejadian ini sebagai perploncoan, media Israel juga menyebutkan bahwa Netanyahu telah menerima perlakuan yang hanya layak diterima oleh presiden Guinea Khatulistiwa.

2. Menolak bertemu dengan Netanyahu

Sebuah langkah yang tidak biasa ditunjukkan Obama pada September 2012. Ia menolak bertemu dengan Netanyahu di markas PBB selama PM Israel itu melakukan kunjungan ke New York.

Dalam kesempatan tersebut, Netanyahu mendesak Amerika Serikat untuk memberlakukan sanksi ketat terhadap Iran. PM Israel itu juga mengingatkan bahaya yang mengancam jika Amerika Serikat tidak bersikap keras dalam negosiasi nuklir dengan Negeri Para Mullah tersebut.

3. Diduga berupaya melengserkan Netanyahu

Pada awal tahun 2016, sejumlah anggota parlemen dari Partai Republik menginvestigasi dugaan upaya pemerintahan Obama untuk memengaruhi pemilu Israel pada tahun 2015. Penyelidikan itu diumumkan setelah laporan internal pemerintah mengindikasikan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat telah memberikan ratusan ribu dolar ke sebuah organisasi politik di Israel yang aktif bekerja untuk melengserkan Netanyahu dari jabatannya sebagai PM.

4. Tidak antusias ketika Netanyahu menang dalam pemilu

Obama tidak langsung menelepon Netanyahu untuk memberikan selamat ketika ia terpilih dalam pemilu pada Maret 2015. Butuh waktu beberapa hari bagi ayah dari Malia dan Sasha itu sebelum akhirnya menghubungi perdana menteri terpilih.

Pada saat yang sama, Sekretaris Pers Gedung Putih saat itu, Josh Earnest mengumumkan bahwa pemerintah sangat prihatin tentang retorika yang berusaha memarginalkan warga Arab Israel. Pernyataan Earnest tersebut dinilai menyiratkan bahwa terpilihnya Netanyahu telah merusak nilai-nilai dan cita-cita demokrasi yang penting bagi Amerika Serikat di mana telah menjadi pengikat hubungan kedua negara.

5. Menolak mengakui Yerusalem sebagai bagian dari Israel

Meski tak secara tegas, namun Gedung Putih pada era Obama dinilai menolak mengakui Yerusalem sebagai bagian dari Israel. Hal tersebut terkuak saat kematian mantan Presiden Israel, Shimon Peres pada September 2016.

Saat itu, Gedung Putih mengirimkan transkrip pernyataan Obama saat menghadiri pemakaman Peres. Pada bagian penutup tertulis, "Yerusalem, Israel." Namun segera setelah itu, bagian pers Gedung Putih meralatnya dengan mencoret tulisan Israel.
 

 

 

Sumber: Al Jazeera dan Heatst

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid