sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Irak rusuh, PM Mahdi siap dialog

Massa menuntut dibukanya lebih banyak lapangan kerja dan pemberantasan korupsi.

Valerie Dante
Valerie Dante Jumat, 04 Okt 2019 14:12 WIB
Irak rusuh, PM Mahdi siap dialog

Perdana Menteri Irak Adel Abdul Mahdi menyerukan adanya dialog setelah hari ketiga berlangsungnya protes antipemerintah di Ibu Kota Baghdad dan beberapa kota lainnya.

Dalam sebuah pernyataan pada Kamis (4/10), kantor PM Mahdi mengatakan pihaknya terus berkomunikasi dengan para demonstran dalam upaya mengakhiri krisis politik dan mengembalikan keadaan menjadi normal.

"PM Mahdi siap untuk bertemu dengan perwakilan demonstran untuk mempertimbangkan tuntutan sah mereka," jelas pernyataan tersebut.

Pengumuman itu muncul ketika 4.000 pengunjuk rasa, yang berdemonstrasi di Baghdad, menentang jam malam yang diberlakukan pemerintah. Mereka justru tumpah ke jalan-jalan untuk menuntut dibukanya lebih banyak lapangan pekerjaan dan pemberantasan korupsi yang meluas.

Massa berkumpul di Lapangan Tayaran dan berbaris menuju Lapangan Tahrir, di mana mereka bentrok dengan polisi yang berupaya memukul mundur dengan melepaskan tembakan senjata api dan gas air mata.

Polisi juga menggunakan senjata api untuk membubarkan massa di distrik Zafaraniya dan Shula.

Demonstrasi, yang tidak memiliki afiliasi dengan partai politik mana pun, dimulai di ibu kota pada Selasa (1/10). Aksi unjuk rasa itu kemudian menyebar ke kota-kota lainnya.

Pemrotes mengarahkan kemarahan kepada pemerintahan PM Mahdi yang mereka tuduh melakukan korupsi dan tidak melakukan apa pun untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat.

Sponsored

Protes itu menjadi tantangan besar bagi Mahdi. Hingga kini belum jelas bagaimana dia bisa menghentikan curahan kemarahan masyarakat karena unjuk rasa itu tidak memiliki pemimpin yang dapat diajak bernegosiasi.

Sejumlah warga pada Kamis mengatakan mereka menerima SMS dari kantor PM Mahdi, memberikan nomor telepon yang dapat dihubungi demonstran untuk menyuarakan keluhan mereka.

Menurut IMF, Irak memiliki cadangan minyak terbesar keempat di dunia, tetapi sebagian besar penduduknya hidup dalam kemiskinan, tanpa perawatan kesehatan, pendidikan atau pasokan air yang layak.

"Kami akan terus berdemonstrasi sampai pemerintah jatuh," tutur seorang demonstran, Ali (22). "Saya tidak punya apa-apa selain US$20 sen dalam saku saya, sementara pejabat pemerintah memiliki uang hingga jutaan."

Selain memberlakukan jam malam, pemerintah Irak juga memutus akses internet di Baghdad dan di sebagian besar negara itu. Namun, langkah-langkah tersebut tidak banyak membantu meredam kerusuhan.

Dalam sebuah unggahan di Facebook pada Selasa, PM Mahdi mengungkapkan penyesalannya atas gelombang kekerasan yang telah melanda Irak.

"Luka-luka yang diderita demonstran dan pasukan keamanan, serta kerusakan properti publik dan pribadi membuat saya sedih," tutur dia.

Menurut Komisi Tinggi HAM Irak, setidaknya 19 orang tewas dalam bentrokan yang terjadi sejak Selasa. Selain itu, sekitar 1.041 orang terluka dan 62 lainnya ditangkap.

Namun, sejumlah kantor berita internasional, mengutip sumber-sumber keamanan dan medis, menyatakan bahwa jumlah kematian jauh lebih tinggi dari yang dikatakan oleh Komisi Tinggi HAM.

AFP mengatakan, total 30 orang tewas, dengan enam pengunjuk rasa ditembak mati di Nasiriya pada Kamis dan empat tewas di Amara. Dua pemrotes dan satu petugas polisi tewas di Diwaniyah.

Sementara itu, Associated Press menyebutkan jumlah korban tewas mencapai 33 orang.

Banyaknya korban tewas telah menarik perhatian internasional, Amnesty International menyerukan pemerintah Irak untuk mengendalikan pasukan keamanan dan menyelidiki pembunuhan terhadap para demonstran.

"Sangat keterlaluan jika pasukan keamanan Irak berkali-kali menangani pengunjuk rasa dengan kebrutalan dan kekerasan yang tidak perlu," tutur Direktur Riset Timur Tengah Amnesty International Lynn Maalouf.

PBB mendesak pemerintah Irak untuk menahan diri secara maksimal dan mengizinkan protes berjalan dengan damai. Seruan serupa juga dikeluarkan oleh Inggris dan Uni Eropa.

Sumber : Al Jazeera

Berita Lainnya
×
tekid