sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kemlu: RI tak tolak substansi resolusi cegah genosida di PBB

Febrian menekankan bahwa yang ditolak Indonesia bukan terkait isi substantif, prinsip, maupun konsep dari R2P itu sendiri.

Valerie Dante
Valerie Dante Kamis, 20 Mei 2021 15:47 WIB
Kemlu: RI tak tolak substansi resolusi cegah genosida di PBB

Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Febrian Alphyanto Ruddyard meluruskan informasi yang ramai beredar di media sosial yang menyatakan bahwa Indonesia telah menolak pembahasan resolusi mengenai Responsibility to Protect (R2P) dalam majelis sidang umum PBB (UNGA) di New York, Amerika Serikat, pada Rabu (18/5).

Resolusi tersebut membahas mengenai perlindungan dan pencegahan genosida, pembersihan etnis, kejahatan perang, dan kejahatan kemanusiaan.

Febrian menjelaskan, dalam UNGA pada Rabu, Kroasia mengusulkan agar dibentuk agenda tersendiri demi membahas R2P secara khusus.

Indonesia kemudian menjadi salah satu negara yang menolak usulan terkait pembentukan rancangan agenda terkait tempat pembahasan R2P.

Febrian menekankan bahwa yang ditolak Indonesia bukan terkait isi substantif, prinsip, maupun konsep dari R2P itu sendiri.

"Ada semacam kesimpangsiuran mengenai resolusi yang kita vote against. Resolusi pada kemarin bukan substantif tetapi bersifat prosedural di mana Kroasia mengusulkan agar pembahasan mengenai R2P dapat dibahas dalam mata agenda tersendiri," jelasnya dalam konferensi pers virtual pada Kamis (20/5).

Dia menjelaskan, konsep R2P telah diadopsi oleh Sidang Umum PBB pada saat World Summit pada 2005.

"Pada 2005, Indonesia sudah memberikan suara dan menyatakan mendukung," sambungnya. "Sudah jelas kita tidak memiliki posisi yang berbeda dengan posisi negara-negara lain pada saat menerima konsep R2P," terang dia lagi.

Sponsored

Setelah itu, konsep R2P diminta untuk dibahas lebih lanjut oleh SMU PBB. Oleh karena itu, lahir satu mata agenda yang bernama "Outcome of the World Summit 2005" di mana salah satu pembahasannya adalah R2P.

Menurut Febrian, R2P dibahas sejak 2009-2017 di bawah mata agenda tersebut.

"Artinya, R2P ini bukan barang baru lagi dan Indonesia selalu terlibat dalam pembahasannya," tutur dia.

Pada 2017, Australia dan Ghana mengajukan permintaan dibentuknya agenda tambahan (suplementary agenda) untuk membahas R2P secara khusus, terlepas dari mata agenda yang sebelumnya sudah ada.

Saat itu, lanjut Febrian, kedua negara berjanji bahwa agenda tambahan tersebut hanya bersifat one-off atau berlaku untuk satu tahun.

Namun, pada 2018 kembali diminta diadakannya agenda tambahan terkait R2P. Hal ini terjadi hingga 2020.

Kemudian pada 2021 muncul permintaan untuk membuat agenda tersendiri terkait pembahasan R2P, tetapi kali ini bersifat permanen.

"Di titik ini ada perbedaan pandangan dengan kami karena bagi Indonesia sudah jelas R2P adalah mandat dari World Summit 2005 di mana harus dibahas dan agendanya pun sudah ada sejak awal," jelas Febrian.

Menurut Febrian, Indonesia merasa bahwa lebih baik R2P dibahas di mata agenda yang sudah ada sejak 2009.

Bagi Indonesia, Febrian menyatakan bahwa yang penting adalah penguatan dari diskusi terkait R2P. Pasalnya, implementasi dari konsep R2P menjadi subjek pembahasan di setiap pertemuan mengenai R2P.

"Indonesia merasa permintaan untuk menjadikannya agenda tetap itu agak kurang sesuai. Sebetulnya mata agendanya sudah ada dan sangat relevan. Sudah dilakukan secara berturut-turut dan berbelas-belas kali, pembahasannya pun sudah banyak," lanjut Febrian.

Dia mengulangi bahwa karena perbedaan pandangan, akhirnya Indonesia memilih untuk menolak usulan tersebut.

"Yang perlu diluruskan adalah voting against ini bukan menentang pembahasan isu genosida atau R2P, hanya menolak usulan tempat pembahasan isu R2P ini," sebutnya. "Karena memang sudah ada tempat pembahasan sebelumnya dan Indonesia menilai tidak perlu lagi membuat tempat baru yang permanen."

Sebelumnya, dalam dokumen yang beredar, terdapat 115 negara yang mendukung sementara 15 negara menolak dan 28 negara memilih untuk abstain.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memberikan suara "no" dalam dokumen tersebut.

"Jadi sangat keliru dikatakan bahwa Indonesia dengan voting against itu berarti tidak mau membahas isu ini. Kita sudah bahas sejak 2005," kata Febrian. "Voting against itu bukan against substansi, tetapi against prosedural."

Berdasarkan hasil pemungutan suara pada Rabu, Febrian menyatakan bahwa R2P akan mendapatkan agenda permanen di PBB.

"Akan ada agenda permanen dan Indonesia pasti akan mengikutinya karena kita tidak pernah menentang isunya sendiri," jelas dia.

Berita Lainnya
×
tekid